Sukses

HEADLINE: Bambang Soesatyo Ketua MPR, Agenda PDIP Mengamandemen UUD 1945 Bakal Mulus?

Sejak awal dia sudah melihat kalau Bamsoet berada di gerbong tokoh politik yang menginginkan adanya amandemen terhadap UUD 1945.

Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan Partai Gerindra mendudukkan Ahmad Muzani sebagai Ketua MPR berakhir, Kamis 3 Oktober 2019 malam. Skors Sidang Paripurna MPR yang diminta Gerindra untuk lobi-lobi, tak sanggup menahan laju Bambang Soesatyo dari Golkar yang didorong PDIP dan fraksi lainnya di MPR.

Bahkan, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto mengamini permintaan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di detik-detik terakhir itu untuk mendukung Bambang Soesatyo. Skors sidang dicabut dan Gerindra menyatakan menerima pria yang karib disapa Bamsoet itu menjadi Ketua MPR.

"Hasil konsultasi Bapak Prabowo Subianto dengan Ibu Hj Megawati Soekarnoputri Presiden RI kelima, maka Bapak Prabowo dan Ibu Megawati bersepakat untuk kepentingan lebih besar," kata Ketua Fraksi MPR Ahmad Riza Patria dalam Sidang Paripurna MPR, Kamis malam.

Kuatnya dukungan PDIP terhadap Bamsoet bagi Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari sangat mudah dibaca. Sejak awal dia sudah melihat kalau Bamsoet berada di gerbong tokoh politik yang menginginkan adanya amandemen terhadap UUD 1945, hal yang juga menjadi misi dari PDIP sejak lama.

"Pak Bamsoet ini sudah menyatakan salah satu misinya adalah perubahan UUD tentang GBHN. Pada titik itu kan kita patut mempertanyakan, karena belum menampung aspirasi rakyat tapi wakilnya sudah menentukan pilihan, mau kemana arah lembaga ini akan dijalankan?" ujar Feri kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2019).

Dia mengatakan, esensi institusi MPR itu adalah menampung aspirasi rakyat, di mana hal-hal yang penting harusnya disampaikan saat kampanye lalu, sehingga publik mengetahui tentang visi dan misi si calon wakil rakyat.

"Sementara, apa yang direncanakan Bamsoet ini kan sangat politis, tanpa proses menampung aspirasi rakyat dan menyimpulkan sendiri. Atau jangan-jangan ini tujan yang direncanakan untuk mengubah konsep demokrasi lebih pada sistem oligarki di DPR-MPR," tegas Feri.

 

Infografis Wajah Pimpinan MPR 2019 - 2024 (Liputan6.com/Abdillah)

Karena itu pula, dia meyakini bulatnya kesepakatan yang dijalin PDIP dan Gerindra untuk memilih Bamsoet tak lepas dari paket perubahan UUD 1945. Kesepakatan kedua parpol besar itu pun menurutnya membuat MPR kehilangan kekuatan penyeimbang.

"Kita kehilangan oposisi, padahal rakyat ingin yang kalah bisa membangun kelompok kritis di parlemen, tapi malah ini menjauh dari yang diinginkan rakyat, di mana pemerintah dan opisisi harusnya menyeimbangkan," papar dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

Karena motif keterpilihan Bamsoet sangat politis, dia memastikan sudah ada tawaran-tawaran yang diajukan serta diterima parpol di MPR, salah satunya tentang mengembalikan GBHN. Di luar itu, setiap parpol tentu juga mendapatkan keuntungan tertentu yang tak diketahui publik.

"Kalau kita lihat, ini menunggu waktu saja, transaksi politik keluar satu per satu untuk kebutuhan siapa dan bagaimana. Yang jelas proses mengembalikan GBHN itu hasil tukar guling dengan 10 partai yang mendapat jatah kursi di pimpinan MPR," jelas Feri.

Yang sangat mengganggu menurut dia, tak hanya soal amandemen terbatas atau politik bargaining parpol di MPR, melainkan bakal berubahnya tatanan bernegara. Indonesia diyakini bakal mundur ke masa lalu jika amandemen itu terjadi. 

"Akan mengubah wajah sistem presidensil lebih ke arah parlementer dengan kekuasaan ada di MPR. Jadi nanti presiden akan bertanggung jawab ke GBHN melalui MPR. Dan mungkin saja proses pemilihan presiden akan dilakukan di MPR. Jadi arahnya seperti menuju Orde Baru," Feri menandaskan.

Lantas, bagaimana sebenarnya Bamsoet melihat kemungkinan dilakukannya amandemen UUD 1945 pada periode 2019-2024?

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Agar MPR Tidak Tidur

Dugaan kalau Bambang Soesatyo atau Bamsoet akan mengawal amandemen UUD 1945 melalui MPR periode 2019-2024 bisa jadi benar. Lihat saja, dalam pidato pertama usai dilantik, dia antara lain berharap ke depannya MPR menjadi lembaga yang komunikatif dalam menyikapi kebutuhan amandemen.

"Kami berharap, MPR periode ini adalah MPR yang terbuka dan mampu menatap perkembangan baik nasional, maupun internasional. Sehingga, MPR menjadi lembaga yang komunikatif bagi para anggotanya, terutama dalam menyikapi kebutuhan amandemen Undang-Undang Dasar 1945," ujar Bamsoet di Sidang Paripurna MPR, Kamis 3 Oktober 2019 malam.

Kendati demikian, Bamsoet menekankan, pilihan untuk mengamandemen UUD 1945 harus mengedepankan pada rasionalitas dan konsekuensi. Selain itu, amandemen juga tidak boleh merusak tatanan kehidupan bernegara yang berdasarkan Pancasila sebagai sumber hukumnya.

"Kami yakin, tugas MPR 2019-2024 akan berjalan dengan baik. Pimpinan MPR dari setiap fraksi, kami yakin adalah tokoh-tokoh terbaik yang memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas, dan leadership yang mumpuni, sehingga akan mampu menjalankan fungsi dan peran dengan baik," kata Bamsoet.

Ketua Bidang Perekonomian DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, tak ada istilah deal politik antara PDIP dengan Bamsoet terkait kursi Ketua MPR. Yang ada hanya penyamaan visi terkait tugas dan fungsi utama MPR.

"MPR kan tugas utamanya mengubah dan menetapkan UUD, kalau tugas pertama tak dikerjakan dan hanya melantik presiden dan wakilnya, MPR tidur lagi 5 tahun, baru nanti ada pemilihan lagi bangun lagi dari tidur nyenyaknya," ujar Hendrawan kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2019) petang.

Jadi, lanjut dia, biar tak dianggap tidur nyenyak, pimpinan MPR diberi anggaran untuk sosialisasi Empat Pilar. Namun, menurut dia tak mungkin lembaga negara dengan kewenangan tertinggi dan fasilitas untuk pimpinan yang luar biasa hanya bertugas menggelar sosialisasi.

"Maka marilah kita gunakan tugas yang pertama itu, mengubah dan menetapkan UUD, karena itu pekerjaan mereka, membuat amandemen. Kalau tidak ya artinya MPR tak tegas, jelas ya. Jadi jangan dibilang deal-dealan, jangan di-frame seakan-akan ini persekongkolan, persekutuan jahat, bukan!" tegas Hendrawan.

Di sisi lain, caleg PDIP Dapil Jateng 10 yang kembali terpilih menjadi anggota DPR RI itu tak menampik partainya yang mengusulkan agar dilakukan amandemen UUD 1945 secara terbatas.

"Yaitu menambah kewenangan MPR untuk menetapkan pokok-pokok haluan negara, dan itu sudah dibacakan dalam pertemuan terakhir tanggal 27 September di Paripurna MPR periode sebelumnya. Pertama soal tata tertib dan kedua soal rekomendasi pasal yang berisi membangun konsensus politik untuk menempatkan pokok-pokok haluan negara dalam Tap MPR," jelas Hendrawan.

Jadi, lanjut dia, tak ada masalah dengan keterpilihan Bamsoet sebagai Ketua DPR. Apalagi yang bersangkutan dipilih secara aklamasi, artinya semua fraksi termasuk DPD sudah bersepakat dan percaya Bamsoet bisa membawa MPR menjadi lembaga yang inklusif dan menjadi penjaga ideologi Pancasila.

"Kami harap MPR di tangan Bamsoet lebih kredibel dan bisa menjalankan fungsinya dengan baik," tandas Hendrawan.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono mengatakan amandemen UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan. Yang terpenting, amandemen yang dilakukan haruslah untuk kebaikan, karena kalau tidak akan menjadikan amandemen itu kontraproduktif bagi parpol dan parlemen.

"Kita melihat amandemen itu kebutuhan, apakah yang sekarang itu selaras atau melenceng dari cita-cita Proklamasi yang harus diamandemen? Tapi, kalau nanti diamandemen justru lebih jelek, tentu akan berhadapan dengan rakyat," ujar Arief kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2019).

Secara sederhana, lanjut dia, jika amandemen yang dilakukan MPR menjadikan sistem bernegara menjadi lebih baik dan sesuai dengan demokratisasi, dipastikan bakal didukung publik. Sebaliknya, penolakan akan datang jika amandemen melukai demokrasi.

"Misalnya, presiden dipilih MPR, itu akan menghadapi perlawanan dari masyarakat. Atau masa jabatan presiden boleh lebih dua periode. Jadi harus sesuai dengan cita-cita reformasi," papar Arief memungkasi.

3 dari 3 halaman

Bukan Cek Kosong

Sidang Paripurna MPR pada Kamis (3/10/2019) malam akhirnya sepakat memilih Bambang Soesatyo, wakil dari Fraksi Golkar, untuk menjadi Ketua MPR. Mantan Ketua DPR itu dipilih secara aklamasi setelah Fraksi Gerindra akhirnya menyerah usai Prabowo bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sesaat sebelum nama Ketua MPR yang baru dibacakan.

Ketua MPR Sementara Abdul Wahab Dalimunthe yang juga pimpinan sidang kemudian menjelaskan bahwa delapan fraksi MPR dan satu kelompok DPD telah sepakat mendukung pria yang karib disapa Bamsoet itu sebagai Ketua MPR.

"Oleh karena itu dengan persetujuan Gerindra, secara musyawarah mufakat dan aklamasi Bapak Bambang Soesatyo terpilih menjadi Ketua MPR," kata Abdul yang kemudian mengetok palu tanda sahnya Bamsoet terpilih sebagai Ketua MPR sekaligus mengakhiri drama politik sepanjang Kamis lalu itu.

Kuatnya dukungan PDIP untuk Bamsoet bukan tanpa alasan. Bahkan, sejak awal PDIP secara terbuka telah menyatakan sikap mendukung calon Ketua MPR RI dari Partai Golkar itu.

"Sesuai arahan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, partai kami akan mendukung Bambang Soesatyo dari Fraksi Partai Golkar sebagai calon Ketua MPR," ujar Ketua Fraksi PDIP MPR RI, Ahmad Basarah lewat keterangan tertulis pada Selasa malam, 2 Oktober 2019.

Namun, Basarah menyebut, dukungan tersebut bukanlah cuma-cuma. "Dukungan PDIP terhadap Bamsoet dan Partai Golkar untuk menjadi Ketua MPR bukan dengan cek kosong, artinya bukan tanpa syarat," ujar Basarah.

Dia menyebutkan, syarat tersebut sudah disampaikan PDIP kepada Bamsoet dan Fraksi Partai Golkar dalam pertemuan pada Selasa siang. Ada beberapa syarat yang diajukan. Pertama, PDIP meminta kepada Bamsoet dan Fraksi Partai Golkar untuk berkomitmen menjaga kepastian jalannya pemerintahan Jokowi fix term sesuai konstitusi sampai akhir masa jabatan tahun 2024.

Kedua, PDIP meminta Bamsoet mendukung kelanjutan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan Haluan Negara melalui Ketetapan MPR. Kemudian melanjutkan dengan sungguh-sungguh program Sosialisasi 4 Pilar MPR RI yang digagas pada awalnya oleh HM Taufiq Kiemas serta mendukung MPR untuk bekerja sama dan bersinergi dengan BPIP dalam tugas-tuga pembinaan ideologi bangsa.

Semua agenda tersebut, sebetulnya sudah menjadi rekomendasi yang diputuskan oleh MPR masa bhakti 2014-2019 kepada MPR masa bhakti 2019-2024.

"Syarat-syarat dukungan itulah yang telah kami sampaikan kepada Bamsoet dan rekan-rekan dari Fraksi Partai Golkar dan disambut dengan baik oleh Bamsoet dan rekan-rekan dari Fraksi Partai Golkar," ujar Basarah.

MPR memang telah merancang amendemen kelima UUD 1945 sejak tahun lalu. Rencana perubahan konstitusi ini didasari keinginan sejumlah partai politik untuk menghadirkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Mereka berpendapat, GBHN penting untuk menyelaraskan visi dan misi pembangunan. Mayoritas partai di parlemen dikabarkan telah menyepakati amendemen terbatas ini. Masa jabatan parlemen periode 2014-2019 yang sudah hampir habis membuat pembahasan amendemen dilimpahkan kepada anggota MPR periode 2019-2024.

Kemudian, dalam rekomendasi hasil Kongres V PDIP di Sanur, Bali, partai yang dipimpin Megawati itu juga kembali menegaskan perlunya amandemen UUD 1945 untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional dengan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, amendemen terbatas merupakan tanggung jawab partainya untuk memberikan arah dan kepastian pembangunan nasional. Ia mengatakan, amendemen tersebut justru akan menjadi warisan kepemimpinan Jokowi yang visioner.

"Pak Jokowi itu kader PDI Perjuangan, apa yang telah dilakukan Presiden justru akan menjadi dasar bagi rancangan haluan negara tersebut," kata Hasto lewat keterangan tertulis, Rabu 14 Agustus 2019. la juga menjamin amendemen tersebut tak akan melemahkan sistem presidensial.

Namun, Presiden Jokowi berseberangan sikap dengan partainya soal amandemen UUD 1945. Dia mengisyaratkan menolak amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menghidupkan kembali menjalankan GBHN.

"Saya ini kan produk pemilihan langsung," ujar Jokowi ketika makan siang bersama para pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 14 Agustus 2019.

Jokowi menyatakan, GBHN juga tidak diperlukan lagi. Alasannya, zaman bergerak dengan cepat dan dinamis sehingga harus direspons dengan cepat.

Menurut dia, GBHN tidak memiliki kemampuan untuk menjawab perkembangan zaman. la pun menuturkan, arah pembangunan sebenarnya sudah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Nasional (RPJMN dan RPJPN).

Selang sepekan kemudian, Jokowi mempertegas posisinya soal amandemen. Dia mengaku khawatir amendemen UUD 1945 akan berujung pada kembalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.

"Itu saling kait mengait. Kalau GBHN dikerjakan oleh MPR, artinya presiden mandataris MPR. Kalau presiden mandataris MPR, artinya presiden dipilih oleh MPR," kata Jokowi dalam acara Satu Meja di Kompas TV, Rabu 21 Agustus 2019.

Jokowi pun menegaskan bahwa ia akan menjadi orang yang pertama kali menolak jika presiden dipilih kembali oleh MPR. Apalagi ia ragu apakah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh para politikus di Senayan nanti benar-benar hanya akan sebatas pada wacana itu.

"Apa tidak melebar ke mana-mana? Karena saya sudah bicara dengan partai, kok beda-beda. Jangan sampai menambah masalah karena kita ingin memaksakan amandemen," tegas Jokowi.

Jadi, bisakah Bamsoet menjembatani dua pemikiran yang berbeda ini?