Liputan6.com, Jakarta - Wajah semringah Sofyan Basir terpancar usai hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengetuk palu bebas untuknya. Mata Sofyan berkaca-kaca. Mantan Dirut PT PLN itu memeluk haru satu per satu anggota keluarga dan kolega yang hadir di sidang putusan kasusnya, Senin 4 November 2019.
Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Hariono membebaskan Sofyan Basir dari semua tuntutan jaksa penuntut terkait dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," kata Hariono saat membacakan amar putusan.
Advertisement
Majelis hakim juga memerintahkan KPK membuka kembali aset Sofyan Basir dan keluarga yang sempat diblokir berupa rekening.
Vonis bebas tak hanya membuat Sofyan Basir bisa langsung pulang meninggalkan rumah tahanan KPK yang ditempati beberapa bulan terakhir. Lebih dari itu, vonis tak bersalah membuat kesempatan untuk kembali jadi Dirut PT PLN terbuka.
Sofyan dinonaktifkan sebagai Dirut PLN pada 25 April 2019 usai ditetapkan sebagai tersangka KPK. Posisinya digantikan Muhammad Ali sebagai Pelaksana tugas (Plt) yang saat itu menjabat sebagai Direktur Human Capital.
Mungkinkah Sofyan Basir kembali jadi Dirut PLN?
Pemerhati BUMN Said Didu menyatakan, secara persyaratan formal tidak halangan bagi Sofyan Basir untuk kembali menjadi Dirut PT PLN.
"Boleh saja menjadi dirut karena tidak yang menghambat. Karena tidak pidana, saya tidak tahu kalau ada pertimbangan lain," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (5/11/2019).
Hanya, Said menegaskan persyaratan formal saja belumlah cukup untuk menjadi Dirut PLN. Menurutnya, ada aspek lain yang tak kalah penting yaitu opini publik yang berkembang.
"Pandangan saya menyatakan bisa pro kontra karena di tangan beliau lah terjadi kongkalikong proyek di PLN saat ini. Walaupun beliau tidak terlibat, artinya good governence yang dibangun itu kurang prudence. Secara moral Sofyan Basir ikut bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut," katanya.
Diakui mantan Sekretaris Menteri BUMN ini bahwa Dirut PLN adalah direksi yang sangat rawan intervensi. Dan yang intervensi adalah orang orang yang sangat kuat di negeri ini.
"Dibutuhkan Dirut PLN yang betul-betul hanya takut sama Allah. Tidak mencintai jabatan, tidak perlu ahli listrik. Orang yang punya integritas, tahan intervensi itu paling penting," jelasnya.
Tugas utama Dirut PLN, kata dia, adalah melawan intervensi. Misalnya intervensi di pengadaan batubara, bahan bakar atau pembangkit.
"Saya tahu persis siapa siapa tokoh yang intervensi sehingga pembangunan pembangkit terlambat, dipindahkan. Karena bisnis PLN itu kira kira Rp 2 ribu triliun perhari uang berputar di situ," paparnya.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menyatakan, kembali dipilih atau tidaknya Sofyan Basir sebagai Dirut PLN merupakan hak Kementerian BUMN.
"Ini akan menjadi kebijakan BUMN. Kalau statusnya dibebaskan berarti Sofyan Basir dianggap tidak bersalah dan semua hak-hak sipilnya dikembalikan," ungkapnya kepada Liputan6.com, Selasa (5/11/2019).
Kendati begitu, Toto menilai Kementerian BUMN sebaiknya benar-benar menunggu agar status Sofyan Basir resmi bersih terlebih dahulu. Itu karena KPK masih akan mengajukan banding.
"Saya kira proses pengadilan masih akan panjang. Jadi Kementerian BUMN saya kira harus menunggu status clear Sofyan Basir sampai tuntas sebelum memutuskan apakah perlu menarik kembali ke PLN," tegas dia.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin ikut angkat bicara terkait kemungkinan Sofyan Basir kembali jadi bos di PT PLN. Menurutnya, jadi tidaknya Sofyan, ada di tangan Menteri BUMN.
"Itu kita lihat nanti, kita belum bicara seperti itu. Tapi nanti Menteri BUMN yang baru yang akan memproses, menentukan," ujarnya, Selasa (5/11/2019).
Ma'ruf Amin pun meminta masyarakat menghormati putusan pengadilan terkait bebasnya Sofyan Basir ini. Menurutnya, apa yang terjadi pada kasus Sofyan adalah hak pengadilan.Â
"Kita harus menerima apa yang menjadi putusan pengadilan. Kita harus mau menerima, harus menghormati proses hukum," kata Ma'ruf.
Apabila ada yang merasa putusan tersebut tidak adil, Ma'ruf mengatakan proses banding atau kasasi bisa diajukan ke pengadilan yang lebih tinggi.
"Semuanya bisa dilakukan. Indonesia negara hukum, sehingga prosesnya harus berjalan sesuai dengan koridor hukum," ujar Ma'ruf Amin.
Tergantung Tim Penilai Akhir
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengaku belum bisa memastikan apakah Sofyan Basir akan kembali jadi Dirut PLN. Menurutnya, penentuan Direksi PLN akan dilakukan melalui keputusan Tim Penilai Akhir (TPA).
"Apakah Pak Sofyan akan kembali memimpin PLN, hal ini tergantung kepada keputusan TPA, karena penentuan Direksi PLN harus melalui TPA," ujarnya di Jakarta, Senin 4 November 2019.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 5 Tahun 2004, Tim Penilai Akhir diketuai Presiden, wakil ketua dipegang Wakil Presiden, sekretaris oleh Sekretaris Kabinet dengan anggota Menteri Keuangan dan Menteri BUMN.
Erick menyatakan, pihaknya menghormati proses hukum terhadap Sofyan Basir yang akhirnya divonis bebas.
"Kita semua menghormati proses hukum dan hasil dari setiap persidangan bahwa Pak Sofyan Basir dibebaskan dari berbagai tuduhan, dengan ini, tentunya nama Pak Sofyan terehabilitasi dengan sendirinya," kata Erick.
Sofyan Basir sendiri mengaku belum memikirkan soal pekerjaan. Termasuk kemungkinan kembali jadi Dirut PT PLN. Dia mengaku belum memiliki rencana usai bebas dari dakwaan. Apalagi, menduduki kembali jabatan sebagai Dirut PLN.
"Enggak lah, istirahat dulu," kata Sofyan Basir, Senin.
Bagi Sofyan, yang terpenting saat ini adalah bisa berkumpul bersama keluarga. "Pulang ke rumah gak mau ke mana-mana," tutup dia.
Pengacara Sofyan Basir, Soesilo Aribowo menyatakan, kliennya telah mengikhlaskan jabatan Dirut PT PLN yang lepas setelah ditahan KPK.
"Itu bukan kewenangannya Pak Sofyan juga. Itu sepenuhnya diserahkan pada Pemerintah," jelas Soesilo kepada Liputan6.com, Selasa (5/11/2019).
Dia menegaskan, kliennya itu, saat ini ingin menenangkan diri di rumah setelah hampir enam bulan mendekam di rumah tahanan cabang KPK sejak Mei 2019 lalu.
Advertisement
Bermula dari OTT Juli 2018
Kasus yang menjerat Sofyan Basir ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Jumat, 13 Juli 2018. Saat itu, KPK mengidentifikasi adanya penyerahan uang dari Audrey Ratna Justianty kepada Tahta Maharaya di lantai 8 gedung Graha BIP.
Audrey merupakan sekretaris Johannes Budisutrisno Kotjo. Sedangkan Tahta adalah staf sekaligus keponakan Eni Maulani Saragih. KPK mengamankan Tahta di parkir basement gedung Graha BIP beserta barang bukti uang Rp 500 juta.
Setelah itu, KPK mengamankan Audrey beserta barang bukti berupa dokumen tanda terima uang yang telah diserahkan kepada Tahta. Selain Audrey, KPK juga mengamankan Johannes yang sedang berada di ruang kerjanya.
Sementara itu, tim KPK lainnya mengamankan Eni bersama sopirnya di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan. KPK juga mengamankan pihak lainnya, seperti seorang staf Eni di Bandara Soekarno-Hatta dan suami Eni, Muhammad Al-Khadziq.
Dari hasil OTT tersebut KPK menetapkan Eni dan Kotjo sebagai tersangka. Dalam perjalanannya, keduanya sudah divonis bersalah oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta. Eni divonis 6 tahun penjara, sementara, Kotjo divonis 2 tahun 8 bulan penjara.
Usai Eni dan Kotjo, KPK menjerat Idrus Marham pada Agustus 2018. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Sementara Samin Tan yang dijerat lebih dahulu dari Sofyan Basir masih belum ditahan penyidik KPK.
Samin Tan dijerat pada Februari 2019, dua bulan sebelum menjerat Sofyan Basir. Namun Sofyan Basir harus merasakan lebih dahulu ditahan lembaga antirasuah dibanding Samin Tan.
Sofyan Basir ditahan penyidik KPK pada Senin, 27 Mei 2019 malam usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Sebelum ditahan, Sofyan Basir sempat mengajukan gugatan praperadilan pada Rabu, 8 Mei 2019 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun pada 24 Mei 2019, Sofyan Basir melalui kuasa hukumnya, Soesilo Aribowo mencabut gugatan praperadilan tersebut. Soesilo beralasan, pencabutan gugatan praperadilan agar kliennya fokus menghadapi proses hukum di KPK.
Alhasil, Sofyan menghadapi dakwaan jaksa pada KPK satu bulan setelah mencabut gugatan praperadilan. Dakwaan Sofyan Basir dibacakan pada 24 Juni 2019 di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Setelah tiga bulan lebih sidang berjalan, Sofyan Basir mengahadapi tuntutan jaksa. Sofyan Basir harus menerima kenyataan tersebut. Selain tuntutan 5 tahun penjara, Sofyan Basir juga dikenakan denda Rp 200 juta. Jika tak dibayar maka hukumannya ditambah menjadi 3 bulan kurungan.
Tuntutan dilayangkan jaksa KPK lantaran mantan Dirut BRI itu terbukti terkait dengan tindak pidana suap proyek PLTU Riau-1. Meski terkait, tuntutan tersebut terbilang rendah.
Pasal yang disangkakan kepada Sofyan Basir adalah Pasal 12 huruf a Jo Pasal 15 undang-undang nomor 20 tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Dalam pasal 12 tertulis hukuman yang menjerat penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Rupanya dalan tuntutan jaksa itu disebut bahwa Sofyan Basir tak menikmati uang suap. Sofyan dituntut 5 tahun penjara lantaran dianggap turut membantu terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap terkait proyek PLTU Riau-1.
Hal tersebut yang menjadi pertimbangan keringanan tuntutan Sofyan Basir.
"(Sofyan Basir) bersikap sopan selama diperiksa di persidangan, serta belum pernah dihukum, dan tidak ikut menikmati hasil tindak pidana suap," ucap Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (7/10/2019).
Mendengar tuntutan jaksa, Sofyan Basir menilai ada kreativitas yang luar biasa yang diperlihatkan KPK. Menurut Sofyan ada hal yang tak wajar sejak dirinya dijerat sebagai tersangka dalam perkara ini.
"Jadi memang dalam arti kata, saya merasa ada sesuatu yang tak wajar karena ini bukan proyek APBN, ini projek betul-betul kami terima uang dari luar dalam rangka investasi masuk," kata dia seperti dikutip dari Antara usai mendengar tuntutan.
Sofyan menilai, seperti yang disebutkan jaksa KPK bahwa dirinya tak menerima sepersen pun dari proyek senilai USD 900 juta itu. Dia bahkan menuduh tim lembaga antirasuah telah mengkriminalisasi dirinya.
"Bisa dikatakan kriminalisasi," kata Sofyan Basir.
Meski demikian, tuntutan 5 tahun dari jaksa KPK terhadap Sofyan Basir bukan tanpa alasan. Sofyan Basir dinilai terbukti turut memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, politikus Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha, Johannes Budisutrisno Kotjo dalam pembahasan PLTU Riau-1.
Tak hanya itu, Sofyan Basir juga dianggap mengetahui bahwa Eni Saragih dan Idrus Marham akan mendapatkan fee dari Johanes Kotjo jika perusahaan Johanes, Blackgold Natural Resources Limited diberikan kesempatan menggarap PLTU Riau-1.
Sofyan Basir juga disebut beberapa kali melakukan pertemuan dengan Eni Saragih dan Kotjo membahas proyek ini. Sofyan menyerahkan ke anak buahnya, Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso untuk mengurus proposal yang diajukan Kotjo.
Atas bantuan Sofyan Basir, perusahaan Johanes Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Eni dan Idrus menerima imbalan dari Kotjo sebesar Rp 4,7 miliar.
Tindakan lainnya yang dinilai turut membantu terjadinya suap adalah penandatanganan surat persetujuan. Padahal, sebelum surat itu ditandatangani, materi harus dirapatkan dengan jajaran direksi lain di PLN.
Sementara dalam kasus ini Sofyan melangkahi prosedur tersebut. Sofyan terlebih dahulu melakukan penandatanganan surat persetujuan proyek tersebut meski materi dari surat itu belum dibahas lebih lanjut dengan jajaran direksi lainnya di PLN.
Merujuk keterangan ahli hukum Abdul Fickar Hadjar, jaksa mengatakan orang yang membantu perbuatan tindak pidana korupsi tak harus mendapatkan hasil.
"Dalam hal mereka yang turut membantu tidak harus memperoleh manfaat yang didapatkan," ucap jaksa saat membaca analisa yuridis tuntutan Sofyan Basir.
Berdasarkan fakta persidangan, jaksa mengatakan peran Sofyan dalam kasus ini sangat inti. Ditambah keterangan Johanes Kotjo saat di persidangan yang mengatakan tanpa adanya bantuan Sofyan Basir, kesepakatan PLTU Riau-1 tak akan selesai.
"Ini repotnya pertemuan menjadi perbantuan, ini sangat berbahaya buat direksi BUMN lain. Kalau pertemuan bisa diputarbalikkan menjadi perbantuan berbahaya karena perbantuan tuh sudah dijelaskan oleh jaksa, kami tak terima uang satu persen pun, dianggap membantu, pun, didakwa dengan lima tahun," kata Sofyan Basir.
Kekayaan Capai Rp 119 Miliar
Berdasarkan laman harta kekayaan penyelenggara negara yang diakses melalui acch.kpk.go.id, Sofyan Basir tercatat memiliki harta mencapai Rp 119 miliar. Sofyan terakhir melaporkan hartanya pada 31 Juli 2018.
Sofyan tercatat memiliki harta tidak bergerak berupa 16 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di sejumlah wilayah seperti Jakarta Pusat, Tangerang Selatan, dan Bogor dengan nilai total Rp 37.166.351.231.
Sedangkan untuk harta bergerak, Sofyan tercatat memiliki lima jenis mobil, dari Toyota Avanza, Toyota Alphard, Honda Civic, BMW 2016, serta Range Rover tahun 2014. Total harta bergeraknya senilai Rp 6,3 miliar.
Mantan Direktur Utama Bank BRI ini juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp 10,2 miliar, surat berharga Rp 10,3 miliar, serta kas dan setara kas Rp 55,8 miliar. Sofyan Basir tak tercatat memiliki utang.
Jadi secara total, harta kekayaan Sofyan senilai Rp 119.962.588.941.