Sukses

Pentingnya Pendekatan Lunak dalam Penanganan Terorisme

Pemerintah Indonesia bisa mencegah sejak dini ancaman terorisme dengan menggunakan UU No 5 Tahun 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Politikus Partai Nasdem Willy Aditya menyampaikan pentingnya penanganan terhadap terorisme. Menurutnya, terorisme masih menjadi ancaman yang nyata bagi dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang terus mendapatkan ancaman tersebut.

Hal itu disampaikan Willy dalam sidang parlemen dunia yang berlangsung di Berlgrad, Serbia. Forum itu membahas sejumlah isu terkait perdamaian dan keamanan internasional, salah satunya tentang ancaman terorisme.

“Terakhir kasus yang menimpa Menteri Polhukam kami, Bapak Wiranto di Pandeglang, Banten. Pola serangannya bahkan sudah berbeda, tidak menggunakan bom atau senjata api lagi, tetapi sudah serangan dengan senjata tajam. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme masih terus eksis dan semakin berani,” ucapnya, Selasa 15 Oktober 2019.

Merujuk berbagai laporan yang ada, Willy melanjutkan, kawasan Asia Tenggara memang menjadi persemaian baru bibit terorisme. Pascakalahnya ISIS di Suriah, banyak kombatannya terutama yang berasal dari Asia, menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan untuk menyusun kekuatan baru mereka.

“Apa yang terjadi di Filipina Selatan beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu indikasinya,” imbuhnya.

Lulusan Cranfield University bidang Defends Studies ini kemudian menyampaikan tentang pentingnya pendekatan lunak (soft approach) dalam penanganan terorisme. Salah satu bentuknya adalah pencegahan yang dipayungi oleh undang-undang.

Menurut Willy, pascapengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, aksi teror tidak hanya bisa dideteksi melainkan juga ditindak sejak dini.

“Jika seseorang terlihat terlibat dalam jaringan teror, dia bisa langsung ditindak,” ucapnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Payung Hukum

Ini yang membedakannya dengan payung hukum sebelumnya, di mana Densus 88 Antiteror Polri baru bisa menindak ketika aksi teror terjadi.

Dengan payung hukum tersebut, Densus 88 juga telah melakukan penangkapan terhadap anggota jaringan kelompok teror di berbagai wilayah di Indonesia.

Selain payung hukum, keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi wujud lainnya dalam pendekatan lunak terhadap terorisme.

“Terorisme itu sejatinya aksi politik, dan politik itu adu kecerdasan, adu siasat. Dalam kasus ini, BNPT telah banyak melakukan deradikalisasi terhadap pentolan-pentolan teroris. Terdapat lebih dari 600 narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme yang menjalani program deradikalisasi. Dan dari 600 itu, hanya tiga orang yang kembali melakukan teror,” papar Willy.

Tidak berhenti di situ, adanya ormas-ormas keagamaan yang moderat juga menjadi agen dalam penanganan aksi terorisme. Jika BNPT bertugas melakukan deradikalisasi maka ormas-ormas yang berhaluan moderat ini melaksanakan prgram kontra radikalisme.

“Jadi mereka lebih banyak berada di wilayah perlawanan wacana,” pungkasnya.

Selain terorisme, isu lain yang mengemuka dalam agenda tersebut adalah mengenai senjata nuklir dan money laundry.

Sidang Parlemen Dunia ke 141 di Belgrad, yang menghadirkan anggota parlemen dari seluruh dunia, itu akan berakhir pada Kamis 17 Oktober 2019 besok.