Liputan6.com, Jakarta - Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Mereka membawa misi menggagalkan DPR dan Pemerintah merevisi sejumlah Undang-undang. Unjuk rasa digelar pada 23 dan 24 September 2019.
Ada tujuh tuntutan yang dibawa para mahasiswa. Pertama mereka mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang sejumlah revisi undang-undang, khususnya KUHP. Sebab, pasal-pasal dalam RKUHP dinilai masih bermasalah.
Kedua, para mahasiswa mendesak pemerintah membatalkan revisi UU KPK yang baru saja disahkan. Revisi UU KPK dinilai membuat lembaga antikorupsi tersebut lemah dalam memberantas aksi para koruptor. Ketiga, Mahasiswa menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di wilayah Indonesia.
Advertisement
Keempat, para mahasiswa menolak revisi Undang-undang Ketenagakerjaan. Mereka menilai aturan tersebut tidak berpihak kepada para pekerja. Tuntutan kelima adalah tentang pembatalan revisi UU Pertanahan. Mereka menilai aturan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria.
Keenam, mahasiswa meminta agar pemerintah dan DPR menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Terakhir, mahasiswa mendorong proses demokrasi di Indonesia. Selama ini, negara dianggap melakukan kriminalisasi terhadap aktivis.
Gelombang penolakan terhadap revisi sejumlah undang-undang juga terjadi di beberapa daerah. Di antaranya saja, Medan, Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan beberapa kota lainnya.
Baca Juga
Selain membawa 7 tuntutan ini, mahasiswa juga menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR. Hal ini disampaikan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Manik Marganamahendra usai audiensi dengan sejumlah anggota DPR, yakni Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas, anggota Komisi XI Heri Gunawan, Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria, dan anggota Komisi Hukum DPR Masinton Pasaribu.Â
"Kami layangkan mosi tidak percaya kepada DPR dan kami akan menurunkan massa yang jauh lebih besar besok," kata Manik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 23 September 2019.
Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mendukung aksi mahasiswa yang menyuarakan kritiknya kepada DPR. Menurutnya, sudah saatnya mahasiswa turun ke jalan menyampaikan aspirasi.
"Tentunya saya sangat sependapat saat mahasiswa menyampaikan apa yang menjadi kekhawatiran saat ini dan semestinya memberikan masukan agar DPR bisa memberikan output yang mensejahterakan masyarakat," kata Emrus kepada Liputan6.com, Kamis (26/6/2019).
Menurut Emrus, mosi tidak percaya yang dinyatakan mahasiswa ini disebabkan oleh enggannya DPR membuka diri ke masyarakat. Khususnya dalam mengambil keputusan dalam merumuskan undang-undang. Akibatnya, DPR dianggap menutup diri dan menolak menerima masukan dari masyarakat.
"DPR harusnya duduk bersama untuk merumuskan input dan output yang akan membawa peraturan perundang-undangan yang menyejahterakan masyarakat," terang Emrus.
Dalam kondisi apapun ruang dialog menjadi sangat penting untuk dilakukan. Karena ini akan membawa para mahasiswa dan elit DPR duduk bersama untuk merumuskan input dan output yang akan membawa peraturan perundang-undangan yang mensejahterakan masyarakat.
"Namun begitu, pemerintah juga harus terus memberikan pemahaman atas kebijakan yang ditetapkannya, bahwa kebijakan itu benar sesuai untuk kepentingan rakyat. Silahkan mengambil ruang dialog bersama para mahasiswa dan elit DPR," tutur Emrus.
Sementara Pengamat Politik Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menyesalkan langkah Pemerintah dan DPR yang terkesan terburu-buru dalam mengesahkan revisi undang-undang, di antaranya revisi UU KPK.Â
Menurutnya, Pemerintah dan DPR dalam hal ini menghilangkan budaya musyawarah. Padahal, hal tersebut sangat lekat dengan kehidupan bermasyarakat.
"Nah selama ini kita tradisi kita terkesan menghilang, yang menonjol adalah bekerja dalam senyap tanpa meminta inisiatif pendapat, kemudian tiba-tiba melahirkan produk yang seperti ini," tutur Pangi kepada Liputan6.com, Kamis (26/9/2019).
Pangi berharap, pemerintah dan DPR dapat segera membuka ruang dialog dengan mahasiswa dan elemen masyarakat dalam waktu dekat.
Dengan dialog, Pangi optimis permasalahan yang terjadi di masyarakat khususnya mengenai revisi undang-undang bisa terselesaikan.Â
"Khasnya Indonesia itu dari dulu itu musyawarah. Jadi harus bersabar untuk sampai ke situ. Budaya konsesus itu harus dibangun secara terus menerus. Kita tidak boleh lelah dan bosan untuk bermusyarah mufakat," kata Pangi.
Aktivis lintas agama Yenny Wahid meminta, meminta kepada seluruh elemen bangsa agar mengedepankan dialog dalam menyikapi dinamika politik saat ini.
"Menyerukan kepada seluruh elemen-elemen bangsa agar mengedepankan dialog, dalam menyikapi berbagai macam dinamika politik. Juga termasuk kebuntuan-kebuntuan komunikasi. Ini harus dicairkan kembali," kata dia.
Menurut Yenny, Pemerintah dan DPR seharusnya berjiwa besar dalam menyikapi masukan dari mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya.
"Sehingga tidak ada letupan-letupan yang bisa mengakibatkan konflik-konflik utamanya horizontal di tengah masyarakat," ungkap Yenny.
Hal senada juga disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Ia mengapresiasi, aksi mahasiswa memperjuangkan aspirasi rakyat berkaitan dengan Undang-undang KPK hasil revisi dan revisi sejumlah Undang-undang.
Haedar mengungkapkan, revisi UU KPK harusnya menjadi pelajaran berharga agar DPR benar-benar menyerap aspirasi masyarakat.
Ia menekankan, semua pihak harus tetap mengutamakan kepentingan dan keutuhan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan institusi. Aksi mahasiswa jangan dipolitisasi atau diperkeruh sehingga menjadi tidak kondusif.
"Semua harus introspeksi diri sekaligus mengedepankan sikap berbangsa dan bernegara yang dilandasi jiwa kenegarawanan yang luhur demi Indonesia milik bersama," ucap Haedar, Rabu 25 September 2019.
Saksikan video pilihan berikut ini:
DPR Buka Pintu
Ketua DPR Bambang Soesatyo memastikan, pihaknya sangat terbuka dengan dialog dengan mahasiswa, termasuk dalam merumuskan rancangan dan revisi undang-undang.
"Kami bersedia kalau ingin dialog," kata Bambang di Gedung DPR, Kamis (26/9/2019).
Pria yang akrab disapa Bamsoet ini menyebut bahwa pihaknya mempersilakan para mahasiswa datang ke dalam gedung DPR dan menyampaikan berbagai kritik dan masukan.
"Kami persilahkan pada perwakilan mahasiwa apa yang belum kami penuhi," ucap Bamsoet.
Hal yang sama juga diutarakan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Fahri mengaku, DPR sangat terbuka berdialog dengan mahasiswa.
"Aku sudah 3 hari menunggu di Senayan. Ya saya siap," kata Fahri kepada Liputan6.com, Kamis (26/9/2019).
Fahri mengatakan, sebaiknya pertemuan DPR dengan mahasiswa digelar di dalam ruang Gedung DPR, bukan jalanan, apalagi dengan berunjuk rasa.
Fahri pun menampik, jika dirinya menolak menemui para mahasiswa saat unjuk rasa pada Selasa 24 September 2019. Ketika itu, kata Fahri, ia sedang memimpin rapat paripurna.
"Saya kan sedang memimpin sidang, kan enggak boleh ditinggal. Lagipula waktu ada permintaan ketemu kami habis paripurna langsung jumpa. Tapi kan ternyata sudah meletus (kericuhan)," terang Fahri.
Di pihak lain, Presiden Jokowi telah menugaskan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir untuk membuka dialog dengan mahasiswa untuk meredam aksi demonstrasi.
"Iya (diminta untuk meredam), mengajak mahasiswa untuk dialog dengan baik. Tidak melakukan turun ke jalan tapi kembali ke kampus masing-masing," ujar Nasir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Selain itu, Jokowi meminta, agar perguruan tinggi tak mengerahkan mahasiswa untuk turun ke jalan melakukan aksi. Menurut Nasir, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak ingin gerakan massa menganggu keamanan masyarakat.
"Arahannya adalah jangan sampai kita menggerakkan massa, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak diinginkan oleh keamanan," ucapnya.
Nasir juga mengimbau, sejumlah mahasiswa yang ikut aksi untuk kembali ke kampus masing-masing melanjutkan pendidikan. Dia mengaku, dalam waktu dekat ini akan aktif mengunjungi universitasi berbagai daerah untuk berdialog dengan mahasiswa.
"Kami akan aktif datang (ke universitas). Kami akan jelaskan apa yang disampaikan pemerintah," ujar Nasir.
Advertisement
Jokowi Undang BEM ke Istana
Presiden Jokowi mengungkapkan, pihaknya berencana mengundang para perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ke Istana pada Jumat 27 September 2019.
"Besok kami akan bertemu dgn para mahasiswa. Utamanya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)," ucap Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Jokowi pun mengapresiasi, demonstrasi mahasiswa yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP. Mantan Wali Kota Solo itu mengatakan, suara-suara mahasiswa yang menyatakan protes terhadap dua RUU kini merupakan bentuk dari demokrasi di Indonesia.
"Masukan-masukan yang disampaikan dalam demonstrasi menjadi catatan besar dalam rangka memperbaiki yang kurang di negara kita," kata Jokowi.
Jokowi juga menyampaikan, komitmennya terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Ia menekankan bahwa kebebasan berpendapat masyarakat harus dijaga dan dipertahankan.
"Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia. Bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan," ujar Jokowi.
"Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini," sambungnya.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Manik Marganamahendra mengaku, sudah mengetahui undangan pertemuan dari Jokowi.
"Iya, saya sudah dapat infomasi kalau dapat undangan dari Pak Jokowi," ungkap Manik, Kamis (26/9/2019).
Namun, Manik belum mau berkomentar banyak mengenai undangan dari Jokowi untuk berdialog di Istana pada Jumat (27/9/2019).
Ia mengaku, masih terus berkoordinasi dengan BEM lainnya terkait hal tersebut.
"Kami masih komunikasi dulu sama universitas lainnya," singkat Manik.