Liputan6.com, Jakarta - Sembilan tahun silam, Jumat 5 November 2010, Gunung Merapi mengalami erupsi. Suara gemuruh terdengar, hujan kerikil, dan hujan abu vulkanik pekat pun melanda.
Berdasarkan data Pusdalops BNPB per tanggal 27 November 2010, bencana erupsi Gunung Merapi ini telah mengakibatkan 277 orang meninggal di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan 109 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah.
Puluhan ribu orang mengungsi dan ribuan ternak mati. Bencana tersebut mengakibatkan kerusakan dan kerugian besar di wilayah Magelang, Boyolali, Klaten dan Sleman.
Advertisement
Dari catatan sejarah hari ini yang dihimpun, erupsi Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan DIY ini terjadi mulai 26 Oktober 2010. Gunung itu mengalami beberapa kali erupsi yang dimulai pada pukul 17.02 WIB.
Sejak saat itu, gunung dengan tinggi 2.930 meter tersebut mengalami serangkaian erupsi dengan diiringi awan panas dan banjir lahar dingin hingga mencapai puncaknya pada 5 November 2010. Erupsi masih berlanjut hingga beberapa waktu kemudian.
Dari data BNPB, pada 3 November 2010, aktivitas Gunung Merapi meningkat dengan adanya awan panas beruntun mulai pukul 11.11 WIB hingga 15.00 WIB tanpa henti dengan jarak luncur awan panas mencapai 9 km dari puncak Gunung Merapi. Radius aman menjadi 15 km dari puncak.
Kemudian pada 4 November 2010, terjadi erupsi lanjutan dengan jarak luncur awan panas mencapai 14 km dari puncak.
Hingga pada 5 November 2010 pukul 01.00 WIB daerah aman ditetapkan di luar radius 20 km dari puncak. Letusan didahului dengan suara gemuruh yang terdengar hingga jarak 29 km dari puncak gunung Merapi, yaitu Kota Yogyakarta. Terdengar juga hingga Kota Magelang dan Wonosobo.
Hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya, debu vulkanik telah mencapai sejumlah wilayah di Jawa Barat.
Pada 5 November 2010, di Desa Ngadipuro Kecamatan Dukun Magelang, atap rumah, jalan, hingga pepohonan, terlihat kelabu terkena debu. Listrik padam sejak tiga hari sebelumnya.
Desa tersebut sepi. Warganya mengungsi karena berada pada radius 12 km dari puncak gunung. Tak hanya Ngadipuro, hampir semua desa di lereng Merapi sepi tak berpenghuni takut terkena bahaya Merapi.
Lahar dingin atau material Gunung Merapi yang terbawa hujan juga turut menjadi ancaman. Sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi bahkan sudah tidak kelihatan seperti sungai karena telah rata dengan perkampungan di sekitarnya.
Material berupa pasir, kerikil, lumpur dan batu besar memenuhi sungai-sungai tersebut. Bahkan puluhan dusun sudah rata akibat tumpahan material Merapi yang diperkirakan mencapai 140 juta meter kubik, dan menjangkau hingga 13 kilometer dari hulu.
"Berarti selain awan panas, bahaya yang mengancam sangat serius saat ini adalah banjir lahar dingin," kata Sri Sumarti, Kepala Seksi Gunung Merapi, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Rabu 10 November 2010.
Di kawasan Kali Gendol, sungai yang biasanya curam dan sangat dalam, saat ini tak lagi terlihat karena dipenuhi material vulkanik.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Wafatnya Juru Kunci Merapi Mbah Maridjan
Rangkaian letusan Gunung Merapi turut merenggut nyawa sang juru kunci, Ki Surakso Hargo atau Mbah Maridjan.
Dia meninggal dunia akibat semburan awan panas letusan Gunung Merapi, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa 26 Oktober 2010.
Jenazah Mbah Maridjan ditemukan meninggal dunia dalam kondisi sujud oleh Tim SAR gabungan di kediamannya, di Desa Cangkringan, Sleman, Yogyakarta yang berjarak 5 Kilometer dari Gunung Merapi.
Mbah Maridjan meninggal diterjang awan panas di kediamannya. Dia memegang teguh tanggung jawabnya sebagai penjaga Merapi sehingga menolak dievakuasi.
Sementara itu, desa yang menjadi tempat tinggal Mbah Marijan itu luluh lantak, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan.
Seluruh bangunan rumah penduduk hancur, hewan-hewan mati, tanaman-tanaman hangus. Udara terasa panas. Debu di jalanan setebal 10 cm yang terinjak kakipun masih terasa hangat.
Mbah Maridjan lahir pada 1927 di Desa Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman dan mempunyai beberapa anak. Yakni, Mbah Ajungan, Raden Ayu Surjuna, Raden Ayu Murjana, dan Raden Mas Kumambang.
Pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo mulai menjabat sebagai juru kunci pada 1970 atas amanah Sultan HB IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi.
Mbah Maridjan makin tenar ketika menolak perintah Sultan Hamengkubuwono X untuk turun gunung pada 2006. Padahal, saat itu Gunung Merapi diperkirakan akan meletus dan menumpahkan lahar panasnya.
Seiring makin melambungnya Mbah Maridjan, dirinya pun menjadi ikon produk minuman berenergi. Namun ketenaran tak membuat Mbah Maridjan lupa diri. Pria yang selalu mengenakan kemaja batik dan berpeci hitam itu tetap rendah hati dan ramah.
Pada saat Merapi menjadi Awas, Mbah Mardijan kembali menolak untuk mengungsi. Dia tetap bertahan di rumahnya di Dusun Kinahrejo Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Namun pada tanggal 26 Oktober 2010, terjadi letusan Gunung Merapi yang disertai awan panas setinggi 1,5 kilometer. Gulungan awan panas tersebut meluncur melewati kawasan tempat Mbah Maridjan bermukim.
Pada Rabu 27 Oktober 2010, sesosok jenazah ditemukan bersujud di kamar mandi. Jenazah itu ditemukan bersama 16 korban lainnya yang juga tewas di sekitar rumah Mbah Maridjan.Â
Advertisement