Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah hadir sebagai Keynote Speaker dalam acara bertajuk "Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi dan Metode Melalui Dialektika Pembinaan Ideologi Pancasila untuk Masa Depan Bangsa Bagi Aparatur Sipil Negara" yang diinisiasi oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), bertempat di Nusa Dua Bali, Senin 4 November 2019. Adapun sebagai peserta sebanyak 200 Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Unit Pelaksana Tekns (UPT) Pemasyarakatan seluruh Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwa setiap ASN memiliki kewajiban setia dan taat kepada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, menjadi perekat persatuan, mengabdi kepada negara dan melayani masyarakat. ASN yang melakukan penyelewenangan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa diberhentikan dengan tidak hormat, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 87 ayat (4) huruf Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Baca Juga
"Kewajiban ASN adalah setia dan taat pada Pancasila dan UUD NRI tahun 1945, menjadi perekat persatuan, mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia. Dengan demikian loyalitas tunggal ASN adalah kepada Negara dan Ideologi Pancasila. Bukan pada negara lain apalagi pada ideologi lain," kata dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) tersebut.
Advertisement
Dilanjutkan Basarah, bahwa upaya pemantapan mental dan ideologi aparatur negara demikian penting. Terlebih fenomena terkini menunjukkan adanya tren ketertarikan sebagian ASN dengan ideologi lain selain Pancasila. Temuan berbagai lembaga survei kredibel menunjukkan hal tersebut. Misalnya temuan Survei Alvara tahun 2017 menunjukkan bahwa 19,4 % ASN tidak setuju dengan Pancasila dan lebih tertarik dengan ideologi Khilafah. Menurut data KemenPANRB jumlah ASN per Juni 2019 mencapai 4,2 juta jiwa. Artinya jika dikonversi 19,4%, maka sekitar 814 ribuan ASN yang terpapar dengan ideologi lain.
Terbaru adalah temuan Setara Institute yang menyebut jelas bahwa sejumlah ASN telah terpapar radikalisme/ ekstrimisme. Paling mutakhir adalah kasus Bripda Nesti Ode Samili (Polisi Wanita) yang berdinas di Mapolda Maluku Utara, diberhentikan dari anggota Polisi karena telah terpapar radikalisme/ekstrimisme dari media sosial.
Khusus kepada ASN yang bertugas di lembaga pemasyarakatan, Basarah mengingatkan ada dua masalah serius. Pertama adalah persoalan narapidana teroris (Napiter) yang jumlahnya terus meningkat. Berdasarkan data Kemenkumham per Desember tahun 2018 jumlah napiter mencapai 558 orang. Dari jumlah tersebut hanya 47 napiter yang telah menandatangani pernyataan setia kepada NKRI.
"Narapidana teroris ini memiliki kemampuan mengajak dan merekrut narapidana lainnya untuk mengikuti aliran ideologi mereka. Kejadian paling mencengangkan proses rekruitmen paham ekstrimisme dilakukan di Lapas terhadap napi lainnya," terang Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang.
Masalah kedua adalah persoalan narkoba. Berbagai kasus menunjukkan bahwa narapidana narkoba yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) masih mampu mengendalikan jaringan narkobanya. Bahkan kepala Badan Nasional Narkotika (BNN) Komjen Pol Heru Winarko menyebut bahwa 90 % operator narkoba dikendalikan dari lapas.
"Jangan sampai lapas jadi sarang teroris dan narkoba. Karena itulah penguatan ideologi bagi ASN sangat tepat. Sebab ASN adalah ujung tombak negara dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik secara langsung kepada masyarakat," demikian penjelasan Basarah.
(*)