Sukses

HEADLINE: Wiranto Ditusuk, Alarm untuk Menumpas Sel Teroris Hingga Akarnya?

Menko Polhukam Wiranto diserang di Pandeglang. Kelompok teroris JAD diduga menjadikan purnawirawan jenderal itu target.

Liputan6.com, Jakarta - Insiden penusukan Wiranto di Pandeglang, Banten, membuat Presiden Joko Widodo bolak-balik ke RSPAD Jakarta, tempat Sang Menko Polhukam dirawat. Terhitung sejak kemarin, sang kepala negara telah dua kali membesuk.

Usai kunjungan, Jokowi menegaskan bahwa anak buahnya menjadi korban penyerangan dua terduga teroris. Mereka adalah Syahrial Alamsyah (SA) alias Abu Rara dan Fitri Andriana (FA). SA sendiri disebut bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS.

Menurut pengamat terorisme, Sidney Jones, penusukan terhadap sasaran target di Pandegelang merupakan pola lama yang digunakan kelompok pro-ISIS. Peristiwa itu pernah terjadi di tempat lain.

"Bukan pertama kali memakai upaya penusukan. Tapi ini agak jarang memang, mereka lebih senang membikin bom," ujar Sidney Jones kepada Liputan6.com, Jumat (11/10/2019).

Dia menuturkan, kekuatan kelompok JAD ini sebenarnya sudah melemah ketimbang setahun lalu. Ini menyusul langkah Polri yang terus menangkap anggota mereka di berbagai daerah di Indonesia.

Kondisi ini, lanjut Sidney, membuat organisasi ini tidak bersifat hierarkis lagi. Mereka berkembang ke beberapa sel yang bergerak atas kemauan sendiri. "Tapi dengan tujuan sama, untuk melakukan jihad terhadap Pemerintah Indonesia atas nama ISIS," ucap dia.

Terkait dengan penusukan Wiranto, dia mengaku tidak tahu apakah pelaku akan membunuh atau sekadar melukainya. Motif itu akan terungkap setelah Polri menginvestigasi kasus ini.

"Kita enggak tahu, bisa saja direncanakan. Maksud saya, JAD tidak lagi bergerak seperti organisasi nasional. Ada JAD Bekasi, ada JAD Lampung, ada JAD lainnya, tapi tidak ada satu JAD yang bergerak di bawah perintah satu amir (pemimpin)," jelas peneliti terorisme di Asia Tenggara ini.

Infografis Penusukan Wiranto (Liputan6.com/Abdillah)

Dia menilai, jenis penyerangan ini merupakan pola yang paling sulit dideteksi. Karena tak ada bahan yang harus dibeli secara online maupun di toko. Untuk itu, Sidney Jones memandang, peristiwa ini tak perlu disangkutpautkan dengan peran BIN yang dituding lemah.

Tak hanya itu, dalam menjalankan aksi, pelaku terduga teroris juga tidak banyak melibatkan orang. Mereka tidak perlu banyak diskusi lewat handphone dan sosial media. "Jadi jauh lebih sulit mendeteksi suatu aksi seperti ini dari pada pengeboman misalnya," terang Sidney.

Untuk memberangus jaringan ini hingga ke akarnya, menurut Sidney, sulit terwujud. Karena masih ada unsur JAD yang bergerak di Jawa Barat dan Banten. Ditambah ada juga orang yang merekrut tanpa afiliasi. "Tidak ada suatu negara di dunia yang berhasil menghilangkan seperti itu," tegas dia.

Namun begitu, hal tersebut bisa dilakukan dengan mengambil langkah-langkah preventif agar ajaran ekstremis tidak menyebar ke kampung-kampung. Misalnya, dengan mengawasi secara ketat para pendatang dan juga mereka yang dibebaskan dari penjara.

"Diperlukan banyak sumber daya, baik dari segi SDM maupun uang," ujar dia.

 

Al Chaidar

Pengamat Terorisme yang lain, Al Chaidar menilai, aksi yang dilakukan pelaku penusukan Wiranto merupakan pola lama. Yang baru hanya target dari 'amaliah' tersebut.

"Yang baru itu targetnya. Dulu polisi di pinggir jalan, sekarang mengarah ke terget yang disebut pejabat, yang relatif dijaga ketat, dan itu (dianggap) bisa mempermalukan negara," ujar Al-Chaidar kepada Liputan6.com, Jumat (11/10/2019).

Dia menambahkan, mereka memang berencana untuk membunuh sasaran target. Itu sesuai dengan amaliah yang biasa mereka lakukan. "Kalau dalam menerima perintah, amaliahnya untuk membunuh," ucap dia.

Al-Chaidar menilai, aparat bisa jadi kecolongan atas insiden penusukan Wiranto ini. Padahal, pelaku itu sebenarnya sudah pernah tertangkap di Bekasi. "Cuma saja kan, sistem hukum pidana kita tidak bisa menahan orang tanpa ada bukti-bukti yang kuat," ujar dia.

Ke depan, lanjut Al Chaidar, harus ada surveillance yang kuat dari kepolisian. Aparat harus terus mengikuti arah ke mana mereka pergi.

"Ya harus di-update terus. Tapi kan kekuatan Polri dibandingkan kekuatan mereka tak seimbang. Jumlah mereka cukup besar, sedangkan polisi harus menangani banyak hal, bukan hanya itu," Al Chaidar menandaskan.

Sementara itu, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan mengaku sudah lama memantau pergerakan pelaku penusukan Menko Polhukam Wiranto. Pelaku sudah terdeteksi sejak berada di Kediri, Jawa Timur. 

Presiden Joko Widodo memberi keterangan pers usai menjenguk Menko Polhukam Wiranto di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Kamis (10/10/2019). Wiranto terluka di perut akibat penyerangan oleh pria yang terpapar paham radikalisme di Pandeglang, Banten. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

"Sudah kita deteksi pindah ke Bogor, kemudian karena cerai dengan istri pertama pindah ke Menes," kata Budi di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Kamis (10/10/2019).

BG, begitu ia biasa disapa, memberi sinyal bahwa penusukan Wiranto merupakan rangkaian upaya mengacaukan situasi tersebut.

"Dari awal sudah kita sampaikan, kita sudah mendeteksi, kelompok-kelompok JAD ingin membuat instabilitas dengan melakukan 'amaliah', termasuk Abu Rara ini," kata dia.

Meski demikian, menurut Budi, BIN sulit mendeteksi gerakan JAD lantaran mereka bergerak dengan kelompok-kelompok kecil.

"Pertama, karena pergerakannya sistem sel. Sel itu kan titik kecil, orang per orang, kelompok per kelompok," jelasnya.

Karena itu, mantan Wakapolri ini meminta masyarakat turut mengawasi bibit-bibit JAD di lingkungan masing-masing. Bila ada yang mencurigakan, warga dapat segera menginformasikannya kepada yang berwajib.

"Kita mohon bantuan dari seluruh warga masyarakat untuk mengawasi kelompok seperti ini. Kalau ada yang mencurigakan, segera laporkan aparat," ucap Budi menandaskan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Kenapa Wiranto Jadi Sasaran?

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, pelaku menyerang Wiranto lantaran dianggap thogut dari kalangan pemerintah. Selain pemerintah, kelompok ini juga menyasar aparat kepolisian.

"Target sasaran utama adalah 'thogut', pemerintah yang dianggap kafir, kemudian aparat kepolisian, sudah lebih dari 17 Tahun melakukan preventif strike terhadap kelompok mereka," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (11/10/2019).

Dia mengungkapkan, dalam melakukan amaliah, pelaku bisa menggunakan dua cara. Yaitu dengan bom atau serangan benda tajam. "Sasarannya ditentukan, baik orang, kelompok maupun tempatnya," ujar Dedi.

Namun begitu, Polri belum dapat menangkap terduga teroris sebelum memiliki bukti permulaan yang cukup. Saat ini, aparat hanya sebatas melakukan tindakan preventif strike.

Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo memberi keterangan terkait penangkapan terduga teroris di Jakarta, Senin (6/5/2019). Sebelumnya, Densus 88/Anti Teror meringkus tujuh orang kelompok JAD jaringan Lampung dan menyita sejumlah barang bukti. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

"Preventif strike yang dilakukan aparat kepolisian tidak berhenti sampai di sini," ujar dia.

Dedi enggan disebut aparat kecolongan terkait insiden penusukan Wiranto. Menurut dia, tak ada yang bisa mendeteksi kapan terduga teroris akan melakukan amaliah.

"Tidak ada satu negara pun yang bisa melakukan deteksi suspect terduga teroris akan melakukan amaliah. Dia bisa melakukan amaliah kapan saja dan di mana saja," ujar Dedi.

Ia mengungkapkan, insiden penusukan Wiranto ini akan menjadi pelajaran berharga terkait pengamanan para pejabat. Selama ini, pengamanan setingkat menteri baru sebatas pengawal pribadi, pengawalan roda dua dan empat. "Itu nanti kita evaluasi," ucap Dedi.

Kendati demikian, lanjut Dedi, pihaknya tidak mungkin membatasi pejabat yang ingin berinteraksi dengan masyarakat. Mereka biasanya akan melakukan swafoto ataupun bersalaman.

Kompol Driyono, Kapolsek Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten terluka saat insiden penyerangan Menko Polhukam Wiranto. (Liputan6.com/ Yandhi Deslatama)

Terkait dengan pengakuan kedua pelaku, Dedi menuturkan, dari hasil pemeriksaan, keduanya telah berkomitmen untuk berbagi tugas. FA menyerang anggota kepolisian, sementara SA menyerang pejabat.

"Dia punya harapan, 'saya ditangkap, saya akan melakukan lakukan perlawanan semaksimal mungkin, saya akan ditembak, ditembak mati, jihadnya berhasil'. Begitu juga istrinya, 'kamu melakukan perlawanan sebisa mungkin', makanya sampai istrinya nekat melakukan perlawanan ke Kapolda," terang Dedi.

Dedi menampik kejadian ini mengada-ada. Peristiwa itu memang benar-benar terjadi. "Tidak mungkin ada pihak-pihak yang melakukan rekayasa," tegas Dedi

 

3 dari 3 halaman

Tuai Kecaman

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengaku pedih mendengar kejadian penusukan Wiranto. Dia menegaskan, radikalisme masih ada di Indonesia.

"Radicalism or terorism is still exist in Indonesia. Dan memang kita harus berhati-hati," tuturnya di Kantor Kemaritiman, Jakarta, Jumat (11/10/2019).

Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat tahun 1997 itu juga mengungkapkan, kasus serupa juga kerap terjadi di luar negeri. Karena itu, para pejabat Indonesia diminta selalu waspada.

"Ini bukan kasus di Indonesia saja, banyak negara mengalaminya (seperti kasus Wiranto). Yang terjadi kemarin kita merasa pedih. Saya sudah ke Pak Wiranto pagi ini dan dokter bilang, harus jaga keamanan, harus berhati-hati," ujarnya.

Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memberi keterangan pers menjelang pengumuman hasil Pemilu 2019 di Hotel Akmani Jakarta, Senin (20/5/2019). Menko Luhut mengatakan bahwa situasi Indonesia aman meskipun ada beberapa gejolak. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pendapat serupa juga disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK. Dia menilai, kelompok teroris masih ada di Bumi Pertiwi. Karenanya, dia meminta Polri dan BIN terus mengawasi dan mengantisipasi tindak-tanduk mereka yang mengancam keamanan negara.

JK juga tidak menyangka ,kejadian ini bakal menimpa anak buahnya. Penusukan terhadap Wiranto merupakan kejadian pertama sepanjang catatan bangsa Indonesia.

"Ini tidak disangka, ini pertama kali ini ada orang yang memang mencederai pejabat dengan tikaman," ujar JK di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Kamis 10 Oktober 2019.

Kecaman keras disuarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut MUI, apapun alasannya, tindakan brutal tidak dapat ditolerir.

"Ajaran agama mana pun tidak membenarkan tindakan kekerasan, menebar ketakutan, mencelakai orang yang tidak berdosa apalagi membunuh pejabat negara yang sedang melaksanakan tugas," ujar Waketum MUI Zainut Tauhid kepada Liputan6.com, Jumat (11/10/2019).

"Tindakan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan jauh dari nilai-nilai ajaran agama," imbuh dia.

MUI menduga bahwa pelaku adalah anggota dari jaringan terorisme yang masih beroperasi di Indonesia. Hal ini menyadarkan kepada masyarakat bahwa gerakan paham radikal dan terorisme masih aktif di Indonesia sehingga menuntut kewaspadaan bersama.

"MUI meminta kepada kepolisian untuk mendalami perkara tersebut sehingga diketahui motif pelakunya dan mengungkap jaringannya agar dapat diberantas sampai ke akar-akarnya," ujar dia.