Sukses


Perubahan UUD NRI 1945 Harus Lewat Persetujuan Rakyat

MPR RI mencoba menyikapinya dengan melakukan kajian secara cermat dan mendalam.

 

Liputan6.com, Jakarta Dalam proses penyusunan undang undang, para founding fathers bangsa Indonesia sangat arif dan bijaksana. Proses penyusunan pun tak melarang adanya amandemen yang dilakukan generasi bangsa.

Mereka menyadari, konstitusi secara alamiah akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat. Mengingat tantangan yang dihadapi selalu berbeda dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Demikian dijelaskan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengatakan bahwa dalam kerangka itulah, pada 1999-2002, MPR RI mewujudkan reformasi konstitusi Indonesia, melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

"Perubahan tersebut mengantarkan bangsa Indonesia memasuki babak baru yang mengubah sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," ujar Bamsoet saat menjadi Keynote Speech pada Seminar Nasional 'Refleksi 20 Tahun Pelaksanaan UUD NRI 1945', diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Selasa (5/11).

Legislator Partai Golkar Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini menjelaskan, berbagai perubahan konstitusi telah memberikan landasan yang kuat dalam mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Namun demikian, keberhasilan reformasi konstitusi tidaklah menjamin apa yang dikehendaki oleh konstitusi dapat segera terwujud. Oleh karena pada tingkat implementasi dapat saja ditemukan kekurangan atau ketidaksesuaian, yang apabila dikaji justru bertentangan dengan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam konstitusi.

"Misalnya, suksesnya Pemilu Serentak 2019 sebagai amanat UUD NRI 1945 Pasal 22E, patut kita syukuri. Namun demikian, Pemilu Serentak 2019 masih menyisakan masalah, salah satunya polarisasi di dalam masyarakat. Banyaknya berita bohong, ujaran kebencian, saling hujat sesama anak bangsa, saling fitnah, persekusi di media sosial yang terus berlanjut sampai sekarang adalah contoh-contoh yang tidak sesuai dengan makna yang terkandung dalam konstitusi," jelas Bamsoet.

Contoh lainnya, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, Pemilihan Kepala Daerah secara demokratis sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI 1945 dalam praktik hanya ditafsirkan pemilihan kepada daerah secara langsung. Hal ini menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan melalui APBN atau APBD. Padahal, kondisi sosial masyarakat masih terjebak dalam kemiskinan dan kesenjangan.

"Politik uang yang marak terjadi dalam pemilihan kepala daerah juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat," tutur Bamsoet.

Tak heran, jika setelah 20 tahun berjalan sejak dilakukan amandemen pertama pada 1999, kini mulai dirasakan masih ada ruang kosong dalam konstitusi. Mengingat penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan berjalan beriringan dengan dinamika perkembangan masyarakat.

Terkait hal itu, Bamsoet mengatakan bahwa ada berbagai pendapat. Pertama, ingin kembali ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, penyempurnaan melalui amandemen ke-5. Ketiga, perubahan menyeluruh UUD NRI 1945 yang telah empat kali dilakukan perubahan.

"Keempat menghendaki perubahan terbatas dengan menghadirkan kembali GBHN. Dan kelima, pandangan yang menilai bahwa sistem ketatanegaraan kita pada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat," papar Bamsoet.

Terhadap berbagai pandangan tersebut, Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014-2016 ini menerangkan, MPR RI mencoba menyikapinya dengan melakukan kajian secara cermat dan mendalam. Kalaupun pada akhirnya perlu dilakukan penataan sistem ketatanegaraan melalui perubahan kelima UUD NRI 1945, maka hakikat dari semangat pembentukan Undang-Undang Dasar oleh para pendiri bangsa harus tetap menjiwai rumusan perubahan kelima tersebut.

"Pasal 37 UUD NRI 1945 memang memberi kemungkinan adanya perubahan Undang-Undang Dasar. Akan tetapi, perubahan konstitusi tidaklah dapat dilakukan tanpa adanya kehendak dari rakyat selaku pemilik kedaulatan itu sendiri. Sehingga untuk mengubahnya harus digunakan cara yang khusus dan prosedur yang lebih ketat apabila dibandingkan dengan prosedur untuk mengubah undang-undang," jelas Bamsoet.

 

(*)