Liputan6.com, Jakarta - Cuaca di Puncak Bogor, Jawa Barat, dalam minggu belakangan terasa berbeda. Suhu di daerah yang dikenal dengan kesejukan udaranya itu sedikit menyengat kulit.
Stasiun Meteorologi Citeko Bogor mencatat, suhu udara di daerah puncak pada 23 Oktober 2019 mencapai 30,3 derajat celcius dengan kelembaban udara 27 persen alias sangat kering.
Baca Juga
Tidak hanya di Puncak, di Kota Bogor suhu udaranya juga terekam lebih tinggi, mencapai 36 derajat celcius. Sementara di tempat lain seperti Bekasi dan Jakarta pun merasakan hal yang sama.
Advertisement
Sengatan udara panas di Jakarta juga dirasakan seorang warga DKI, Melissa. Dia mengaku suhu udara yang terjadi belakangan ini sangat ekstrem.
"Panas banget, mau lap muka pakai tisu basah biar adem, tahunya tisu basahnya hangat. Tadi bawa minum air dingin, waktu ditaruh sebentar di luar, langsung jadi air hangat," kata Melissa sambil sedikit tertawa.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Mulyono R Prabowo menyebut, situasi ini akan terjadi hingga akhir Oktober 2019. Hal ini mengingat posisi matahari masif relatif dekat dengan Indonesia.
"Posisi matahari saat ini, Senin (28/12/2019) kira-kira ada di ~10 derajat lintang selatan," ujar Prabowo kepada Liputan6.com, Senin (28/10/2019).
Dia mengungkapkan, cuaca panas akan tetap terjadi di masa-masa mendatang. Namun begitu, suhu itu tidak seekstrem pada sebelumnya.
"Potensi suhu tinggi di Indonesia, masih ada. Hanya tidak akan setinggi seperti yang kemarin (39,6 di Semarang) terjadi," ujar dia.
Selanjutnya setelah Oktober, kata Prabowo, suhu panas di atas 35 derajat celcius cenderung tidak kembali muncul. Cuaca akan diwarnai dengan musim hujan.
"Apalagi setelah memasuki musim hujan di bulan November," ujar dia.
Prakiraan BMKG menyebutkan, 20 persen wilayah pada Oktober 2019 sudah memasuki musim penghujan, 47% wilayah pada November 2019 mulai musim hujan, dan 23% wilayah akan memasuki musim penghujan pada Desember 2019.
Dia menjelaskan, faktor suhu panas terjadi karena pergerakan semu matahari. Terlebih bersamaan akhir musim kemarau tahun 2019 yang terlambat.
Namun saat ini, meski hujan sudah turun di berbagai wilayah, bukan sebagai indikator bahwa musim kemarau telah berakhir. Karena hujan yang turun sebagai variasi cuaca harian.
"Untuk beberapa tempat di Sumatera, seperti di Medan dan Aceh memang sudah masuk musim hujan. Tapi untuk beberapa tempat di Jawa, hujan yang muncul di beberapa tempat sebagai bentuk variabilitas cuaca harian (musim kemarau tidak selalu harus tidak ada hujan)," jelas Prabowo.
Sementara itu, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menilai, suhu panas pada musim pancaroba yaitu sekitar Oktober, merupakan bukan gelombang panas atau cuaca ekstrem. Menurutnya, itu adalah hal yang lumrah.
"Fenomena tahunan yang normal," ujar Thomas Djamaluddin dalam akun Instagramnya, yang dikutip Liputan6.com, Senin (28/10/2019).
Menurutnya, suhu panas di banyak kota di Indonesia disebabkan tiga faktor utama. Pertama, posisi matahari berada di atas Indonesia, kemudian awan masih minim, dan efek pendinginan dari angin yang berasal dari daerah musim dingin sudah berhenti.
"Faktor lain yang menambah efek pemanasan adalah urban heat island (pulau panas perkotaan) akibat peningkatan emisi karbon dioksida dari transportasi, industri, dan aktivitas rumah tangga. Karbon dioksida menahan pelepasan panas ke antariksa," ujar dia.
Cuaca terik dengan panas yang menyengat di kulit tentu memberikan dampak tak baik bagi kesehatan. Masyarakat pun diminta aware terhadap akibat yang ditimbulkan agar terhindar dari jatuhnya korban jiwa.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Deretan Dampak Suhu Panas
Sekretaris Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Ahmad Yurianto, mengungkapkan ada tiga dampak yang ditimbulkan dari cuaca panas. Dampak tersebut adalah kekeringan, kepanasan, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Masing-masing dampak menyebabkan gangguan kesehatan,” jelas Yuri, sapaan akrabnya kepada Liputan6.com, Senin (28/10/2019).
Pada saat kekeringan, lanjut dia, akan menimbulkan water born disease yakni penyakit yang bersumber dan berkembang melalui air. Beberapa water born disease yang kerap terjadi di antaranya diare, muntaber, tipus, disentri, kolera, dan leptospirosis.
Untuk menangani masalah ini, perbaikan kualitas air bersih harus jadi perhatian. Di antaranya melalui pengelolaan air baku menjadi air jernih (air bersih) yang bisa diperuntukan minum dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Untuk air minum, kata Yuri, masyarakat dapat memasaknya hingga matang. Sehingga terhindar dari bakteri yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan seperti diare.
“Pengolahan air bersih selama musim kemarau, yang kerap terjadi kekeringan perlu dilakukan. Masyarakat bisa terlebih dahulu memasak air dengan merebus sampai mendidih. Itu dilakukan bila air dipakai sebagai air minum,” lanjut Yuri.
Sementara untuk keperluan lain, seperti mencuci baju, masyarakat bisa menerapkan klorinasi yakni pemberian klorin ke dalam air untuk membunuh bakteri.
Selain itu, lanjut Yuri, suhu panas yang menyengat juga rentan membuat tubuh kepanasan. Serangan heatstroke, dehidrasi, dan iritasi kulit termasuk beberapa gangguan kesehatan yang perlu diwaspadai.
“Sebenarnya heatstroke diawali kelelahan akibat dehidrasi. Orang yang bersangkutan mulai enggak fokus. Konsentrasinya enggak bagus lantas kesadaran turun. Gejala akan rawan bagi kelompok rentan, yakni anak dan orang yang sudah punya riwayat penyakit,” terang Yuri.
“Dehidrasi ringan hingga sedang pada orang yang memiliki potensi gagal ginjal bisa mempercepat kejadian gagal ginjal,” imbuh dia.
Untuk menghindari dehidrasi, masyarakat diminta banyak minum air putih. “Paling tidak minum air putih dua liter sehari," ujar Yuri.
Jika ingin keluar rumah, Ia menyarankan agar menggunakan pelindung. Selain itu, kenakan pakaian yang bisa menyerap keringat dan tidak menghambat sirkulasi kulit bernapas.
"Perlu juga membatasi kegiatan dari paparan sinar matahari langsung,” imbau Yuri.
Yang lebih penting, ucap dia, masyarakat dapat mengenali tanda-tanda dehidrasi. Yaitu kulit kering, warna urine yang keruh, dan kondisi ini akan parah jika urine berwarna kuning keruh.
Dampak lain yang ditimbulkan dari suhu panas adalah karthutla. Kondisi ini menyebabkan gangguan pernapasan dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) bagi warga yang terdampak.
Kedua penyakit, kata Yuri, termasuk jenis air born disease (penyakit yang ditularkan melalui udara). Yuri meminta warga tidak melakukan aktivitas di luar rumah bila asap sedang pekat dan kualitas udara dalam kategori tidak sehat.
“Jika tetap ingin menjalani aktivitas di luar, pakailah masker. Ini dapat melindungi Anda dari paparan asap karhutla,” Yuri menekankan.
Advertisement
Sejarah Suhu Terpanas Landa Indonesia
Beberapa hari terakhir, suhu di Indonesia sangat panas di siang hari. Menurut BMKG, suhu udara maksimum sejak 19 Oktober 2019 bisa mencapai lebih dari 38 derajat Celsius.
Pada 20 Oktober 2019, terdapat tiga stasiun pengamatan BMKG di Sulawesi yang mencatat suhu maksimum, yakni Stasiun Meteorologi Hasanuddin (Makassar) 38,8 derajat Celsius, diikuti Stasiun Klimatologi Maros 38.3 derajat Celsius, dan Stasiun Meteorologi Sangia Ni Bandera 37.8 derajat Celsius.
Suhu tersebut merupakan catatan suhu tertinggi dalam satu tahun terakhir, di mana pada periode Oktober di tahun 2018 tercatat suhu maksimum mencapai 37 derajat Celsius.
Berdasarkan data historis, Indonesia sebenarnya pernah mengalami suhu yang jauh lebih panas dibanding saat ini, yakni lebih dari 40 derajat Celsius. Suhu terpanas adalah 40,6 derajat Celsius di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada 16 Agustus 1997.
Kemudian disusul 40,2 derajat Celsius yang menyelimuti Kotabumi, Lampung, pada 21 Oktober 2006.
Berikut adalah catatan suhu terpanas yang pernah menerjang Indonesia selama 35 tahun terakhir.
1. 40,6 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Klimatologi Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 16 Agustus 1997.
2. 40,2 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Geofisika Kotabumi, Lampung pada 21 Oktober 2006.
3. 40,2 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Geofisika Kotabumi, Lampung pada 21 Oktober 2006.
4. 40,2 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Meteorologi Temindung, Kalimantan Timur pada 8 Februari 2008.
5. 40,1 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Meteorologi Geser, Maluku, pada 23 Oktober 1990.
6. 40,0 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Meteorologi Nangapinoh, Kalimantan Barat pada 8 Agustus 1994.
7. 40,0 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Meteorologi Jatiwangi, Jawa Barat pada 12 Oktober 2002.
8. 40,0 derajat Celsius, tercatat di Stasiun Meteorologi Tual, Maluku pada 21 Oktober 2002.
Reporter: Fitri Haryanti Harsono