Sukses

Saat Palu Hakim Hancurkan Dakwaan Pemufakatan Jahat Sofyan Basir

Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis bebas mantan dirut PLN Sofyan Basir atas kasus korupsi.

Liputan6.com, Jakarta - Sofyan Basir pasrah saat duduk di kursi pesakitan, Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Senin (4/11/2019). Berbatik merah, Sofyan Basir bersiap mendengarkan vonis.

Sambil mengangkat kedua tangannya, Basir tampak khusyuk memanjatkan doa, sembari menunggu hakim membacakan putusan.

Tak berselang lama, Majelis Hakim yang diketuai Hariono langsung mengetuk palu tanda sidang dimulai. Sofyan tertunduk sambil mendengarkan Hariono melafalkan vonis.

Dalam amar putusannya, Hariono membebaskan Sofyan dari semua tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Mengadili menyatakan terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," kata hakim ketua Hariono saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Wajah Sofyan langsung berubah usai vonis bebas dibacakan. Ia tampak semringah. Sejumlah kerabatnya pun langsung mengucap rasa syukur atas putusan ini.

Selain membaskan Sofyan, majelis hakim juga memerintahkan KPK membuka kembali aset Sofyan Basir dan keluarga yang sempat diblokir berupa rekening.

"Memerintahkan penuntut umum KPK untuk membuka nomor rekening atas nama Sofyan Basir dan atau keluarga atau pihak lainnya," ucap dia.

Vonis bebas tersebut sesuai dengan harapan Sofyan. Sesaat sebelum menghadapi sidang putusan, mantan Dirut BRI itu berharap divonis bebas.

"Yang terbaik, bebas," ujar Sofyan singkat.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Perjalanan Kasus

Sofyan Basir terlilit kasus dugaan suap PLTU Riau-1. Ia ditahan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus suap PLTU Riau-1 pada Senin, 27 Mei 2019 malam.

Sebelum ditahan KPK, lembaga antirasuah itu bahkan sempat mengultimatum Sofyan Basir karena tak kunjung datang memenuhi panggilan.

Saat itu, Sofyan diduga bersama-sama mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johanes B Kotjo.

Sofyan Basir beberapa kali dipanggil oleh KPK untuk pemeriksaan sebagai saksi.

Seperti saat pemanggilan pada 7 Agustus 2018, Sofyan Basir mengakui datang KPK untuk diperiksa sebagai saksi dari Johannes Kotjo.

"Diperiksa saksi buat Kotjo," ujar dia kala itu.

Kemudian pada 28 September 2018, Sofyan Basir juga kembali dipanggil oleh KPK untuk kasus yang sama. Kali ini, Sofyan Basir menegaskan bahwa pertemuan yang dilakukannya dengan sejumlah pihak hanya membahas soal teknis proyek PLTU Riau-1.

Saat itu, dia pun membantah adanya pertemuan untuk lobi-lobi dan membahas fee proyek senilai USD 900 juta.

"Oh enggak ada (lobi) misalkan ada (pembahasan) suku bunga ya. Tapi yang lain sudah disampaikan pada KPK. Jadi sudah saya sampaikan ke KPK," kata dia.

Sofyan Basir juga sempat hadir di persidangan perkara PLTU tersebut dengan terdakwa Eni Maulani Saragih. Kehadiran Sofyan Basir pada 11 Desember 2018 tersebut juga dalam status sebagai saksi.

Seiring dengan bergulirnya kasus tersebut, Sofyan Basir diketahui telah sembilan kali ikut dalam pertemuan antara Eni Saragih dan Johannes Kotjo.

Tidak sendirian, Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Persero Supangkat Iwan Santoso disebut ikut menemani Sofyan Basir dalam pertemuan ini.

Setelah berstatus sebegai saksi, pada 23 April 2019, kemarin, akhirnya KPK resmi menetapkan sebagai tersangka. Sofyan Basir diduga membantu dan juga menerima janji fee dengan bagian sama seperti yang diterima oleh Eni Saragih.

"KPK meningkatkan penyidian SFB Direktur Utama PLN diduga membantu Eni Saragih selaku anggota DPR RI, menerima hadiah dari Johannes Kotjo terkait kesepakatan kontrak pembangunan PLTU Riau-1," kata Komisioner KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK.

Mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir memeluk kerabatnya usai sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/11/2019). Sofyan Basir divonis bebas dalam kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Berdasarkan laman harta kekayaan penyelenggara negara yang diakses melalui acch.kpk.go.id, Sofyan Basir tercatat memiliki harta mencapai Rp 119 miliar. Sofyan terakhir melaporkan hartanya pada 31 Juli 2018.

Sofyan tercatat memiliki harta tidak bergerak berupa 16 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di sejumlah wilayah seperti Jakarta Pusat, Tangerang Selatan, dan Bogor dengan nilai total Rp 37.166.351.231.

Sedangkan untuk harta bergerak, Sofyan tercatat memiliki lima jenis mobil, dari Toyota Avanza, Toyota Alphard, Honda Civic, BMW 2016, serta Land Rover Range Rover tahun 2014. Total harta bergeraknya senilai Rp 6,3 miliar.

Mantan Direktur Utama Bank BRI ini juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp 10,2 miliar, surat berharga Rp 10,3 miliar, serta kas dan setara kas Rp 55,8 miliar. Sofyan Basir tak tercatat memiliki hutang.

Jadi secara total, harta kekayaan Sofyan senilai Rp 119.962.588.941.

Sofyan juga sempat mengajukan praperadilan pada Rabu 8 Mei 2019 dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2019/PN.JKT.SEL terhadap termohon, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi c.q. pimpinan KPK dengan klarifikasi perkara sah atau tidaknya penetapan tersangka.

Dalam petitum permohonan praperadilan Sofyan Basir, disebutkan misalnya dalam provisi menerima dan mengabulkan permohonan provisi dari pemohon untuk seluruhnya.

Selanjutnya, memerintahkan termohon untuk tidak melakukan tindakan hukum apa pun. Termasuk melakukan pemeriksaan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tidak melimpahkan berkas perkara dari penyidikan ke penuntutan dalam perkara.

Sebagaimana dimaksud pada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019 dan Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan.

Seperti dikutip dari Antara, dalam pokok perkara disebutkan, misalnya, pertama menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan dari pemohon untuk seluruhnya.

Kedua menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019; Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan aquo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, menyatakan penyidikan yang dilakukan termohon terhadap pemohon sebagaimana tertuang dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019 dan Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019 peri hal pemberitahuan dimulainya penyidikan adalah tidak sah, tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keempat, memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019; Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan.

Namun kemudian, Sofyan mencabut gugatan praperadilan yang ditujukan untuk melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kuasa Hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo membenarkan kabar tersebut.

"Benar, agar fokus ke pokok perkaranya saja," tutur Soesilo saat dikonfirmasi, Jumat, 24 Mei 2019.

3 dari 3 halaman

Tanggapan KPK

KPK turut menanggapi vonis bebas yang diputus Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta kepada Sofyan Basir.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, kasus bebasnya Sofyan Basir, bukanlah yang pertama kali terjadi.

Sebelumnya Pengadilan Negeri Bandung juga pernah memvonis bebas seorang kepala daerah di Bekasi. Belakangan, putusan itu dianulir.

"Kami melakukan upaya hukum kasasi pada saat itu, dan di Mahkamah Agung kemudian putusan bebas itu dianulir," ucap Febri di Gedung Merah Putih KPK, Senin (4/11/2019).

Kali ini, pimpinan berserta Jaksa KPK juga akan menyikapi kebasan Sofyan Basir. Pihaknya akan lebih dulu mempelajari salinan putusan. Kemudian jaksa penuntut umum memberikan rekomendasi kepada pimpinan mengenai upaya hukum yang bisa dilakukan.

"Selain proses itu tentu ada kasasi. Tapi apakah kasasinya segera dilakukan atau kapan, ada batas waktu pikir pikir yg disediakan oleh Undang-Undang itu sebenarnya waktu atau ruang lingkup waktu jaksa penuntut umum bisa membuat analisis yang lebih komprehensif," ucap dia.

Febri menegaskan, pihaknya tidak akan menyerah begitu saja ketika ada vonis bebas untuk terdakwa yang diajukan KPK ke pengadilan tindak pidana korupsi.

"Apapun vonisnya, berat ringan bebas atau lepas secara kelembagaan KPK tetap harus menghormati dan menghargai, upaya hukum yang tersedia itu yang kami bahas lebih lanjut pengunaannya agar kebenaran yang substansial dan proses pembuktian hukum yang kami yakini itu bisa," ujar dia," tutup dia.