Sukses

Profil Abdul Kahar Mudzakkir yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh Jokowi

Presiden Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional keenam tokoh, yang salah satunya adalah Abdul Kahar Mudzakkir.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh di Istana Negara, Jakarta. Enam tokoh tersebut dinilai sangat berjasa bagi bangsa Indonesia. 

Dari enam tokoh yang akan diberi gelar pahlawan nasional, di sana ada nama Abdul Kahar Mudzakkir. Siapa sosoknya dan peran penting apa yang telah diberikannya kepada NKRI?

Dia adalah salah satu tokoh muslim yang ikut berjasa dalam proses pendirian dan pengembangan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang bertransformasi menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Di lembaga ini dia menjabat sebagai rektor hingga tahun 1960. 

Abdul Kahar Mudzakkir juga tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan salah satu tokoh di Muhammadiyah.

"Bukan karena rektor, tapi untuk Kahar Mudzakkir bersama AA Maramis dan KH Masykur sebagai anggota BPUPKI/PPKI. Mereka tersisa yang belum dapat gelar pahlawan. Jasa mereka sangat besar," kata Wakil Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Negara Jimly Asshiddiqie saat dikonfirmasi Merdeka, Jumat (8/11/2019).

Sebelumnya pada 2018, Jokowi pernah memberikan gelar kepahlawanan kepada enam orang. Mereka adalah Abdurrahman Baswedan, IR H Pangeran Mohammad Noor, Agung Hajjah Andi Depu, Depati Amir, Kasman Singodimedjo, dan Brigjen KH Syam'un.

Berikut sosok Kahar Abdul Mudzakkir yang akan diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Jokowi

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 5 halaman

Pendidikan

Abdul Kahar Mudzakkir mengawali pendidikan sekolah dasar di Muhammadiyah Selokraman, Kotagede, Yogyakarta. 

Hanya sampai di kelas dua, dia kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Jamsaren Solo sambil belajar di Madrasah Mambaul Ulum. Pesantren Tremas, Jawa Timur menjadi tempat terakhir pendidikan formalnya di Indonesia.

Dalam usia 16 tahun, Abdul Kahar meninggalkan Indonesia menuju Kairo. Di Kairo ia memasuki Darul Ulum, sebuah fakultas baru pada Universitas Fuad (sekarang Kairo).

Lulus dari Universitas ini pada tingkat lanjut dalam Hukum Islam, Ilmu Pendidikan, Bahasa Arab dan Yahudi tahun 1936.

3 dari 5 halaman

Masuk Dunia Pendidikan

Tahun 1938, Abdul Kahar kembali ke Indonesia. Dia kemudian mengajar di Mu'allimin Muhammadiyah di Yogyakarta. 

Sebagai pengajar, Kahar juga terbilang aktif di Muhammadiyah. Terbukti saat pecahnya perang dunia II, beliau menduduki pimpinan pada Organisasi Pemuda dan Bagian Kesejahteraan Sosial.

Hingga saat wafatnya, dia masih sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah yang sudah dipegangnya berkali-kali-kali sejak 1946.

4 dari 5 halaman

Pendiri UII

Setelah masa kolonial, perhatian Abdul Kahar lebih berkonsentrasi kepada usaha memajukan pendidikan (tinggi) Islam.

Andilnya dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) sangat besar. Ketika menjelang berakhirnya masa pendudukan Jepang, dia bersama Moh Hatta memimpin lembaga pendidikan ini. Ketika itu Hatta sebagai Direktur Badan Usaha dan ia sendiri merupakan rektor pertamanya.

Pada tahun 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta. Yang kemudian berganti nama menjadi Unviersitas Islam Indonesia (UII), tepatnya pada tanggal 10 Maret 1948.

Selain itu, beliau juga pernah ikut berpartisipasi mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta, yang sekarang dikenal sebagai IAIN Sunan Kalijaga itu.

Bagi UII, Kahar memiliki arti yang teramat penting. Tak hanya sebagai pendiri, dia juga menjadi orang pertama dan terlama yang pernah memegang jabatan rektor yang dipegangnya selama tak kurang dari 12 tahun, dari 1948–1960. 

5 dari 5 halaman

Karier Politik

Menginjak usianya ke 28 tahun, dia menyatakan dirinya bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) dan terpilih sebagai salah satu komisarisnya, hingga tahun 1941.

Ketika masih pada pendudukan Jepang, Abdul Kahar menjabat di Departemen Agama sebagai wakil ketua.

Abdul Kahar pernah pula menjabat sebagai Dewan Penasehat Pusat, yang kemudian membawanya berada di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mewakili organisasi Islam.

Dua bulan menjelang kemerdekaan, dia menjadi subkomite BPUPKI. Dan bersama sembilan anggota lainnya, termasuk Sukarno dan Hatta, ia ikut menandatangani Piagam Jakarta.