Liputan6.com, Jakarta - DPR segera membawa revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP ke rapat paripurna. RKUHP ini akan segera disahkan.
Meski begitu, rupanya RKUHP masih menuai beragam polemik. Pro dan kontra jelang disahkannya RKUHP terus bermunculan.
Ada beberapa pihak yang menilai RKUHP mengandung pasal-pasal karet. Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, pasal-pasal karet itu antara lain, pasal 167 tentang makar, pasal 440-449 tentang pengaturan tindak pidana penghinaan, pasal 218-220 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal 240-241 soal penghinaan pemerintah yang sah, dan pasal 353-354 soal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.
Advertisement
Selain itu, RKUHP juga dianggap bisa mengancam profesi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Setidaknya, ada 10 pasal yang berpotensi mengancam jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Berikut dinamika RKUHP jelang disahkan dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dinilai Banyak Pasal Karet
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar membeberkan sejumlah pasal dalam RKUHP yang dianggap bermasalah dan menjadi pasal karet.
Pasal karet itu antara lain, pasal 167 tentang makar, pasal 440-449 tentang pengaturan tindak pidana penghinaan, pasal 218-220 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal 240-241 soal penghinaan pemerintah yang sah, dan pasal 353-354 soal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.
"Pasal ini memuat rumusan karet yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. Pasal-pasal ini selain tak relevan untuk masyarakat demokratis, juga karena sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," tutur Fickar.
Menurut Fickar, beberapa pasal bermasalah memuat rumusan karet karena tafsirnya bisa tergantung penguasa atau penegak hukum yang diintervensi kekuasaan.
Advertisement
Berpotensi Mengancam Profesi Jurnalis
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudi mengatakan, pasal-pasal tentang penghinaan pada RKUHP berpotensi membungkam kebebasan pers. Selain itu, penanganannya akan tumpang tindih dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Yang terkait itu (penghinaan) sangat berpotensi menjerat jurnalis karena sangat multitafsir dan karet, karena bisa jadi (penyelesaiannya) tidak lagi dengan sengketa pers tapi langsung pidana," ucap Ade.
Selain itu, Ketua Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Erick Tanjung mengatakan, pihaknya bersama sejumlah elemen yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP.
"Karena banyak pasal yang menyesatkan dan mengancam kebebasan pers dan mengancam demokrasi di masyarakat," ujar Erick.
Berdasarkan catatan AJI Jakarta, setidaknya terdapat 10 pasal yang berpotensi mengancam jurnalis dalam menjalankan tugasnya, antara lain pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden dan wapres, pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, pasal 263 tentang berita tidak pasti, pasal 281 tentang gangguan peradilan, pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, pasal 354 tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara, pasal 440 tentang pencemaran namabaik, dan terakhir pasal 446 tentang pencemaran orang mati.
Erick menilai, RKUHP tersebut dapat mengkriminalisasi jurnalis. Sebab, draf RKUHP yang disusun pemerintah dan DPR tidak menempatkan pers di pilar keempat demokrasi.
Muncul Pasal yang Pernah Dibatalkan MK
Beberapa pasal dalam RKUHP masih menjadi sorotan, salah satunya pasal penghinaan terhadap presiden. Pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006. Namun pada RKUHP kali ini, pasal itu dimunculkan lagi.
Berdasarkan draf RKUHP yang diterima pada 28 Agustus 2019, setidaknya ada tiga pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap harkat dan kehormatan presiden di RKUHP, di antaranya pasal 218, 219, 220.
Pasal 218 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Sedangkan ayat 2 berbunyi, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Pasal 219 berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Namun pada pasal selanjutnya diatur bahwa Pasal 218 dan Pasal 219 berlaku jika ada aduan. Aduan itu juga harus dilakukan oleh pihak yang dirugikan yakni presiden atau wakil presiden atau diwakili kuasa hukum masing-masing.
Pasal 220 ayat 1 berbunyi, "Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan." Sedangkan ayat 2 berbunyi, "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilaksanakan oleh kuasa presiden atau wakil Presiden."
Advertisement
Ada Pasal yang Ditunda Pembahasannya
Pasal perzinahan dan kumpul kebo ditunda pembahasannya dalam RKUHP. Pemerintah dengan beberapa fraksi belum menemukan titik temu.
Anggota Panja RKUHP Nasir Djamil mengatakan, ada draf yang harus direvisi karena mengaburkan subtansi. "Jadi dalam pandangan Fraksi PKS, revisi ini mengaburkan substansinya. Makanya kami meminta agar ini dipending dulu saja," kata Nasir.
Anggota Fraksi PKS itu mengatakan, pemerintah merevisi redaksi draf awal. Dari segi hukuman, mulanya dua tahun menjadi satu tahun. Selain itu, hubungan seksual direvisi menjadi secara umum. Tidak spesifik hubungan seksual sesama jenis.
"Jadi kami lihat revisi yang dibuat pemerintah, kami khawatir redaksinya malah mengaburkan substansi yang ada, makanya kami minta pending. Makanya kami minta bicara lagi nanti sama pemerintah," kata Nasir.
Anggota Komisi III DPR RI itu menyebut, redaksi yang tidak eksplisit itu mengkhawatirkan akan mengaburkan subtansi. Nasir mengaku bakal melobi pemerintah.
"Jadi ini kan khawatir mengaburkan substansinya. Karena itu nanti kami akan mencoba berkomunikasi dengan fraksi-fraksi yang ada, dengan pemerintah, ini gimana, jadi seperti apa," kata dia.
Senada, Menkumham Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah mengusulkan agar Pasal 418 didrop. Yasonna mengatakan, ada kekhawatiran pasal tentang 'janji menikahi perempuan yang disetubuhi' ini dapat dipermainkan.
Adapun isi Pasal 418 sebagai berikut:
(1) Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak kategori 3.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori 4.
Kemudian, Fraksi Gerindra meminta agar hukuman bagi yang melakukan seks di luar nikah dinaikkan dari enam bulan menjadi satu tahun penjara.
"Terkait larangan hidup bersama di luar perkawinan dikenal masyarakat dengan istilah kumpul kebo sebagimana diatur dalam pasal 419 ayat 1 RKUHP. Hidup bersama di luar perkawinan ini adalah sikap hidup yang dilarang semua agama dan ditentang keras masyarakat umum indonesia. Karena perbuatan tersebut akan merusak tata nilai ikatan perkawinan," kata anggota fraksi Gerindra Faisal Muharam.
"Fraksi Gerindra meminta pemberatan atas sanksi pidana bagi pelaku kumpul kebo menjadi satu tahun pidana penjara," tambahnya.
Sementara, permintaaan Menkumham Yasonna agar salah satu pasal yang menimbulkan kontroversi yakni 418 didrop akhirnya juga disetujui oleh Komisi III.
Segera Dibawa ke Paripurna
DPR dan pemerintah telah menyetujui untuk mengesahkan RKUHP. Pembahasan antara pantia kerja (panja) DPR dengan pemerintah, telah selesai.
"Panja DPR berhasil menyelesaikan pembahasan revisi KUHP untuk menggantikan KUHP lama peninggalan kolonial. Dengan demikian, sebuah misi bangsa Indonesia untuk melakukan misi dekolonialisasi hukum pidana nasional sudah hampir selesai," ujar anggota Komisi III DPR, Taufiqulhadi.
Menurut anggota fraksi Nasdem itu, panja telah menyelesaikan tugasnya kemarin malam. DPR dan pemerintah membahas revisi KUHP di Hotel Fairmont, Jakarta, pada 14-15 September. Kata Taufiqulhadi, pasal tumpang tindih atau multitafsir kini sudah dihilangkan.
"Dengan tuntas tugas panja ini semalam yang dipimpin oleh Wakil Ketua komisi 3, Mulfachri Haharap, maka pasal- pasal multitafsir dan memiliki norma yang tidak konsisten dengan pasal-pasal lainnya, sudah tidak ada lagi," kata Taufiqulhadi.
Setelah disepakati, hasil Panja akan dibawa ke sidang paripurna pada 25 September 2019.
"Selanjutnya, revisi KUHP yang akan disahkan nanti pada paripurna mendatang akan tetap disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)," kata Taufiqulhadi.
Advertisement
RKUHP Didukung dan Ditolak
Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mendukung RKUHP khususnya pada Pasal 281 tentang penghinaan terhadap hukum atau contempt of court. Menurut Hatta, pasal yang mengatur tentang kekerasan terhadap hakim belum diakomodasi dalam undang-undang.
Ia mengatakan, aturan tersebut diharapkan untuk melindungi hakim dari tindak kekerasan dari pihak yang berperkara saat memimpin persidangan.
"Penting ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur, sebab kita lihat selama ini banyak tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan pencari keadilan terhadap para hakim," ujar Hatta
Ia enggan menyinggung lebih lanjut mengenai banyaknya penolakan terhadap revisi ini. Menurutnya, hal itu merupakan kewenangan DPR dan pemerintah. Hatta mengatakan, MA tidak aktif dalam pembahasan setiap pasal revisi KUHP.
"Kadang kala memang ada permintaan dari kamar pidana untuk ikut berembuk," ujarnya.
Berbeda, Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menolak RKUHP disahkan. "RKUHP masih mengandung banyak masalah, baik secara substansi maupun proses pembahasan," ujar Koordinator Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi Astried Permata.
Peneliti Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) ini membacakan empat tuntutan. Pertama, mendesak pengesahan revisi KUHP dihentikan.
Aliansi juga meminta pemerintah menarik RKUHP dan membahas ulang. Mereka juga meminta semua rapat pembahasan harus dapat diakses publik.
"Meminta Pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan melibatkan seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil, serta DPR harus mengawal setiap proses tersebut, setiap rapat subtansi di Pemerintah juga harus dapat diakses publik," ujarnya.
Aliansi menilai RKUHP seakan menjadi pajangan pemerintah dan DPR. Sebabnya pengesahan tersebut dirasa sebagai pemaksaan.
"Kami kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menyerukan: tunda RKHUP, tunda demi semua, hapus pasal ngawur," ucapnya.
Penantian Panjang RKUHP
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly berharap pembaharuan RKUHP bisa rampung pada 2019. Sebab, hukum yang digunakan hingga saat ini merupakan warisan dari masa kolonial Belanda dan sudah perlu direvisi sesuai perkembangan zaman.
"Saya berharap tahun ini bisa kita selesaikan. Malu kita sebagai bangsa kalau kita masih menggunakan hukum pidana yang 100 tahun lalu masuk 1915, masuk Indonesia sekarang sudah 100 berapa tahun," tutur Yasonna di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Untuk itu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menggelar seminar nasional arah kebijakan pembaharuan hukum pidana bertajuk 'Sumbangan Pemikiran Multidisiplin Ilmu Terhadap Perkembangan Hukum Pidana' dan mengundang banyak pakar.
"Nah maka saya kira ini merupakan kontribusi. Ini multidisiplin berbagai ilmu pengetahuan, kriminologi, IT, psikologi, dan lain-lain, semua kita ambil," jelas dia.
Meski hukum pidana warisan zaman kolonial Belanda akan direvisi, lanjut Yasonna, pemerintah juga mesti berkaca dengan produk undang-undang yang digunakan hingga ratusan tahun itu. Perancang pembaharuan KUHP juga mesti visioner.
"Menjangkau keutuhan hukum nasional, sistem nilai kita harus terakomodasi. Nilai masyarakat harus dianut dalam hukum kita. Tapi pada saat yang sama jangkauan ke depannya, prediksi ke depannya, jenis-jenis perbuatan pidana yang mungkin terjadi ke depan itu seperti apa," kata Yasonna.
"Maka jangan sampai hukum pidana kita baru masuk 20 tahun sudah harus direvisi lagi. Maka ini betul-betul yang sangat kita harapkan bersama," tandasnya.
Advertisement