Sukses

Rentetan Kepala Daerah yang Ditangkap KPK karena Minta Setoran

Dalam OTT Dzulmi, KPK turut mengamankan uang Rp 200 juta. Uang itu diduga merupakan hasil setoran dari dinas-dinas.

Liputan6.com, Jakarta - Jelang diberlakukannya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK hasil revisi, saat ini lembaga antirasuah itu gencar melakukan Operasi Tangkap Tangan atau OTT.

Dua hari jelang UU KPK diberlakukan, tim penindakan lembaga antirasuah mengamankan Wali Kota Medan Dzulmi Aldin. Dzulmi merupakan pejabat ke-21 yang terjaring OTT KPK sepanjang 2019.

Sebelumnya, KPK juga menangkap Bupati Indramayu Supendi. Supendi sudah dijerat sebagai tersangka suap dan gratifikasi.

Dalam OTT Dzulmi, lembaga antirasuah turut mengamankan uang Rp 200 juta. Uang itu diduga merupakan hasil setoran dari dinas-dinas.

Rupanya, tak hanya Dzulmi. Ada kepala daerah lain yang justru menyalahgunakan jabatannya untuk mencari uang di luar pekerjaannya.

Misalnya, Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Atut didakwa telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Gubernur Banten untuk meminta sejumlah uang kepada beberapa pihak.

Berikut kepala daerah yang ditangkap KPK karena diduga menyalahgunakan jabatannya untuk mendapatkan uang lebih dihimpun Liputan6.com:

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 7 halaman

Ratu Atut Chosiyah

Dalam dakwaannya, Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dinilai telah merugikan negara sebesar Rp 79.789 miliar dan memperkaya sang adik, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan sebesar Rp 50 miliar.

Selain itu, Atut juga didakwa telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Gubernur Banten untuk meminta sejumlah uang kepada beberapa pihak.

Uang tersebut diminta Atut sebagai komitmen loyalitas bagi mereka yang ingin menjadi Kepala Dinas di salah satu SKPD di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rony Yusuf mengatakan, setidaknya ada empat orang yang memberikan sejumlah uang ke Ratu Atut demi mendapatkan jabatan Kepala Dinas (Kadis). Uang tersebut berkisar antara Rp 100-150 juta.

"Djadja Buddy Suhardja sebesar Rp 100 juta, Iing Suwargi sebesar Rp 125 juta, Sutadi sebesar Rp 125 juta dan Hudaya Latuconsina Rp 150 juta. Sehingga seluruhnya sebesar Rp 500 juta," ujar JPU Rony saat membacakan surat dakwaan Atut, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 8 Maret 2017.

Setelah uang itu diterima Atut, empat orang tersebut langsung diangkat menjadi Kadis Pemprov Banten. Djadja Buddy Suhardja diangkat sebagai Kadis Kesehatan Pemprov Banten pada Februari 2006.

Hudaya Latuconsina dilantik sebagai Kadis Perindustrian dan Perdagangan pada 2008, selanjutnya dilantik sebagai Kadis Pendidikan pada Januari 2012.

Iing Suwargi dilantik sebagai Kadis Sumber Daya Air dan Pemukiman pada Januari 2012. Sutadi dilantik sebagai Kadis Bina Marga dan Tata Ruang pada Agustus 2008.

Atas perbuatannya ini, Ratu Atut dijerat dengan pasal 12 huruf e atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 31 tahun 2001.

 

3 dari 7 halaman

Gubenur Nonaktif Jambi Zumi Zola

Gubenur nonaktif Jambi Zumi Zola, dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum KPK. Zumi dinilai terbukti menerima gratifikasi dan memberi suap kepada DPRD Provinsi Jambi untuk pertanggungjawaban APBD 2017 serta pengesahan APBD 2018.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Zumi Zola Zulkifli berupa pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan," ucap jaksa Iskandar Marwanto saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 8 November 2018.

Jaksa merinci penerimaan gratifikasi yang diperoleh Zumi Zola dari sejumlah rekanan swasta yang kerap mengerjakan proyek-proyek di lingkup Provinsi Jambi.

Uang gratifikasi tidak diterima secara langsung oleh mantan aktor tersebut, melainkan melalui dua orang dekatnya, yakni Asrul Pandapotan Sihotang dan Apif Firmansyah.

Sejak dilantik menjadi Gubernur Jambi pada 12 Februari 2016, Zumi Zola langsung memerintahkan dua anak buahnya tersebut mencari uang ke beberapa rekanan proyek untuk melunasi utang-utangnya selama masa kampanye.

"Meminta Apif Firmansyah melunasi utang-utang terdakwa selama kampanye," ujar Iskandar.

Jaksa menyebut total penerimaan gratifikasi oleh Zumi sejak Februari 2016 hingga November 2017 sebesar Rp 37.477.000.000, USD 183.300, SGD 100.000, dan 1 unit Toyota Alphard.

Ia juga dituntut telah melakukan tindak pidana memberi suap kepada DPRD Provinsi Jambi untuk pembahasan APBD dua tahun anggaran 2017 dan 2018.

Total pemberian suap untuk dua tahun anggaran tersebut sebesar Rp 16 miliar dengan rincian tahun anggaran 2017 Zumi Zola melalui anak buahnya, yakni Kabid Bina Marga Provinsi Jambi, Arfan memberi suap sebesar Rp 12.940.000.000 sementara tahun anggaran 2018 ia memberi suap Rp 3.400.000.000. Uang suap tersebut disebut sebagai uang ketok palu.

 

4 dari 7 halaman

Mantan Bupati Bekasi Neneng

KPKmenetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yason sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.

Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Bupati Neneng dan kawan-kawan dengan total suap yang diterima sejumlah Rp16,1 miliar dan SGD 270 ribu.

"Para terdakwa memberikan kemudahan dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan atau IMB kepada PT Lippo Cikarang melalui PT Mahkota Sentosa Utama yang mengurus perizinan pembangunan proyek Meikarta," ujar jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu, 27 Februari 2019.

Mereka yang duduk di kursi terdakwa yakni Bupati Neneng, Jamaludin sebagai Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi, Dewi Tisnawati sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Pemkab Bekasi, Sahat Maju Banjarnahor sebagai Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi dan Neneng Rahmi Nurlaili sebagai Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Pemkab Bekasi.

Masing-masing terdakwa menerima suap untuk kepentingan berbeda meski secara umumnya terkait perizinan proyek Meikarta. Begitu juga dengan besaran uang yang diterima berbeda-beda.

"(Pemberian suap) agar terdakwa Neneng Hasanah Yasin menandatangani IPPT (Izin Peruntukan Penggunaan Tanah) pembangunan Meikarta sebagai salah satu syarat untuk penerbitan IMB tanpa melalui prosedur yang berlaku," ucap jaksa.

"Para terdakwa telah menerima uang seluruhnya sejumlah Rp 16.182.020.000 dan SGD 270 ribu dengan rincian," lanjut jaksa.

Dalam dakwaan, para terdakwa menerima uang sebagai berikut. Neneng Hasanah Yasin menerima Rp 10.830.000.000 dan SGD 90 ribu, Jamaludin Rp 1,2 miliar, Dewi Tisnawati Rp 1 miliar dan SGD 90 ribu, Sahat Maju Banjarnahor Rp 952.020.000 dan Neneng Rahmi Nurlaili menerima Rp700 juta.

Neneng Hasanah beserta empat anak buahnya didakwa melanggar Pasal 12 huruf a dan/atau Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Selain kelima terdakwa, jaksa KPK juga menyebut adanya aliran uang ke sejumlah orang lainnya yang belum berstatus sebagai tersangka. Salah satu pemberian disebut mengalir pula untuk Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Iwa Karniwa.

 

5 dari 7 halaman

Mantan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra

KPKmenetapkan mantan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra (SUN) tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penetapan terhadap Sunjaya ini merupakan pengembangan perkara kasus dugaan suap jual beli jabatan di Kabupaten Cirebon.

"Sehingga KPK meningkatkan status perkara Tindak Pidana Pencucian Uang ke penyidikan dan menetapkan SUN Bupati Cirebon periode 2014 - 2019sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 4 Oktober 2019.

Syarif mengatakan, selama menjabat Bupati Cirebon, Sunjaya diduga menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebesar Rp 41,1 miliar.

Uang tersebut terkait pengadaan barang/jasa dari pengusaha sekitar Rp 31,5 miliar, terkait mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Mojokerto dari Aparatur Sipil Negara sekitar Rp 3,09 miliar.

Kemudian setoran dari Kepala SKPD/OPD sekitar Rp 5,9 miliar, serta terkait perizinan galian dari pihak yang mengajukan izin lainnya Rp 500 juta.

Selain itu, Sunjaya juga diduga menerima hadiah atau janji terkait perizinan PLTU 2 di Kabupaten Cirebon sebesar Rp 6,04 miliar dan perizinan properti di Cirebon sebesar Rp 4 Miliar.

"Sehingga, total penerimaan tersangka SUN dalam perkara ini adalah sebesar sekitar Rp 51 Miliar," kata Laode Syarif.

Atas perbuatan tersebut, Sunjaya disangkakan melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

 

6 dari 7 halaman

Wali Kota Medan Dzulmi Eldin

KPK melakukan operasi tangkap tangan di Medan, Sumatera Utara. Penyidik diduga meringkus sejumlah orang dalam operasi tersebut.

Selain itu, KPK mengamankan uang ratusan juta rupiah. KPK menyebut, penangkapan terhadap mereka diduga berkaitan dengan adanya setoran dari dinas-dinas setempat kepada Wali Kota Medan.

"Diduga ada setoran dari dinas-dinas ke Kepala Daerah," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Rabu (16/10/2019).

Febri mengatakan, KPK juga mengamankan sejumlah uang dalam OTT terhadap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. Setelah dihitung, uang itu berjumlah Rp 200 juta.

"Uang yang diamankan lebih dari Rp 200 juta. Diduga praktek setoran dari dinas-dinas sudah berlangsung beberapa kali. Tim sedang mendalami lebih lanjut," kata Febri.

7 dari 7 halaman

Mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin

Rachmat Yasin baru saja bebas pada 8 Mei 2019 kemarin. Dia dijerat dalam kasus suap rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor Tahun 2014 atas nama PT Bukit Jonggol Asri seluas 2.754 Hektare.

Rachmat Yasin divonis 5 tahun 6 bulan penjara. Dalam perkara yang diawali operasi tangkap tangan (OTT) pada 7 Mei 2014, KPK juga memproses FX Yohan Yap (swasta), M Zairin (KepaIa Dinas Pertanian dan Kehutanan Bogor) dan Kwee Cahyadi Kumala, Komisaris Utama PT. Jonggol Asri dan Presiden Direktur PT. Sentul City.

Tak lama menghirup udara bebas, KPK justru menjadwalkan pemeriksaan Rachmat Yasin sebagai tersangka. Dia dijerat dalam kasus dugaan 'memalak' dan 'menyunat' para satuan perangkat kerja daerah (SKPD) selama menjabat Bupati Bogor.

"Rachmat Yasin akan diperiksa sebagai tersangka pemotongan uang dan gratifikasi Bupati Bogor," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa, 8 Oktober 2019.

Selain Rachmat Yasin, tim penyidik juga akan memeriksa dua saksi dalam kasus ini, mereka adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Camalia Wilayat Sumaryana dan Bendahara Pengeluaran Pembantu di RSUD Cibinong Leidia Marhareta Kandou.

"Keduanya akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka RY (Rachmat Yasin)," kata Febri.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Rachmat Yasin, Bupati Bogor periode 2009-2014 dalam kasus suap. Rachmat Yasin kini dijerat dengan kasus dugaan "memalak" dan "menyunat" para satuan perangkat kerja daerah (SKPD) selama menjabat Bupati Bogor.

Rachmat Yasin diduga meminta, menerima atau memotong pembayaran dari beberapa SKPD Rp 8.931.326.223. Setiap SKPD diduga memiliki sumber dana yang berbeda untuk memberikan dana kepada Rachmat Yasin.

Uang tersebut diduga digunakan Rachmat Yasin untuk biaya operasional dan kebutuhan kampanye Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Legislatif yang diselenggarakan pada 2013 dan 2014.

Selain itu, Rachmat Yasin juga diduga menerima gratifikasi, yaitu berupa tanah seluas 20 hektare di Jonggol, Kabupaten Bogor dan Toyota Velflre senilai Rp 825 juta.