Sukses

Perjalanan Kasus Sofyan Basir hingga Vonis Bebas

Sebelumnya, Sofyan Basir diduga bersama-sama mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham menerima suap.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir menghadapi vonis dari majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat hari ini, Senin (4/11/2019).

Seperti diketahui, Sofyan Basir terlilit kasus dugaan suap PLTU Riau-1. Ia ditahan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus suap PLTU Riau-1 pada Senin, 27 Mei 2019 malam.

Namun sebelum ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga antirasuah itu bahkan sempat mengultimatum Sofyan Basir karena tak kunjung datang memenuhi panggilan.

Saat itu, Sofyan diduga bersama-sama mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johanes B Kotjo.

Sofyan Basir pun dituntut lima tahun penjara oleh jaksa penuntut umum KPK. Ia dianggap turut membantu terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap terkait proyek PLTU Riau-1.

Penasihat hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo berharap, majelis hakim membebaskan kliennya dari tuntutan jaksa kasus dugaan suap PLTU Riau-1.

Berikut perjalanan kasus Sofyan Basir hingga akhirnya divonis bebas dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 7 halaman

Beberapa Kali Dipanggil KPK

Sebelum resmi menyandang status tersangka, Mantan Dirut PLN Sofyan Basir beberapa kali dipanggil oleh KPK untuk pemeriksaan sebagai saksi.

Seperti saat pemanggilan pada 7 Agustus 2018, Sofyan Basir mengakui datang KPK untuk diperiksa sebagai saksi dari Johannes Kotjo.

"Diperiksa saksi buat Kotjo," ujar dia kala itu.

Kemudian pada 28 September 2018, Sofyan Basir juga kembali dipanggil oleh KPK untuk kasus yang sama. Kali ini, Sofyan Basir menegaskan bahwa pertemuan yang dilakukannya dengan sejumlah pihak hanya membahas soal teknis proyek PLTU Riau-1.

Saat itu, dia pun membantah adanya pertemuan untuk lobi-lobi dan membahas fee proyek senilai USD 900 juta.

"Oh enggak ada (lobi) misalkan ada (pembahasan) suku bunga ya. Tapi yang lain sudah disampaikan pada KPK. Jadi sudah saya sampaikan ke KPK," kata dia.

Sofyan Basir juga sempat hadir di persidangan perkara PLTU tersebut dengan terdakwa Eni Maulani Saragih. Kehadiran Sofyan Basir pada 11 Desember 2018 tersebut juga dalam status sebagai saksi.

Seiring dengan bergulirnya kasus tersebut, Sofyan Basir diketahui telah sembilan kali ikut dalam pertemuan antara Eni Saragih dan Johannes Kotjo.

Tidak sendirian, Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Persero Supangkat Iwan Santoso disebut ikut menemani Sofyan Basir dalam pertemuan ini.

Setelah berstatus sebegai saksi, pada 23 April 2019, kemarin, akhirnya KPK resmi menetapkan sebagai tersangka. Sofyan Basir diduga membantu dan juga menerima janji fee dengan bagian sama seperti yang diterima oleh Eni Saragih.

"KPK meningkatkan penyidian SFB Direktur Utama PLN diduga membantu Eni Saragih selaku anggota DPR RI, menerima hadiah dari Johannes Kotjo terkait kesepakatan kontrak pembangunan PLTU Riau-1," kata Komisioner KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK.

Peningkatan proses hukum dari penyelidikan ke penyidikan ini berdasarkan dua alat bukti juga berdasarkan fakta persidangan yang melibatkan empat tersangka sebelumnya, antara lain Eni Saragih, Johannes Kotjo, dan Idrus Marham, Mantan Menteri Sosial yang juga ikut tersangkut dalam kasus tersebut. Sofyan Basir pun terancam hukuman pidana 20 tahun atas kasus ini.

 

3 dari 7 halaman

Jadi Tersangka

KPK menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka kasus suap PLTU Riau-1. Ia diduga bersama-sama mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johanes B. Kotjo.

Berdasarkan laman harta kekayaan penyelenggara negara yang diakses melalui acch.kpk.go.id, Sofyan Basir tercatat memiliki harta mencapai Rp 119 miliar. Sofyan terakhir melaporkan hartanya pada 31 Juli 2018.

Sofyan tercatat memiliki harta tidak bergerak berupa 16 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di sejumlah wilayah seperti Jakarta Pusat, Tangerang Selatan, dan Bogor dengan nilai total Rp 37.166.351.231.

Sedangkan untuk harta bergerak, Sofyan tercatat memiliki lima jenis mobil, dari Toyota Avanza, Toyota Alphard, Honda Civic, BMW 2016, serta Land Rover Range Rover tahun 2014. Total harta bergeraknya senilai Rp 6,3 miliar.

Mantan Direktur Utama Bank BRI ini juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp 10,2 miliar, surat berharga Rp 10,3 miliar, serta kas dan setara kas Rp 55,8 miliar. Sofyan Basir tak tercatat memiliki hutang.

Jadi secara total, harta kekayaan Sofyan senilai Rp 119.962.588.941.

Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Sofyan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 Ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

 

4 dari 7 halaman

Cabut Praperadilan

Mantan Dirut PT PLN Sofyan Basir, tersangka kasus korupsi terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1, mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sofyan resmi mengajukan praperadilan pada Rabu 8 Mei 2019 dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2019/PN.JKT.SEL terhadap termohon, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi c.q. pimpinan KPK dengan klarifikasi perkara sah atau tidaknya penetapan tersangka.

Dalam petitum permohonan praperadilan Sofyan Basir, disebutkan misalnya dalam provisi menerima dan mengabulkan permohonan provisi dari pemohon untuk seluruhnya.

Selanjutnya, memerintahkan termohon untuk tidak melakukan tindakan hukum apa pun. Termasuk melakukan pemeriksaan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tidak melimpahkan berkas perkara dari penyidikan ke penuntutan dalam perkara.

Sebagaimana dimaksud pada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019 dan Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan.

Seperti dikutip dari Antara, dalam pokok perkara disebutkan, misalnya, pertama menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan dari pemohon untuk seluruhnya.

Kedua menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019; Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan aquo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, menyatakan penyidikan yang dilakukan termohon terhadap pemohon sebagaimana tertuang dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019 dan Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019 peri hal pemberitahuan dimulainya penyidikan adalah tidak sah, tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keempat, memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019; Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan.

Namun kemudian, Sofyan mencabut gugatan praperadilan yang ditujukan untuk melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kuasa Hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo membenarkan kabar tersebut.

"Benar, agar fokus ke pokok perkaranya saja," tutur Soesilo saat dikonfirmasi, Jumat, 24 Mei 2019.

Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku perlu mengecek kembali adanya surat pemberitahuan pencabutan gugatan Sofyan Basir.

"Mengajukan atau mencabut praperadilan itu hak tersangka. Tapi saya masih harus cek apakah sudah ada pemberitahuan atau tembusan surat ke KPK soal itu," jelas dia.

Yang pasti, lanjut Febri, pemeriksaan terhadap Sofyan Basir akan terus berlanjut. Ada atau tidaknya praperadilan, KPK akan mengusut tuntas kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 yang menjeratnya.

"Selain itu, penyidikan akan terus berjalan sesuai hukum acara yang berlaku. Tidak terpengaruh dengan pengajuan atau pencabutan praperadilan," Febri menandaskan.

 

5 dari 7 halaman

Dituntut 5 Tahun Penjara

Mantan Direktur PT PLN Persero, Sofyan Basir dituntut lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sofyan dianggap turut membantu terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap terkait proyek PLTU Riau-1.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebanyak Rp 200 juta subsider 3 bulan," ucap jaksa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin, 7 Oktober 2019.

Dari tuntutan tersebut jaksa melampirkan hal-hal yang memberatkan yakni tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Sementara hal meringankan Sofyan bersikap sopan selama diperiksa di persidangan serta belum pernah dihukum.

"Tidak ikut menikmati hasil tindak pidana suap," ucap jaksa.

Tindakan Sofyan memfasilitasi pertemuan dengan Johannes Budisutrisno Kotjo sebagai pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Eni Maulani Saragih ssbagai Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dan Idrus Marham mantan Menteri Sosial. Ia dianggap mengetahui bahwa Eni Saragih dan Idrus Marham akan mendapatkan fee dari Johanes Kotjo.

Eni dan Idrus menerima suap secara bertahap dari Kotjo sebesar Rp 4,7 miliar. Uang tersebut disinyalisasi untuk mempercepat proses kesepakatan proyek IPP PLTU mulut tambang Riau-1.

Sofyan Basir juga disebut beberapa kali melakukan pertemuan dengan Eni Saragih dan Kotjo membahas proyek ini. Sofyan menyerahkan ke anak buahnya, Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN, Supangkat Iwan Santoso untuk mengurus proposal yang diajukan Kotjo.

Atas bantuan Sofyan, perusahaan Johanes Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Eni dan Idrus menerima imbalan dari Kotjo sebesar Rp 4,7 miliar.

Tindakan lainnya yang dinilai turut membantu terjadinya suap adalah penandatanganan surat persetujuan. Padahal, sebelum surat itu ditandatangani, materi harus dirapatkan dengan jajaran direksi lain di PLN. Sementara dalam kasus ini Sofyan melangkahi prosedur tersebut.

Ia dituntut dengan Pasal 12 huruf a Jo Pasal 15 undang-undang nomor 30 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 56 ke-2 KUHP.

 

6 dari 7 halaman

Tak Terima Uang, Tapi Tetap Jalani Hukuman

Mantan Direktur Utama PT PLN Persero, Sofyan Basir, dituntut lima tahun penjara oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sofyan dinyatakan turut membantu terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap, meski tak menerima hasilnya.

Merujuk keterangan ahli hukum Abdul Fickar Hadjar, jaksa mengatakan orang yang membantu perbuatan tindak pidana korupsi tak harus mendapatkan hasil.

"Dalam hal mereka yang turut membantu tidak harus memperoleh manfaat yang didapatkan," ucap jaksa saat membaca analisis yuridis tuntutan Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin, 7 Oktober 2019.

Berdasarkan fakta persidangan, jaksa mengatakan peran Sofyan dalam kasus ini sangat inti. Ditambah keterangan Kotjo saat di persidangan yang mengatakan tanpa adanya bantuan Sofyan, kesepakatan PLTU Riau-1 tak akan selesai.

Jaksa juga menilai Sofyan mengetahui akan ada pemberian uang oleh Kotjo terhadap Eni dan Idrus. Sehingga, cukup diyakinkan adanya uang pemulus terhadap pembahasan proyek listrik bagian dari program 35 ribu megawatt ini.

"Setelah membantu Eni menerima imbalan 4,75 miliar," ucap jaksa.

 

7 dari 7 halaman

Divonis Bebas

Penasihat hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo berharap, majelis hakim membebaskan kliennya dari tuntutan jaksa kasus dugaan suap PLTU Riau-1. Mantan Direktur Utama PLN itu menghadapi vonis dari majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat hari ini, Senin (4/11/2019).

"Harapannya tentu sesuai dengan pembelaan terdakwa dan PH (penasihat hukum), pengadilan memberikan putusan bebas ya, atau setidaknya putusan yang paling ringan," ujar Soesilo dihubungi Liputan6.com, Jakarta.

Saat tiba di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Sofyan Basir berharap agar majelis hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap dirinya.

"Yang terbaik, bebas," ujar Sofyan sebelum sidang dimulai..

Ia pun enggan mengomentari lebih lanjut terkait vonis yang akan dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Hariono nanti.

Saat menjalani sidang, Sofyan pun dinyatakan tidak terbukti bersalah dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1.

"Mengadili menyatakan terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," kata hakim ketua Hariono saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.