Sukses

Bereskan Masalah Hukum, Jokowi Dinilai Perlu Bentuk Lembaga Legislasi Nasional

Fahmi menilai pembentukan instisusi legislasi nasional telah dilakukan oleh beberapa negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang dan Australia.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid menilai Presiden Jokowi perlu membentuk Kementerian atau Lembaga Urusan Legislasi Nasional. 

Menurut dia, hal itu penting dilakukan mengurus dan mengelola urusan regulasi, mulai dari tahap perencanaan, hingga peninjauan dan rekomendasi perbaikan atau revisi peraturan perundang-undangan secara nasional. 

Fahmi menilai, program penyederhanaan ribuan peraturan perundang undangan, yang selama ini diselesaikan melalui mekanisme peradilan tata negara, semisal judicial review ke Mahmakah Konstitusi (MK) belum menyelesaikan masalah, karena menurut Fahri, MK tidak mungkin menjangkau berbagai peraturan perundang-udangan sampai pada level yang paling bawah dan teknis.

"Untuk itu menjadi penting dan urgent untuk membuat terobosan hukum tata negara dengan melahirkan sebuah Kementerian atau lembaga khusus yang menagani permasalahan tersebut,” ujar Fahri Bachmid melalui keterangan persnya, Sabtu (26/10/2019).

Menurutnya, Kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional idealnya diberikan mendat konstitusional penanganan urusan pembangunan hukum (legislasi) mulai dari hulu sampai ke hilir, yaitu mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, konsolidasi hingga peninjauan serta revisi terhadap perundang-undangan yang berlaku secara positivistik.

Hal itu, katanya, telah dilakukan beberapa negara. Di antaranya, The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat, The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Inggris, Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang, Ministry of Government Legislation (MoLeg) di Korea Selatan, serta The Office of Best Practice Regulation di Australia.

"Gagasan pembentukan lembaga legislasi ini pada 2012 pernah direkomendsikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sepanjang berkaitan dengan pembenahan komprehensif peta regulasi di Indonesia," kata Fahri.

Dia pun menganggap, problem hukum seperti inkonsistensi dan disharmoni peraturan perundang-undangan bukan saja dalam konteks materil (substansi materi hukum), tetapi dari aspek birokrasi pembentukan perundang-undangan telah menjadi masalah tersendiri.

Fahmi mencontohkan,seperti banyaknya pintu birokrasi seperti melalui Kemenkum HAM, Mensesneg, Seskab dan juga DPR melalui Baleg dan sebagainya yang semuanya berurusan dengan Legislasi, sehingga secara teknis ketatanegaraan, sangat sulit untuk dapat mengendalikan obesitas dan hiper-regulasi secara sistemik sesuai logika dan ilmu perundang undangan.

"Karena setiap lembaga berlomba membentuk perundang-undangan, seolah setiap persoalan bangsa hanya dapat diatasi dengan memproduksi UU, tanpa melihat hasil guna dan berdaya guna. Ini yang menjadi masalah,” katanya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

2 dari 2 halaman

Fokus Urusan Legislasi

Fahmi meyakini, jika kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional ini terbentuk nantinya akan menjadi  sekotr terdepan terhadap semua Kementerian dan Lembaga negara terkait yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dan pada saat yang sama maka presiden dapat membubarkan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Kemenkum HAM.

"Biar semua lembaga-lembaga itu di Likuidasi saja dan dikonsolidasikan ulang kedalam Kementerian/Lembaga urusan legislasi nasional, yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden,” ucap dia. 

Sebab secara teknis selama ini Kemenkum HAM hanya memiliki satu direktorat yang mengurus seluruh peraturan perundang-undangan. Secara teoritik sangat mustahil dapat menyelesaikan beban berat mengurus dan menata aspek regulasi secara nasional yang sejalan dengan visi pembangunan hukum kita,” tandas Fahri.