Liputan6.com, Jakarta: Siapa yang tak kenal Liem Sioe Liong, orang paling kaya di Indonesia pada era Orde Baru. Pengusaha kelahiran Fukien, Tiongkok, ini adalah pendiri Grup Salim yang membawahi sejumlah bidang usaha, seperti Indofood, Indomobil, Indocement, Indosiar, BCA, Indomaret, Indomarco, dan lainnya. Pria yang juga memiliki nama Sudono Salim ini dikenal luas masyarakat dekat dengan Soeharto, Presiden kedua Indonesia
Sejarah Liem dimulai di sebuah pelabuhan kecil Fukien di bilangan selatan Benua Tiongkok. Kala itu, kakak Liem Sioe Liong yang tertua, Liem Sioe Hie, lebih dulu berimigrasi ke Indonesia pada 1922 yang waktu itu masih jajahan Belanda.
Liem Sioe Hie bekerja di sebuah perusahaan pamannya di Kota Kudus, Jawa Tengah. Di tengah hiruk pikuknya usaha ekspansi Jepang ke Pasifik, dibarengi dengan dongeng harta karun kerajaan-kerajaan Eropa di Asia Tenggara, maka pada 1939 Liem Sioe Liong mengikuti jejak abangnya itu.
Dari Fukien, Liem kelahiran 10 September 1915 ini berangkat dari Amoy menggunakan kapal dagang Belanda yang membawanya menyeberangi Laut Tiongkok. Sebulan kemudian ia sampai di Indonesia, tepatnya di Kota Kudus. Sejak dulu, kota ini terkenal sebagai pusat pabrik rokok kretek yang amat banyak membutuhkan bahan baku tembakau dan cengkeh.
Sejak zaman revolusi, Liem Sioe Liong sudah terlatih menjadi pemasok cengkeh dari Maluku, Sumatra, dan Sulawesi Utara melalui Singapura untuk kemudian melewati jalur-jalur khusus menuju Kudus. Sehingga tak heran dagang cengkeh merupakan salah satu pilar utama bisnis Liem Sioe Liong pertama sekali, di samping sektor tekstil.
Dengan Grup Salim, Liem Sioe Liong mampu menggaji 25 ribu tenaga kerja. Dari Eksekutif Senior sampai sopir truk yang jumlahnya tak kurang dari 3.000 armada, termasuk pengangkut semen perusahaan Liem Cs.
Ia pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia yang memiliki 40 perusahaan. Liem Sioe Liong dengan para kamradnya diperkirakan menghasilkan omzet bisnis tak kurang dari US$ 1 miliar setahun ketika itu.
Namun, setelah Orde Baru tumbang, Liem Sioe Liong lebih banyak tinggal di Singapura. Sedangkan usahanya diteruskan anaknya, yakni Anthony Salim dan menantunya Franciscus Welirang.(ADI/BOG)
Sejarah Liem dimulai di sebuah pelabuhan kecil Fukien di bilangan selatan Benua Tiongkok. Kala itu, kakak Liem Sioe Liong yang tertua, Liem Sioe Hie, lebih dulu berimigrasi ke Indonesia pada 1922 yang waktu itu masih jajahan Belanda.
Liem Sioe Hie bekerja di sebuah perusahaan pamannya di Kota Kudus, Jawa Tengah. Di tengah hiruk pikuknya usaha ekspansi Jepang ke Pasifik, dibarengi dengan dongeng harta karun kerajaan-kerajaan Eropa di Asia Tenggara, maka pada 1939 Liem Sioe Liong mengikuti jejak abangnya itu.
Dari Fukien, Liem kelahiran 10 September 1915 ini berangkat dari Amoy menggunakan kapal dagang Belanda yang membawanya menyeberangi Laut Tiongkok. Sebulan kemudian ia sampai di Indonesia, tepatnya di Kota Kudus. Sejak dulu, kota ini terkenal sebagai pusat pabrik rokok kretek yang amat banyak membutuhkan bahan baku tembakau dan cengkeh.
Sejak zaman revolusi, Liem Sioe Liong sudah terlatih menjadi pemasok cengkeh dari Maluku, Sumatra, dan Sulawesi Utara melalui Singapura untuk kemudian melewati jalur-jalur khusus menuju Kudus. Sehingga tak heran dagang cengkeh merupakan salah satu pilar utama bisnis Liem Sioe Liong pertama sekali, di samping sektor tekstil.
Dengan Grup Salim, Liem Sioe Liong mampu menggaji 25 ribu tenaga kerja. Dari Eksekutif Senior sampai sopir truk yang jumlahnya tak kurang dari 3.000 armada, termasuk pengangkut semen perusahaan Liem Cs.
Ia pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia yang memiliki 40 perusahaan. Liem Sioe Liong dengan para kamradnya diperkirakan menghasilkan omzet bisnis tak kurang dari US$ 1 miliar setahun ketika itu.
Namun, setelah Orde Baru tumbang, Liem Sioe Liong lebih banyak tinggal di Singapura. Sedangkan usahanya diteruskan anaknya, yakni Anthony Salim dan menantunya Franciscus Welirang.(ADI/BOG)