Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menilai kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla adalah ancaman permanen yang dihadapi Indonesia. Karenanya perlu solusi permanen pula yang harus dilakukan pemerintah daerah sebagai ujung tombaknya.
"Karhutla adalah ancaman permanen, Pemda dapat jadi ujung tombaknya,"Â kata Doni Monardo dalam siaran pers, Rabu (18/9/2019).
Baca Juga
Menurut Doni, Pemda wajib melakukan pengawasan dan memberikan sanksi atau tindakan administratif bagi yang melanggar.
Advertisement
"Jadi tidak semua permasalahan pemadaman diserahkan ke pemerintah pusat. Kepala daerahnya dapat menjadi contoh," ucap Doni.
Doni menyatakan, peran kepala daerah secara proaktif menanggulangi Karhutla telah dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat kebakaran hutan di Gunung Merbabu. Saat itu, diketahui Ganjar turun langsung mengajak masyarakat berperan aktif memadamkan kebakaran.
Doni menganilisa, motif dari pembakar hutan adalah land Clearing atau proses pembersihan lahan sebelum aktivitas penambangan dimulai. Menurut dia, cara ini dilakukan karena lebih murah.
Dia menambahkan, 99% karhutla di Indonesia akibat ulah manusia. Selain itu, fenomena alam el nino lemah mengakibatkan kemarau panjang sehingga curah hujan sedikit dan api sulit dipadamkan.
"Berdasarkan data yang saya kumpulkan semenjak 6 bulan dilantik. Karhutla disebabkan oleh manusia, 80% lahan terbakar berubah menjadi lahan perkebunan" kata Doni memungkasi.
Saksikan Video Pilihan Berikut:
Kebakaran Hutan Ancam Habitat Satwa Dilindungi
Direktur Kebijakan dan Advokasi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Aditya Bayunanda, menilai habitat satwa dilindungi tengah terancam akibat kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
"Ancaman terbesar untuk spesies, baik gajah, harimau, orang utan, itu kematian. Bukan karena perburuan, tapi karena hilangnya habitat," kata Aditya di Kantor Pusat WWF Indonesia di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa 17 September 2019
Kehilangan habitat, lanjut Aditya, memaksa para satwa bersinggungan dengan manusia. Aditya mengatakan, solusi dihadirkan tidak bisa langsung dengan evakuasi atau memindahkan mereka ke lingkungan yang bukan aslinya.
"Maka mau tidak mau dia (satwa) akan lari (mencari) di mana pakan itu masih ada, tak menutup kemungkinan, mereka akan mencari pakan ke wilayah yang menjadi tempat tinggal manusia di sana dia akan dianggap sebagai hama karena mengambil makanan dari perkebunan manusia," jelas Aditya.
Advertisement