Sukses

Buya Syafii: Proses Revisi UU KPK Prosedurnya Kurang

Buya Syafii Maarif menilai seharusnya KPK diajak berunding saat revisi UU KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif menyayangkan DPR yang tidak melibatkan KPK saat merumuskan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia mengatakan prosedur yang dilakukan pihak DPR sangat kurang.

"Saya rasa kemarin kelemahannya prosedurnya kurang. KPK tidak diajak berunding oleh Menkumham dan DPR," kata Buya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2019).

Buya Safii menilai saat ini KPK harus dibela. Dia berharap pasal soal pengawasan terhadap KPK kembali didiskusikan.

"Saya rasa soal revisi, soal dewan pengawas itu bisa didiskusikan. Itu kan kemarin kan langsung digitukan (tetapkan), jadi terbakar. KPK itu wajib dibela, diperkuat, tapi bukan suci. Itu harus diingat," ungkap Buya.

Sebelumnya, DPR telah mengesahkan revisi UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Selasa (17/9/2019).

Pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

6 Poin Revisi

Laporan terhadap hasil keputusan tingkat pertama dibacakan oleh Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. Supratman menyebutkan enam poin revisi yang telah dibahas dan disetujui bersama.

Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga hukum berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam kewenangan dan tugas bersifat independen dan bebas dari kekuasaan.

Kedua, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kewenangan dan tugas KPK agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan pengawas telah disepakati mayoritas fraksi dan pemerintah ditunjuk oleh presiden.

Ketiga, revisi terhadap kewenangan penyadapan oleh KPK di mana komisi meminta izin kepada dewan pengawas. Berikutnya, mekanisme penggeledahan dan penyitaan yang juga harus seizin dewan pengawas. Kelima, mekanisme penghentian dan atau penuntutan kasus tipikor. Terakhir terkait sistem pegawai KPK di mana pegawai menjadi ASN.

Reporter: Intan Umbari Prihatin

Sumber: Merdeka