Sukses

Pilkada Langsung Dievaluasi, Puan: Jangan Sampai Kita Kembali ke Belakang

Puan mengatakan, saat Indonesia memutuskan menggunakan sistem pilkada langsung pasti sudah ada pertimbangan baik dan buruknya.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR Puan Maharani menilai perlu adanya evaluasi terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Namun, evaluasi tersebut tidak boleh membuat Indonesia menjadi mundur dari apa yang sudah dicapai saat ini.

"Ini pilkada langsung kan sudah berjalan cukup lama dan ya memang perlu ada banyak evaluasi. Tapi jangan sampai juga ini kembali membuat kita balik ke belakang lagi," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019).

Puan mengatakan, saat Indonesia memutuskan menggunakan sistem pilkada langsung pasti sudah ada pertimbangan baik dan buruknya. Maka dari itu, yang terbaik adalah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada tersebut.

"Waktu itu kita putusin mau pilkada langsung, pasti sudah ada hal-hal yang dipertimbangkan. Kini kita lihat lagi baik dan buruknya, positif dan negatifnya untuk bangsa ini ke depan," ungkap dia.

Terkait urgensi untuk membahas pilkada langsung, politikus PDIP ini enggan berkomentar banyak. Dia menyerahkan sepenuhnya ke Komisi II DPR sebagai pihak yang akan membahas seluk beluk pilkada langsung.

"Ya kita lihat lagi nanti di Komisi II seperti apa kondisinya. Karena saya enggak bisa beranda-andai kalau pembahasannya aja belum dilakukan," ucap Puan memungkasi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Relevansi Pilkada Langsung

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian meminta sistem pilkada secara langsung untuk dikaji ulang. Dia mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.

"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan.

Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Satu di antaranya biaya politik yang terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah, kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi bupati mana berani dia," ucapnya.

 

Reporter: Sania Mashabi/Merdeka.com