Sukses

HEADLINE: Misteri Desa Siluman, Salah Data atau Modus Sedot Dana Desa?

Desa tanpa penduduk yang kemudian diistilahkan dengan desa siluman penerima dana desa itu membuat sejumlah pihak meradang.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kabar yang membuat publik tercengang dan pemerintah kebakaran jenggot. Hadir di gedung Parlemen pada Senin 4 November pekan lalu untuk mengikuti rapat evaluasi kinerja 2019, dia membuka cerita yang selama ini tak terpikirkan sama sekali.

"Karena adanya transfer ajeg dari APBN, maka sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya. Hanya untuk bisa mendapatkan dana desa," ujar Sri di hadapan anggota Komisi XI DPR.

Munculnya desa-desa baru itu dinilai tidak wajar. Sebab, dari laporan yang diterima mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, terdapat desa baru yang tidak berpenduduk. Parahnya, desa itu juga mendapatkan guyuran dana dari pemerintah pusat untuk 74.957 desa yang ada di Indonesia.

Desa tanpa penduduk yang kemudian diistilahkan dengan desa siluman penerima dana desa itu membuat sejumlah pihak meradang. Antara lain Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang memastikan pihaknya akan menindaklanjuti temuan Menkeu tersebut.

"Besok saya akan mengunjungi desa siluman. Tunggu saja beritanya dari saya. Pokoknya besok saya akan turun ke lapangan mengunjungi desa siluman. Nanti kita lihat dari verifikasi," ujar Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Budi Arie Setiadi kepada Liputan6.com, Senin (11/11/2019) petang.

Dia juga menolak menjelaskan lebih lanjut soal ada atau tidaknya desa siluman tersebut. Bahkan, dia menyebutkan kalau penyaluran dana desa selama ini sebagian besar sudah baik.

"Bahwa ada yang bermasalah di beberapa daerah, nanti kita urai satu-satu. Termasuk juga dengan melakukan evaluasi monitoring yang lebih melekat dan pokoknya target kita sangat serius," tegas Budi.

Dia menerangkan, tugas Kemendes PDTT adalah untuk memastikan dana desa berupa uang rakyat itu sampai ke desa dan digunakan seutuhnya untuk kemakmuran dan kemajuan desa. Apalagi, dia mengklaim dana desa sudah sangat membantu mengikis kemiskinan.

"Dana desa itu sangat membantu masyarakat desa. Dari hasil evaluasi, kami mampu menurunkan tingkat kemiskinan di desa hingga 40%. Misalnya kemiskinan 20%, bisa turun jadi 12%," jelas Budi.

Dia juga tak menampik bahwa tugas pengawasan dana desa berada di tangan Kemendes, kendati dananya sendiri berasal dari Kemenkeu ke pemerintah daerah untuk kemudian memetakan desa-desa lengkap dengan kondisinya.

"Nah, tugasnya Kementerian Desa itu ketika uangnya sudah ada di desa, kami mengarahkan program dana desa itu. Jadi pengawasan memang ada di Kemendes," tegas Budi.

 

Infografis Desa Siluman Sedot Dana Desa? (Liputan6.com/Triyasni)

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nata Irawan menyatakan pihaknya akan mengirim tim khusus untuk menelusuri perihal dugaan desa siluman ke Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

"Tim kita sore ini berangkat, bertemu dengan pihak gubernur, bupati, polda dan polres. Pulang dari sana bawa data ke Jakarta dan langsung kami bahas hari Selasa (12/11/2019)," kata Nata di Jakarta, Minggu 10 November 2019.

Dia menjelaskan, Kemendagri menurunkan tim beranggotakan 13 orang dari seluruh direktorat jenderal kementerian tersebut untuk mengumpulkan data dari daerah yang diduga desa fiktif.

"Sekarang kan simpang siur, sehingga Menteri Dalam Negeri tidak mau membuat keputusan apa-apa dulu, berbeda data malah membuat simpang siur, kasihan masyarakat," kata Nata.

Dia juga mengungkapkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menerima pengaduan dari masyarakat tentang tidak adanya pelayanan masyarakat di desa siluman tersebut. Kemendagri juga telah menerjunkan tim ke Sulawesi Tenggara pada 15-17 Oktober lalu untuk mengecek keberadaan desa tersebut.

"Ketika itu disampaikan oleh pimpinan KPK, ada 56 desa fiktif. Lalu kami verifikasi melalui data maupun on the spot observation di lapangan. Setelah kami verifikasi, yang dinyatakan fiktif sebenarnya ada empat (desa)," kata Nata.

Adapun nama-nama desa siluman tersebut ialah Desa Larehoma di Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau di Kecamatan Routa, Desa Arombu Utama di Kecamatan Latoma serta Desa Napooha di Kecamatan Latoma.

Namun, masalah yang melingkupi dana desa ternyata tak cuma munculnya desa siluman. Dana desa ternyata sudah lama menjadi bancakan para pejabat di level bawah.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Pola Lancung Aparat Desa

Ini bukan kali pertama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti distribusi dana desa yang kerap menjadi bancakan para pejabat. Hal itu disampaikan Sri dalam Rapat Koordinasi Nasional Camat 2019 yang berlangsung di Hotel Ciputra, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Rabu 20 Maret 2019.

"Saya paling tidak suka kalau ada anggaran dialokasikan, tapi tidak ada kinerjanya dan tidak ada hasilnya. Itu berkaitan dengan kompetensi. Tetapi, saya lebih benci lagi kalau anggaran dikorupsi. Itu bentuk kejahatan," tegas Sri.

Kejengkelan Menkeu bisa dimaklumi. Kalau soal desa siluman masih dalam penelusuran, lain halnya dengan dana desa yang digerus aparat desa. Sejumlah data dan fakta memperlihatkan bahwa dana desa kerap menjadi sasaran korupsi aparat yang seharusnya mengawal serta memastikan dana itu sampai ke masyarakat.

Setidaknya, data yang dimiliki Indonesian Corruption Watch (ICW) membuat kemarahan Sri Mulyani menjadi masuk akal. Koordinator Divisi Hukum ICW Tama S Langkun mengatakan, ratusan kepala desa sudah menjadi pesakitan lantaran menilap dana desa.

"Dalam tiga tahun terakhir ada 212 kepala desa jadi tersangka karena tindak korupsi dan ini meningkat cukup pesat. Periode 2016-2017 itu atau dalam dua tahun ada 110 kepala desa jadi tersangka, 2018 atau dalam setahun sebanyak 102 kepala desa jadi tersangka," papar Tama kepada Liputan6.com, Senin (11/11/2019).

Dari data itu, terlihat bahwa jumlah kepala desa yang menjadi tersangka akibat menilap dana desa angkanya terus meningkat.

"Ini lonjakannya sangat luar biasa. Kalau dulu setahun mungkin 12 sampai 20 orang," ujar Tama.

Dia mengatakan, itu baru data tentang kepala desa yang menjadi tersangka dan belum menyentuh kepada perilaku menyimpang dari aparatur desa atau pegawai desa di tingkatan lainnya.

"Kita belum bicara aparatur desanya atau pegawai-pegawainya. Yang jelas, angka yang dikorupsi 2016-2017 itu sampai Rp 30 miliar. Walaupun itu setiap perkaranya (uang yang dikorupsi) kecil-kecil, kalau untuk standar desa angka segitu kan cukup besar," ujar Tama.

Selain itu, ICW juga mencatat sedikitnya ada 15 pola korupsi dana desa yang diuraikan dari ratusan perkara korupsi yang telah diusut aparatur penegak hukum. Pola korupsi itu antara lain melalui proyek fiktif. Modus ini dilakukan dengan cara memasukkan anggaran untuk pekerjaan, namun proyek tak pernah ada.

"Selanjutnya pola double budget. Modus ini dilakukan dengan cara memasukkan anggaran untuk proyek yang sebenarnya telah rampung dikerjakan. Selanjutnya ada pula orang yang berutang menggunakan dana desa, namun tak pernah dikembalikan. Ini pola yang sangat mudah kita jumpai," jelas Tama.

Dia juga mengatakan, jabatan kepala desa kini masuk dalam 5 besar pelaku korupsi. Selain kepala desa, ada pegawai negeri, swasta, kepala daerah dan legislatif.

"Jadi, semakin ke sini semakin banyak kades yang ditetapkan tersangka karena perkara korupsi," kata Tama.

Dia meyakini kalau Kementerian Keuangan sudah sangat ketat mengawasi distribusi dana desa hingga ke penerima. Masalahnya, lanjut dia, masih ada pihak-pihak di bawah yang berani coba-coba menelikung anggaran untuk kepentingan pribadi.

"Mereka berani melakukan dengan beragam pola korupsi. Mereka membuat seolah-olah ada pengadaannya, padahal kalau ketahuan risikonya besar," ujar Tama.

Untuk itu, ICW mengatakan pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap penyaluran dana desa. Masyarakat, kata dia, juga harus ikut serta mengawasi penyaluran itu.

"Masyarakat di desa harus melek akan dana desa, harus paham bagaimana anggaran desa bergulir untuk digunakan," Tama memungkasi.

3 dari 3 halaman

Menangkal Pencoleng Dana Desa

Jika dilihat dari tujuan awalnya, dana desa layak diapresiasi. Penggunaan dana desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa.

Dikutip dari laman Kementerian Keuangan, pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari dana desa berpedoman pada pedoman teknis yang ditetapkan oleh bupati/wali kota mengenai kegiatan yang dibiayai dari dana desa. Anggaran yang dikucurkan pun terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dari Rp 20,67 triliun atau sekitar Rp 280,3 juta per desa pada 2015 hingga menjadi Rp 60 triliun atau sekitar Rp 800,4 juta per desa pada 2017. Sedangkan tahun 2018, naik lagi menjadi Rp 70 triliun. Pada 2019, pemerintah memutuskan untuk tetap mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp 70 triliun. Anggaran tersebut disalurkan untuk 74.597 desa.

Dengan begitu pemerintah sudah mengeluarkan anggaran untuk program dana desa sebesar Rp 267,62 triliun. Dengan demikian bisa dikatakan secara teknis 'janji' transfer dana desa mencapai 1 miliar per desa telah diwujudkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga merinci, angka kesenjangan (gini ratio) di desa berhasil ditekan dari 0,34 pada 2014 menjadi 0,32 di 2018. Jumlah penduduk miskin pun berkurang dari 17,77 juta jiwa pada 2014 menjadi 15,54 juta jiwa pada 2018. Sementara itu, persentase penduduk miskin berkurang dari 14,2 persen di 2014 menjadi 13,2 persen di 2018.

Selain itu, lewat dana desa pemerintah berhasil membangun dan merevitalisasi jalan desa sepanjang 191 ribu km dan 1.140 km jembatan. Melalui dana desa pemerintah juga telah menyediakan 24.820 unit posyandu dan 959 ribu unit sarana air bersih.

Dana desa itu juga digunakan untuk pembangunan pasar desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pembangunan embung desa, sumur bor, drainase, penahan tanah, tambatan perahu, fasilitas mandi cuci kakus (MCK), dan lainnya.

Sementara itu, pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari dana desa diutamakan dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan baku lokal, dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat desa setempat.

Dana desa dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak termasuk dalam prioritas penggunaan dana desa setelah mendapat persetujuan bupati/wali kota dengan memastikan pengalokasian dana desa untuk kegiatan yang menjadi prioritas telah terpenuhi atau kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat telah terpenuhi.

Lantas, bagaimana dana desa berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dan menekan angka kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan? Dalam tiga tahun sejak 2015, alokasi dana desa terus menanjak signifikan.

Dikutip dari laman Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, tantangannya kemudian adalah bagaimana dana desa yang jumlahnya cukup besar itu bisa benar-benar membantu mewujudkan terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat desa.

Pada saat bersamaan proyek kebutuhan dasar warga desa melalui pembangunan infrastruktur bisa berjalan beriring mengejar ketertinggalannya, terutama di desa-desa kawasan pinggiran Indonesia. Maka pertanyaan selanjutanya adalah seberapa besar dana desa bisa menciptakan lapangan kerja dan seberapa banyak menyerap tenaga kerja?

Hasilnya tidak buruk. Data lapangan menunjukkan pada tahun 2015, tenaga kerja yang terserap sebagai akibat dari kontribusi dana desa berjumlah 1,7 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2016 tenaga kerja yang terserap sebagai kontribusi Dana Desa berjumlah 3,9 juta jiwa. Dan pada tahun 2017, tenaga kerja yang terserap sebagai kontribusi dana desa berjumlah 5 juta jiwa.

Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa kontribusi dana desa dalam penyerapan tenaga kerja pada tahun 2017 telah mengalami peningkatan sampai 3 kali lipat dari angka penyerapan tenaga kerja.

Karena itu, dengan semua manfaat yang diterima dari dana desa, sangat layak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan serta Kementerian Desa, untuk menyingkirkan dampak negatif. Baik berupa adanya desa siluman seperti diklaim Menteri Keuangan atau penyelewengan dana desa yang dilakukan oleh perangkat desa.

Kemendes boleh menampik dugaan yang dimunculkan Menkeu Sri Mulyani, tapi harus diingat bahwa desa siluman bukan satu-satunya pola untuk menggerus dana desa. Seperti dilansir Indonesian Corruption Watch (ICW), terdapat belasan cara yang dilakukan untuk meraup dana desa secara ilegal.

Liputan6.com juga mencatat sejumlah kasus penyelewengan dana desa sudah dibawa ke pengadilan dan tengah menjalani persidangan. Ini menandakan bahwa dana desa tidaklah steril dari tindakan lancung para penggunanya.

Jadi, ada atau tidak desa siluman, distribusi dana desa tetap harus diawasi secara ketat, karena terkait dengan jumlah uang yang tak sedikit.

Â