Sukses

Jaksa Agung Burhanuddin Beberkan 8 Program Selama Pimpin Kejagung

Dalam rapat, Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menyampaikan sejumlah hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Agung ST Burhanuddin membeberkan program-programnya saat memimpin Kejaksaan Agung periode 2019-2024 dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Ada delapan program yang akan menjadi fokusnya selama memimpin.

"Pertama, penanganan suatu perkara tidak hanya mempidanakan perilaku mengembalikan kerugian negara namun juga melakukan perbaikan sistem agar tidak terulang lagi," kata Burhanuddin, Kamis (7/11/2019).

Jaksa Agung juga ingin menjalankan visi dan misi Presiden Joko Widodo yang ingin mempermudah proses perizinan. Dia pun telah memberi arahan pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) untuk segera menjalankan visi presiden.

"Kedua, visi presiden soal permudah izin, saya telah menginstruksikan kepada para kajati untuk menginventarisir perda Perda (peraturan daerah) itu," ungkapnya.

Kemudian dia ingin ada pengamanan aset pemerintah BUMN BUMD atau dikuasai pihak lain, agar aset itu bisa digunakan sesuai peruntukannya. Lalu memanfaatkan IT seperti pengembangan birokrasi, pengawasan yang ketat untuk zona integritas bebas korupsi, agar menjadi contoh bagi satuan kerja lain.

Lalu untuk para Kejati, diperlukan sistem complain managemen, sehingga terwujudnya sistem satu pintu. Kemudian, optimalisasi meningkatkan satuan kerja agar diimplementasikan dalam skala nasional. Terakhir, menggelorakan optimisme masyarakat untuk mengikuti CPNS Kejaksaan.

"Saya berharap bisa menyaring calon-calon jaksa terbaik, sehingga kami bisa memilih calon-calon Jaksa penerus kami. Kami juga berkonsultasi ke universitas agar lulusan terbaiknya dapat mendaftar sebagai Jaksa," ucap Jaksa Agung.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Hambatan Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Dalam rapat, Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menyampaikan sejumlah hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Salah satu hambatan itu adalah belum adanya pengadilan HAM ad hoc untuk memutus kasus-kasus tersebut.

"Penyelidikan yang dilakukan oleh komnas HAM sifatnya pro justisia sehingga perlu izin dari ketua pengadilan, dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk," kata Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

Selain itu, kata Burhan, sulit bagi Kejaksaan Agung untuk mencari alat bukti pelanggaran HAM. Pasalnya pelanggaran hak asasi manusia sudah terjadi begitu lama.

"Sulitnya memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada," ungkapnya.

Burhan mengatakan, ada yang bisa dilakukan untuk mencapai kepastian hukum soal penanganan pelanggaran HAM berat. Caranya adalah dengan Peninjauan kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara.

"Lalu mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM secara universal," ujarnya.

Dia menjelaskan, terdapat 15 kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Dari 15 itu, tiga kasus diklaim sudah berhasil diselesaikan yakni kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priuk 1984 dan peristiwa Abepura pada tahun 2000.

Sementara 12 perkara HAM yang belum diselesaikan yaitu sebelum UU nomor 26 tahun 2000 meliputi peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius (Petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa simpang KKA, peristiwa rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun Santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998.

"Setelah UU Nomor 26 tahun 2000 ada peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambu Kepuk dan peristiwa Paniai 2014," ucapnya.

Kejaksaan Agung pada 2016 lalu telah melakukan koordinasi intensif. Hasilnya lanjut Burhanuddin, enam berkas penyidikan pelanggaran HAM berat belum bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tak memenuhi syarat formil dan materiel.

"Enam berkas penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat itu yakni peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa penghilangan orang secara paksa, Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965," tandasnya.

 

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka