Sukses

KPK Pertimbangan PK Putusan Bebas Syafruddin Temenggung di Kasus BLBI

MA baru memberi salinan lengkap putusan bebas Syafruddin Arsyad Temenggung pada 2 Oktober 2019.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas vonis bebas Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pertimbangan upaya hukum PK salah satunya lantaran Syamsul Rakan Chaniago, anggota Majelis Hakim Agung yang memutus bebas Syafruddin Arsyad Temenggung menerima sanksi dari Mahkamah Agung (MA). Sanksi diberikan MA lantaran Syamsul bertemu dengan pengacara Syafruddin.

"Putusan SAT itu sedang dipelajari oleh penuntut umum. Memang ada fakta baru yang muncul beberapa waktu lalu ketika ada salah satu hakim yang diberi sanksi. Apakah ini bisa menjadi salah satu poin pertimbangan dilakukannya peninjauan kembali atau tidak, tentu kami perlu bahas terlebih dahulu," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (10/10/2019).

Menurut Febri, pihak penuntut umum pada KPK masih mempelajari putusan lengkap bebasnya Syafruddin Arsyad Temenggung. Febri mengatakan, pihak MA baru memberi salinan lengkap putusan bebas Syafruddin pada 2 Oktober 2019.

Febri menegaskan, KPK tak akan tergesa-gesa melakukan upaya hukum PK. Yang pasti, langkah hukum yang dilakukan KPK harus memiliki dasar dan alasan yang kuat.

"Kami sedang membahas, secara spesifik, itu perlu didalami lebih dalam, lebih clear ya. Alasan-alasan PK kan harus dilihat, atau alasan-alasan upaya yang lain juga harus dilihat," kata dia.

Febri mengatakan, pimpinan KPK berkomitmen menuntaskan kasus korupsi BLBI yang disinyalir merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun. "Fokus utama KPK adalah memaksimalkan asset recoverynya," kata Febri.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Putusan Kasasi MA

Majelis hakim kasasi MA mengabulkan permohonan kasasi Syafruddin. Dalam amar putusannya yang dibacakan pada 9 Juli 2019, Majelis Hakim Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan terhadap Syafruddin.

Dalam putusan bebas MA terhadap Syafruddin terjadi dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari para hakim. Ketua Majelis Hakim Salman Luthan menyatakan sependapat dengan Pengadilan Tinggi DKI yang menyebut kasus Syafruddin merupakan ranah pidana.

Sedangkan Hakim Syamsul Rakan Chaniago menyatakan perbuatan Syafruddin masuk dalam ranah perdata. Sementara Hakim Askin mengatakan bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan administrasi.

Setelah pemeriksaan, MA memutuskan Syamsul Rakan terbukti melanggar etik dan perilaku hakim. Syamsul Rakan Chaniago masih tercantum di kantor lawfirm meski telah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA.

Selain itu, Syamsul juga terbukti melakukan kontak dan bertemu dengan Ahmad Yani salah seorang penasihat hukum Syafruddin di Plaza Indonesia pada tanggal 28 Juni 2019 pukul 17.38 s.d pukul 18.30 WIB. Padahal Syamsul sedang menangani Kasasi yang diajukan Syafruddin.

Atas pelanggaran etik tersebut, MA menjatuhkan sanksi sedang terhadap Syamsul Rakan. Dengan sanksi ini, Syamsul Rakan dihukum enam bulan dilarang menangani perkara.