Liputan6.com, Jakarta - Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto memilih tinggal di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat. Sampai sekarang, istilah Cendana selalu diidentikkan dengan Soeharto dan keluarga.
Lantas, kenapa Soeharto memilih tinggal di sana daripada istana?
Banyak rumor yang menyebut karena alasan kejawen. Tapi sebenarnya tidak begitu menurut Soeharto. Pertimbangan Soeharto karena faktor keluarga.
Advertisement
"Saya mengambil keputusan ini bukan karena tidak mau, melainkan demi kepentingan dan kebaikan keluarga. Untuk kepentingan anak-anak, agar tidak terpisahkan dari masyarakat, saya memilih tinggal di luar istana," kata Soeharto dalam Biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.
Menurut Soeharto, jika tinggal di Istana akan sangat sulit untuk keluarganya bisa bergaul dengan masyarakat. Di Cendana, walaupun dijaga ketat, masih lebih longgar ketimbang orang harus masuk Istana.
Berikut soal Jalan Cendana yang diidentikkan dengan Presiden Kedua Indonesia Soeharto:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pindah ke Cendana Sejak 1968
Soeharto dan keluarga pindah ke Jalan Cendana sejak 1968. Saat itu, dia baru dilantik sebagai Presiden Kedua Republik Indonesia pada 27 Maret 1968.
Sebelumnya, Soeharto tinggal di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Namun, para pengawal kepresidenan menilai rumah itu tak aman, karena ada gedung tinggi di belakangnya.
Kala itu, dikhawatirkan ada penembak atau ancaman lain pada keluarga Soeharto.
"Yang mengurus soal keamanan menganggap lebih baik pindah. Keamanan diri kami sangat dijaga, maklumlah," kata mantan Panglima Kostrad itu.
Situasi saat itu memang belum sepenuhnya aman. Gesekan antara Pendukung Orde Lama dan Orde Baru masih terjadi dan menimbulkan korban jiwa.
Â
Advertisement
Rumah Dipasangi Ranjau Anti-Tank
Mantan Pengawal Soeharto, Kapten Eddie Nalapraya bercerita pernah memasang ranjau anti-tank di jalan menuju rumah Soeharto. Jika ada pasukan penyerang, Eddie pun siap meledakkan ranjau tersebut.
Rumah Pak Harto di Jalan Agus Salim sebenarnya sudah dikawal satu kompi pasukan Zeni. Kira-kira sekitar 80 orang pasukan.
Namun, Eddie merasa itu masih kurang. Dia menugaskan satu peleton (kira-kira 20 orang pasukan) ditambah beberapa panser untuk mengawal Mayjen Soeharto.
Setiap malam Eddie ikut berjaga di rumah Pak Harto. Dia tak mau kecolongan.
"Saya lakukan itu untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan," kata Eddie dalam biografinya, Jenderal Tanpa Angkatan.
Dia menambahkan, Pasukan Tjakrabirawa dan kekuatan-kekuatan lain yang berseberangan dengan Angkatan Darat juga masih ada. Jika misal ada penculikan lagi, pasti Pak Harto jadi salah satu target utama.
Â
Istana Bukan Milik Presiden Saja
Soeharto menyebut Istana juga bukan hanya milik presiden. Karena itu dia ingin membuat banyak acara sehingga masyarakat juga bisa masuk ke dalam istana.
"Mengenai Istana, saya pikir, Istana Presiden bukan untuk presiden saja. Gedung itu adalah Istana Negara, Istana Kepala Negara, milik rakyat," kata Soeharto.
Â
Reporter : Tim Merdeka
Sumber : Merdeka.com
Advertisement