Sukses

ICW: Masa Depan Pemberantasan Korupsi Suram

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, pengesahan revisi UU KPK cacat formil dan substansi.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang baru saja disahkan DPR menjadi Undang-Undang dilakukan secara serampangan.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, pengesahan revisi UU KPK cacat formil dan substansi.

"Pemberantasan korupsi dipastikan suram di masa mendatang," ujar Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/9/2019).

Terkait cacat secara formil, menurut Kurnia lantaran revisi UU KPK tidak masuk prolegnas prioritas tahun 2019. Hal tersebut, menurut Kurnia ada indikasi pembahasan regulasi DPR bermasalah.

"Selain dari itu, pengesahan revisi UU KPK juga tidak dihadiri seluruh anggota DPR. Hal ini terkonfirmasi dari beberapa pemberitaan yang menyebutkan bahwa hanya 80 orang yang menghadiri rapat tersebut, dari total 560 anggota DPR RI," kata dia.

Untuk permasalahan secara substansi, menurut Kurnia terdapat pada poin-poin yang disepakati dalam pembahasan revisi UU KPK antara DPR bersama pemerintah sulit untuk diterima akal sehat.

Pertama soal pembentukan dewan pengawas. Menurut Kurnia, isu dewan pengawas ini bukan hal baru. Hampir dalam setiap naskah perubahan UU KPK, keberadaan dewan pengawas ini selalu masuk dalam pembahasan.

"Patut untuk dicermati, bahwa sejatinya pengawasan KPK telah berjalan, baik internal maupun eksternal," kata dia.

Sementara itu, terkait dengan kewenangan KPK dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika penanganan perkara tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun.

"Isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010. Tentu harusnya DPR dan pemerintah paham akan hal ini untuk tidak terus menerus memasukkan isu ini pada perubahan UU KPK," kata dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Soal SP3

elain itu, menurut Kurnia, Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif menkonstruksikan sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan.

Terkait dengan penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas, menurut Kurnia akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK.

Tak hanya itu, KPK kini bukan lagi lembaga negara yang independen. Perubahan ini terjadi pada Pasal 3 UU KPK, jika sebelumnya ditegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, kali ini justru berubah menjadi KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

"Narasi ini kontradiksi dengan prinsip teori lembaga negara independen yang memang ingin memisahkan lembaga seperti KPK dari cabang kekuasaan lainnya," kata dia.