Liputan6.com, Jakarta - Malam itu, Mulyono sibuk melayani pelanggannya yang memesan soto kerbau Kudus. Kedainya yang menyediakan makanan berbahan baku kerbau di Jalan Kutilang, Kudus, Jawa Tengah, penuh sesak.
Tak hanya warga Kudus yang duduk di bangku-bangkunya, menikmati soto dan pindang kerbau. Ada pula yang datang dari Jakarta.
Makanan akulturasi Tiongkok dan nusantara itu memang melambungkan nama kabupaten tersebut ke seantero Tanah Air, selain keberadaan dua sunan Wali Songo, penyebar agama Islam di sana. Ada yang bilang, tak afdol jika ke Kudus tanpa mencicipi soto kebo.
Advertisement
Sekilas, tak ada yang istimewa dari soto daging ini. Sama seperti 66 jenis soto di daerah lain, soto Kudus disajikan bersama tauge, seledri, dan taburan bawang putih, kecuali jenis daging yang digunakan, rasa serta mangkok mungil sebagai tempat penyajiannya.
Namun, soto Kudus memiliki filosofi lebih dalam daripada sekedar pelepas lapar. Soto daging di Kudus merupakan simbol nyata toleransi di Tanah Air. Meski, menurut Mulyono, soto bukanlah makanan asli dari Kudus.
Sejarawan dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman mengakui, soto kerbau Kudus sangat ikonik dengan filosofi dan konsistensinya.
Ketika Banten dan Makassar mulai menggunakan daging sapi, masyarakat Kudus tetap mempertahankan daging kerbau sebagai bahan baku utamanya.
Jika membahas soal soto sendiri, berdasarkan literasi kuno, makanan tersebut muncul ketika orang Tionghua bermigrasi ke Indonesia. Salah satu dokumen kuno yang merekam keberadaan soto adalah Serat Centhini.
"Tercatat, yang terekam dalam dokumen, soto ada pada abad 18 dan 19, baik dalam Bahasa Jawa dan Belanda, tercatat kata 'Saoto'. Peneliti dari UGM meyakini ada 67 jenis soto di Indonesia," kata Fadly.
Penelusuran Liputan6.com juga mengindikasikan soto sudah ada di Kudus pada peralihan abad tersebut.
Sebuah foto milik Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) yang diambil pada 1880 atau sekitar abad 19, memperlihatkan sebuah pikulan lengkap dengan mangkok dan botol-botol berisi bumbu di depan menara. Bentuk pikulannya, mirip dengan pikulan pedagang soto Kudus saat ini.
Humas YM3SK, Denny Nur Hakim menjelaskan, memang belum diketahui pasti kapan soto ada di Kudus. Yang jelas, kata dia, setelah Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan menyebarkan agama Islam ke Kudus , hampir tidak ada makanan dari daging sapi.
Rumah pemotongan hewan di Kota Kretek tak ada yang berani menyembelih sapi karena Sunan Kudus bertitah agar masyarakat tidak memakan daging sapi untuk menghormati umat Hindu.
“Ada dua versi tentang cara sunan melarang umat Islam di Kudus menyembelih sapi. Pertama, katanya Sunan Kudus menambatkan seekor sapi di menara. Saat orang berbondong-bondong ke masjid untuk beribadah, dia kemudian memberitahukan jika kita harus menghormati umat Hindu dan menyembelih kerbau saja,” kata Denny.
Versi kedua, saat Sunan Kudus dalam perjalanan dan kehausan, dia ditolong oleh pendeta Hindu dan memberinya perahan susu sapi. Untuk berterima kasih, dia kemudian meminta muslim di Kudus tidak menyembelih sapi.
Tak ada yang tahu pasti cerita mana yang benar. Tapi, masyarakat tetap patuh meski zaman telah berganti.
Cikal Toleransi
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kudus, Ihsan mengatakan, ajaran penggunaan daging kerbau sebagai penghormatan kepercayaan umat Hindu inilah yang menjadi salah satu cikal toleransi di Kudus.
Jika merujuk pada ajaran ini, kata dia, ada satu kata kunci dalam warisan toleransi Sunan Kudus, yakni “tepa selira”.
“Jadi, roh dari toleransi sesungguhnya tepa selira yang diajarkannya. Ajaran tidak menyembelih sapi adalah esensi tepa selira. Makna tepa selira yang paling mudah, menyiapkan hati untuk menghargai apa yang orang lakukan. Tapi sisi lain juga bagaimana kita menyiapkan ruang cukup dalam hati kita untuk melakukan sesuatu dengan ukuran. Sesuatu yang kita lakukan ini kira-kira menyakiti orang lain atau tidak, menyinggung orang lain atau tidak?” jelas Ihsan kepada Liputan6.com.
Sunan Kudus sendiri tidak pernah mengeluarkan kata “melarang” terkait penggunaan daging sapi. Sebab, dalam agama Islam tidak ada larangan memotong sapi.
“Tetapi sebagai orang beragama, meski tidak ada larangan menyembelih sapi, tapi ada orang lain, orang Hindu yang sangat menjunjung tinggi kehormatan lembu atau sapi dan mereka memang memuja sampai tidak mau menyembelih dan sebagainya, maka Kanjeng Sunan Kudus melakukan itu dalam rangka mengekspresikan penghormatan ke umat lain,” tutur Ihsan.
Dua hal inilah yang membedakan kata “agama” dan “beragama”. Agama adalah doktrin, keyakinan, kepercayaan, atau wahyu dari Sang Maha Kuasa. Sedangkan beragama terkait perilaku sebagai ekspresi pemahaman, penafsiran atau pemaknaan pemeluk agama terhadap doktrin atau wahyu itu.
“Ini yang dilakukan Kanjeng Sunan ketika tidak menyembelih sapi. Dalam bayangan kita waktu itu, umat Hindu sangat mengagungkan sapi dan secara kasat mata kemudian orang ramai-ramai merobohkan sapi, disembelih di depan mereka. Lalu perasaan mereka seperti apa? Waduh, ini kan hewan yang sangat dikeramatkan, hewan yang sangat dihormati. Kok disembelih?” lanjut Ihsan.
Wakil Rektor III Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus itu mengakui, sekarang, tidak semua warga Kudus masih menerapkan ajaran Ja'far Shadiq atau Sunan Kudus. Sudah banyak restauran atau tempat makan yang menjual makanan berbahan baku sapi. Bahkan mungkin saja, sudah ada soto yang memakai bahan baku daging sapi di kota tersebut.
Tetapi hal itu justru membuktikan jika kerukunan beragama di Kudus semakin cair. Mereka sadar, budaya tidak menyembelih sapi diajarkan untuk menghormati umat Hindu, tapi tetap bisa menikmati dagingnya.
Begitupula dengan pemeluk Hindu di Kudus. Salah satu tokoh agama Hindu di Kudus Nawanto mengaku tidak mempermasalahkan dengan masuknya budaya baru di Kudus yang menggunakan daging sapi dalam makanan.
Menurut dia, saat ini juga banyak umat muslim di Kudus yang menyembelih sapi saat Idul Adha.
“Saya pribadi tidak melarang, tapi juga tidak berkomentar jika ada yang menyembelih sapi. Itu kan kepercayaan. Sebagian yang menyembelih sapi itu pendatang, bukan asli Kudus, seperti di lingkungan rumah saya,” ujar Nawanto.
Namun, dia berharap, masyarakat Kudus tetap mempertahankan tradisi yang diajarkan sunan. Oleh karena itu, lanjut dia, peran pemuka agama diperlukan dalam hal ini.
Advertisement
Kiblat Toleransi Dunia
Kerukunan sebagai akar dari persatuan dan kesatuan bangsa juga tergambar nyata di Desa Tanjungrejo, Kudus, Jawa Tengah.
Gelar Desa Pelopor P4 pernah disematkan di wilayah ini pada pertengahan 1980-an. Alasannya, warga desa ini memiliki agama dan kepercayaan beragam. Namun, mereka hidup rukun dan damai. Forum Kerukunan Umat Beragama mencatat, ada 6 agama dan 4 tempat ibadah di desa ini.
Sehari-hari, mereka saling menjaga, tanpa pamrih. Saling mengulurkan tangan ketika ada yang membutuhkan bantuan.
“Belum pernah, mudah-mudahan sampai kiamat tidak ada gesekan-gesekan umat satu dengan lain, agama satu dengan yang lain di Desa Tanjungrejo,” kata salah satu tokoh masyarakat di desa tersebut, Bambang Sulistyo ketika ditemui Liputan6.com.
Dia menuturkan, kerukunan di Tanjungrejo juga tercermin dari pemakamannya. Biasanya, di Kudus, makam hanya untuk satu agama. Tapi, makam di sini tidak memiliki sekat atau blok.
Kesadaran masing-masing individu untuk bertoleransi dipercaya sebagai kunci kedamaian di Tanjungrejo. Baik itu dalam hal beragama maupun politik.
“Kesadaran masyarakatnya yang jadi kunci. Masyarakat di sini sudah menyadari sepenuhnya kita sebagai mahkluk sosial harus bertoleransi dalam agama dan lingkungannya dan mungkin karena banyak leluhur Tanjungrejo yang merupakan pejuang kemerdekaan. Mungkin naluri kebersamaan, nasionalis seperti itu tertanam sampai sekarang,” kata Bambang Sulistyo.
Pria yang akrab disapa Sulis itu mengaku prihatin dengan gesekan-gesekan yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Dia berharap, masyarakat selalu mengingat, “Apapun pendapatmu, agamamu, partaimu, kamu adalah saudaraku.”
Dia pun berharap kerukunan di Tanjungrejo menjadi motivasi daerah lain untuk menjadikan keberagaman sebagai kebersamaan.
“Keberagaman di desa ini kami harapkan bisa menjadi motivasi daerah lain, monggo-lah, kita jadikan perbedaan ini menjadi suatu kebersamaan yang kita harapkan. Perbedaan itu kan justru suatu tonggak untuk kebersamaan kita dalam mendirikan agama kita masing-masing. Jangan sampai perbedaan ini menjadi perpecahan di antara kita sebagai anak bangsa,” imbuh Sulis.
Jika terus lestari, bukan tidak mungkin Kota Semarak itu menjadi kiblat toleransi di Tanah Air. Dunia pun tak bisa mengeneralisasi, Indonesia sedang darurat toleransi.
“Kudus juga bisa jadi kiblat toleransi dunia. Ajaran Sunan Kudus itu bisa membuat dunia ini damai bahkan dari kaki menara kita akan membawa perdamaian untuk dunia. Caranya? Tepa selira. Harus mengukur, nek aku ngelakoni ngene, wong iki loro rak atine? (kalau aku berlaku seperti ini, membuat orang lain sakit hati tidak?) Menyediakan ruang hati untuk orang lain, meski saya tidak suka, tidak setuju,” imbuh Ketua FKUB Kudus, Ihsan.