Sukses

Bebaskan Syafruddin Temenggung, Hakim Kasasi Terbukti Melanggar Etik

Syamsul diketahui berhubungan dan mengadakan pertemuan dengan pengacara Syafruddin Temenggung.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan sanksi etik terhadap hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi, Syamsul Rakan Chaniago. 

Syamsul diketahui merupakan hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap BDNI dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temengung (SAT).

Juru Bicara (MA), Andi Samsan Nganro menyatakan, Syamsul terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.

"Sudah diputuskan oleh tim pemeriksa MA dengan putusan bahwa saudara Syamsul Rakan Chaniago dipersalahkan," kata Andi Samsan seperti dikutip dari Antara, Minggu (29/9/2019).

Pada 9 Juli 2019 lalu, majelis kasasi yang terdiri atas hakim Salman Luthan selaku ketua dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin memutuskan Syafruddin Temenggung tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan.

"Hakim Syamsul Rakan Chaniago masih tercantum atas namanya di kantor lawfirm walau yang bersangkutan sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA," tambah Andi.

Selain itu, Syamsul juga diketahui berhubungan dan mengadakan pertemuan dengan pengacara Syafruddin Temenggung. Sebagai hakim yang tengah menangani sebuah perkara, seharusnya Syamsul tidak berhubungan dengan pihak yang berperkara.

"Yang bersangkutan bertemu dengan saudara Ahmad Yani, salah seorang penasihat hukum terdakwa SAT di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38 WIB sampai dengan pukul 18.30 WIB, padahal saat itu yang bersangkutan duduk sebagai hakim anggota pada majelis hakim terdakwa SAT," jelas Andi.

Atas alasan tersebut Syamsul Rakan Chaniago dikenakan sanksi etik. Hukuman nonpalu itu efektif sejak Syamsul menerima pemberitahuan dari MA.

"Sebagai terlapor yang bersangkutan dikenakan sanksi sedang berupa hakim non palu selama 6 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY No. 02/PB/MA/IX/2012 - 02 /BP/P-KY/09/2012," jelas Andi.

 

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Putusan MA

Seperti diketahui, MA mengabulkan kasasi yang diajukan terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung oleh Mahkamah Agung (MA).

Dengan demikian, Syafruddin Temenggung bebas dari jerat hukum. Putusan tersebut termaktub dalam amar putusan No. 1555K/PID.SUS-TPK/2019.

Sebelumnya Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, berdasarkan putusan, Syafruddin harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Selain itu, kemampuan, harkat dan martabat Syafruddin harus dipulihkan. Kemudian terdakwa juga dikeluarkan dari tahanan. Di sisi lain, ia menyebutkan, dalam putusan kasasi itu tidak bulat. Sebab, ada dissenting opinion di dalamnya.

Putusan tersebut termaktub dalam amar putusan No. 1555K/PID.SUS-TPK/2019. Sebelumnya Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, berdasarkan putusan, Syafruddin harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Selain itu, kemampuan, harkat dan martabat Syafruddin harus dipulihkan. Kemudian terdakwa juga dikeluarkan dari tahanan. Di sisi lain, ia menyebutkan, dalam putusan kasasi itu tidak bulat. Sebab, ada dissenting opinion di dalamnya.

"Dalam putusan tersebut, ada dissenting opinion. Jadi tidak bulat. Ketua majelis sependapat dengan judex factii dengan pengadilan tingkat banding. Hakim Anggota I, Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa perbuatan hukum perdata," ujar Abdullah dalam konferensi pers di Gedung MA, Selasa (9/7/2019).

"Hakim Anggota II, berpendapat terdakwa perbuatan tersebut merupakan ranah hukum administrasi," sambungnya.

Syafruddin Temenggung mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara dari vonis 13 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu pada putusan sebelumnya dianggap terbukti merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Â