Sukses

UFS Trendwatch 2019 Bahas Pengaruh Perubahan Iklim di Dunia Kuliner dan Lingkungan

Potensi kuliner Indonesia yang besar, pemerintah dan pelaku industri harus potition maping.

 

Liputan6.com, Jakarta Makanan yang sedang tren di dunia di tahun ini, dibahas dalam acara UFS Trendwatch 2019. Acara yang digelar di Ramayana Resort, Bali pada Jumat (25/10) itu, dihadiri oleh chef dan juga pelaku industri kuliner lain. 

Acara yang digelar oleh Unilever Food Solutions (UFS) itu menghadirkan tiga narasumber. Ada Gungun Handayana (Executive Chef Unilever Food Solutions Indonesia), Don Kardono (Staf Khusus Menteri Pariwisata era Arief Yahya), dan Deri Slyravo (Marketing Lead Zamato Gold Indonesia).

Setiap tahun atau sejak 2016, UFS Trendwatch digelar bergantian di Jakarta dan Bali. Dengan digelarnya acara atau workshop ini, diharapkan dapat memberi inspirasi pada pelaku kuliner. Para pelaku industri kuliner jadi tahu, bagaimana mengimplementasikan tren-tren makanan di dunia tiap tahun.

Chef Gungun mengatakan, saat ini cuaca iklim sudah berubah-ubah. Perubahan iklim ini akan mempengaruhi produksi bahan-bahan pangan seperti beras, gandum dan biji-bijian. Sementara kebutuhannya akan terus meningkat.

"Dimulai tahun 2030 hingga 2050 nanti, berdasarkan survei valid itu akan terjadi. Melalui UFS, bekerja sama dengan lembaga-lembaga lainnya, kami akan berusaha mengeksplor bahan lainnya untuk menghadapi situasi perubahan iklim ini," kata Gungun.

Gungun mengatakan, para pelaku kuliner diharapkan turut mengeksplor bahan-bahan makanan. Tidak lagi bergantung pada beras, gandum ataupun jagung.

"Tak kalah penting, Kita juga harus memperhatikan food waste-nya. Indonesia merupakan negara dengan food waste terbesar kedua setelah India. Ke depan harus diperhatikan juga terkait food sustaibility-nya," kata Gungun.

Sementara, Don Kardono menjelaskan, wisatawan datang ke Indonesia 60 persen karena culture, 35 persen karena nature, dan 5 persen karena man made.

Kuliner termasuk dalam culture, wisatawan datang 41,69 persen karena kulinernya. Pengeluaran wisatawan 45 persen juga untuk food and beverage. Kuliner juga yang paling tinggi menumbuhkan Gross Domestic Product (GDP).

"Potensi kuliner kita sangat besar, dari ujung Aceh sampai Merauke memiliki kuliner khas masing-masing. Pemerintah juga mendukung dengan adanya Tim Percepatan Wisata Belanja dan Kuliner. Tinggal potition maping seperti apa nanti memanfaatkan potensi kuliner itu," jelas Don Kardono.

 

Don Kardono menambahkan, pemerintah juga mengandalkan kuliner untuk menarik kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) Salah satunya dengan cara co-branding dengan restoran diaspora yang ada di mancanegara.

"Tahun ini ditargetkan 100 restoran dengan branding Wonderful Indonesia. Tahun depan targetnya 250 restoran. Syaratnya restoran tersebut harus ada menu salah satu dari lima nasional food yang sudah populer di dunia seperti rendang, nasi goreng, sate, soto, dan gado-gado," sebut Don Kardono.

Tak ketinggalan, Don Kardono juga mendorong pelaku kuliner memanfaatkan media digital untuk berpromosi. Selain itu, gandeng komunitas yang memiliki passion yang sama dalam bidang kuliner atau pariwisata untuk turut mempromosikan.

"Media paling efektif dalam berpromosi saat ini adalah media sosial. Salah satunya yang dilakukan komunitas anak muda Generasi Pesona Indonesia (GenPi). Apapun yang mereka posting, selalu menjadi trending topic," kata Don.

Masyarakat, lanjut Don Kardono, khususnya anak muda, tak bisa lepas dari media sosial. Bila makan di restaurant, difoto dulu lalu diposting, kemudian berdoa dan dimakan. Bila postingannya mendapatkan banyak respon akan bahagia begitu juga sebaliknya.

"Sebab itu kuliner harus disajikan semenarik mungkin agar siapapun ingin mempostingnya. Sebab 97 persen kaum milenial mem-posting perjalanannya termasuk apa yang dimakan," kata Don Kardono.

Ditegaskan Don Kardono, Pemerintah juga memperhatikan terkait food waste untuk tourism sustainable development. Pasalnya, dalam penilaian Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang dilakukan World Economic Forum (WEF), Indonesia selalu naik levelnya. Namun yang paling lemah terkait pengelolaan sampah, termasuk food waste.

"Kini TTCI Indonesia berada di posisi 40 dari 140 negara yang dikalibrasi dengan global standart. Persaingan 140 negara betul-betul super ketat. Perjalanan kita, selama 5 tahun ini sudah melompak dari peringnat ke-70 dunia tahun 2013-14, naik ke nomor 50 tahun 2015, naik lagi peringkat 42 tahun 2017, dan 40 di tahun 2019 ini. Itu juga karena Kita mulai memperhatikan terkait pengelolaan sampah,” ungkap Don Kardono.

 

(*)