Liputan6.com, Jakarta - Sejarah mencatat, arek-arek Suroboyo telah berperan penting dalam mengusir penjajah dari Tanah Air. Peristiwa itu terjadi pada 10 November 1945 atau yang kemudian diabadikan menjadi Hari Pahlawan.
Menyebut Hari Pahlawan, memori bangsa teringat dengan aksi heroik Sutomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo dalam pertempuran di Surabaya melawan pasukan Inggris dan NICA-Belanda.
Dalam perang itu, Bung Tomo tampil sebagai orator ulung di depan corong radio. Suara dan pekikan takbirnya membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan para penjajah.
Advertisement
Namun di balik aksi heroiknya, sosok Bung Tomo menyimpan kepribadian menarik yang patut diketahui. Apa saja? Berikut 6 fakta tentang Bung Tomo tersebut:
1. Tak Tamat sekolah
Siapa sangka, sosok Bung Tomo ternyata tak tamat sekolah. Hal itu terjadi kala ia berusia 12 tahun.
Bung Tomo yang lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Dia juga keluarga yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi pendidikan.
Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo adalah seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.
Pekerja KerasBung Tomo mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Meski berasal dari keluarga menengah, Bung Tomo tidak berpangku tangan. Dia tetap bekerja keras. Kondisi ini membuatnya terpaksa meninggalkan pendidikan di MULO karena harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Belakangan, Bung Tomo dapat menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
HBS (Hegere Burger School) merupakan pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Masa studi HBS berlangsung dalam 5 tahun atau setara dengan MULO+AMS (SMP+SMA).
Kala muda, Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Bung Tomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.
Wartawan
Selain sebagai orator ulung, Bung Tomo juga seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah. Tulisannya kerap menghiasi Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer.
Dia juga menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Kelihaiannya dalam menulis, ia tuangkan saat menyusun aksara dalam surat cinta kepada calon istrinya. Kisah itu terungkap dalam buku 'Bung Tomo, Suamiku',yang ditulis istrinya, Sulistina Soetomo.
Dalam tulisannya, Bung Tomo mengisahkan awal perjumpaan dengan sang kekasih. Keduanya merupakan pejuang dan memulai kisah cintanya di medan pertempuran. Di suratnya, Bung Tomo menulis:
"Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu."
Bung Tomo melanjutkan. "Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku."
Advertisement
Foto Legendaris
Sosok Bung Tomo tengah berpidato dengan sorot mata yang bersemangat kerap muncul dalam momen Hari Pahlawan. Namun, gambar tersebut ternyata bukanlah diambil saat 10 November.
Hal itu diungkapkan Istri Bung Tomo, Sulistina. Dia mengakui keaslian foto tersebut, namun momen yang tergambar dalam foto itu bukan terjadi pada operasi perang 10 November. Bung Tomo, kala itu berpidato di Lapangan Mojokerto pada 1947 dalam rangka mengumpulkan pakaian bagi korban perang Surabaya.
Saat itu, warga Surabaya masih tertahan di pengungsian Mojokerto dan jatuh miskin karena Surabaya masih dikuasai Belanda.
Momen penuh gelora itu diduga direkam oleh kamera fotografer Alexius Mendur dari IPPhoS (Indonesia Press Photo Services). Sang fotografer selanjutnya menerbitkannya di majalah majalah dwi bahasa Mandarin-Indonesia, Nanjang Post, edisi Februari 1947.
Alex sendiri merupakan kawan baik Bung Tomo dan juga merupakan pemotret peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengibaran bendera pusaka di hari itu.
Jadi Pejabat
Usai pertempuran di Surabaya, sejumlah jabatan penting pernah diembannya. Pada periode 1955-1956, Bung Tomo menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Kemudian, Bung Tomo juga pernah duduk sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.
5. Dipenjara Era Orba
Pada awal Orde Baru, Bung Tomo mendukung pemerintahan Soeharto karena tidak berhalauan komunis. Namun sejak 1970, Bung Tomo mulai mengkritik kebijakan Soeharto.
Sikap kritis memang menjadi bagian dari kepribadian Bung Tomo kala melihat ketidakberesan di depan matanya. Hal itu terekam dalam wawancara Bung Tomo dengan Judul Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah dikhianati di Majalah Panji Masyarakat No 855 Tahun XIII ”.
Dalam artikel itu ditulis kritikan Bung Tomo kepada Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionghoa.
Selain itu, Bung Tomo juga kerap mengkritik adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Orde Baru. Empat tahun setelah putra keduanya, Bambang Sulistomo, ditahan 2 tahun karena diduga terlibat unjuk rasa pada peristiwa 15 Januar 1974 atau dikenal dengan Malari, giliran Bung Tomo yang ditahan akibat diduga terlibat unjuk rasa mahasiswa yang menentang kebijakan Orde Baru.
Bersamanya ditahan juga jurnalis Mahbub Junaedi dan ahli hukum Ismail Suny. Menurut Bambang, "Sejak keluar dari penjara, bapak tak lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap, dan kata-katanya tetap satu, konsisten."
Advertisement
6. Wafat di Makah Dimakamkan TPU Biasa
Sutomo dikenal sangat religius dan bersungguh-sungguh dalam menerapkan ajaran agama. Dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama.
Hidupnya berakhir kala ia menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Ia wafat di Padang Aradah. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan. Namun di Pemakaman Umum di Ngagel, Surabaya, sesuai amanahnya.
Kendati Wafat sejak lama, gelar sebagai Pahlawan Nasional baru disematkan kepadanya pada 10 November 2008. Penyematan gelar itu dilakukan pemerintah setelah didesak Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) pada 9 November 2007.
Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008. Pemberian gelar itu disampaikan Menkominfo, Mohammad Nuh, kepada wartawan di Surabaya, Minggu 2 November 2008.
Meski Bung Tomo telah tiada, jasa-jasanya akan tetap dikenang bangsa. Anak Indonesia diharapkan dapat mencontoh semangatnya dalam membangun Indonesia menjadi lebih baik.z
Pada awal Orde Baru, Bung Tomo mendukung pemerintahan Soeharto karena tidak berhalauan komunis. Namun sejak 1970, Bung Tomo mulai mengkritik kebijakan Soeharto.
Sikap kritis memang menjadi bagian dari kepribadian Bung Tomo kala melihat ketidakberesan di depan matanya. Hal itu terekam dalam wawancara Bung Tomo dengan Judul Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah dikhianati di Majalah Panji Masyarakat No 855 Tahun XIII ”.
Dalam artikel itu ditulis kritikan Bung Tomo kepada Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionghoa.
Selain itu, Bung Tomo juga kerap mengkritik adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Orde Baru. Empat tahun setelah putra keduanya, Bambang Sulistomo, ditahan 2 tahun karena diduga terlibat unjuk rasa pada peristiwa 15 Januar 1974 atau dikenal dengan Malari, giliran Bung Tomo yang ditahan akibat diduga terlibat unjuk rasa mahasiswa yang menentang kebijakan Orde Baru.
Bersamanya ditahan juga jurnalis Mahbub Junaedi dan ahli hukum Ismail Suny. Menurut Bambang, "Sejak keluar dari penjara, bapak tak lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap, dan kata-katanya tetap satu, konsisten."
Wafat di Mekah6. Wafat di Makah Dimakamkan TPU Biasa
Sutomo dikenal sangat religius dan bersungguh-sungguh dalam menerapkan ajaran agama. Dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama.
Hidupnya berakhir kala ia menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Ia wafat di Padang Aradah. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan. Namun di Pemakaman Umum di Ngagel, Surabaya, sesuai amanahnya.
Kendati Wafat sejak lama, gelar sebagai Pahlawan Nasional baru disematkan kepadanya pada 10 November 2008. Penyematan gelar itu dilakukan pemerintah setelah didesak Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) pada 9 November 2007.
Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008. Pemberian gelar itu disampaikan Menkominfo, Mohammad Nuh, kepada wartawan di Surabaya, Minggu 2 November 2008.
Meski Bung Tomo telah tiada, jasa-jasanya akan tetap dikenang bangsa. Anak Indonesia diharapkan dapat mencontoh semangatnya dalam membangun Indonesia menjadi lebih baik.