Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menyebut, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) bukanlah pilihan utama atas revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
"Ada pilihan lain yang lebih elegan dan sekaligus tidak mempermudah konstruksi kegentingan memaksa negara," kata Suparji di Jakarta, Senin 7 Oktober 2019.
Dia menilai konstruksi darurat menjadi lebih dipemudah bila pemerintah mengeluarkan Perppu atas desakan masyarakat. Selain itu hal tesebut juga dikhawatirkan akan menjadi sebuah tradisi ketatanegaraan yang mengabaikan kepastian hukum.
Advertisement
"Undang-undang begitu cepat berubah, mempertimbangkan hal tersebut maka sebaiknya tidak dikeluarkan Perppu," ucapnya.
Kendati begitu, Suparji menyarankan agar pemerintah lebih fokus dalam menyosialisasikan UU KPK kepada masyarakat. Hal itu bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa UU KPK hasil revisi tidak melemahkan KPK.
Sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menggelar survei opini publik terhadap gerakan mahasiswa dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tujuan dari survei ini salah satunya untuk mengetahui apakah masyarakat menerima atau menolak UU KPK.
Hasilnya, sebanyak 70,9 persen responden setuju bahwa UU KPK hasil revisi dapat melemahkan kinerja lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi.
"Sebanyak 70,9 persen publik yang tahu revisi UU KPK, yakin bahwa UU KPK yang baru melemahkan KPK, dan yang yakin sebaliknya hanya 18 persen," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan di Erian Hotel Jakarta Pusat, Minggu 6 Oktober 2019.