Liputan6.com, Jakarta - DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Bila revisi UU Pemasyarakatan disahkan, maka Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 tidak berlaku lagi.
PP 99/2012 mengatur tentang prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat, seperti napi tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi dan kejahatan keamanan negara, kejahatan HAM berat, serta kejahatan transaksional dan teroganisasi.
Pasal 43A PP 9/2012 itu mengharuskan, napi bakal mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, ketika bersedia menjadi justice collaborator, menjalani hukum dua pertiga masa pidana, menjalani asimilasi 1/2 dari masa pidana yang dijalani dan menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan.
Advertisement
Sementara ayat (3) Pasal 43BÂ itu mensyaratkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan remisi.
Wakil Ketua Komisi III Herman Hery membenarkan dengan revisi UU Pemasyarakatan, pembebasan bersyarat dan remisi terhadap koruptor tidak lagi merujuk kepada PP 99 tahun 2012.
"Tidak lagi. Otomatis PP 99 menjadi tidak berlaku karena semua dikembalikan ulang," kata Herman saat dihubungi tentang revisi UU Pemasyarakatan, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Â
Â
Jadi Otoritas Pengadilan
Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik menjelaskan, rekomendasi remisi dan pembebasan bersyarat tidak lagi di lembaga penegak hukum. Tetapi kembali ke pengadilan.
"Pengadilan saja. Kalau vonis hakim tidak menyebutkan bahwa hak Anda sebagai terpidana itu dicabut maka dia berhak untuk mengajukan itu," ujar Erma.
Namun, Direktorat Pemasyarakatan berhak menilai apakah seseorang orang layak memberikan remisi atau pembebasan bersyarat.
"Itu teman-teman di pemasyarakatan yang akan menilai. Tapi sepanjang putusan pengadilan tidak menyebut bahwa hak hak nya itu dicabut maka itu tetap berlaku. Boleh mereka mengajukan. Diterima atau tidak tergantung Kemenkumham," jelas Erma.
Â
Reporter:Â Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka
Advertisement