Sukses

Hadapi Revolusi 4.0, Budayawan Betawi Imbau Perkembangan Tidak Keluar dari Pakem

Memasuki masa revolusi 4.0, Budaya Betawi harus terus dilestarikan. Walau begitu, perkembangan tidak boleh keluar dari unsur-unsur asli dari budaya itu sendiri.

Liputan6.com, Jakarta Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) menggelar acara “Nyaba Kampus” untuk melakukan sosialisasi pelestarian budaya Betawi. Universitas Indonesia (UI) merupakan kampus kedelapan yang dikunjungi oleh LKB pada Rabu, 13 November 2019.

Salah satu narasumber dalam diskusi LKB di Universitas Indonesia adalah Dr. Syahrial. Dalam pembahasannya, Syahrial menyinggung strategi pelestarian budaya Betawi di tengah masyarakat saat ini yang sudah masuk dalam tahap revolusi 4.0. 

“Kita harus memikirkan bagaimana memanfaatkan rakyat yang sudah terhubung internet dalam pengembangan budaya,” ucap Syahrial.

Syahrial menyarankan, budaya literasi Betawi dapat dikembangkan dalam bentuk digital. Menurut dia, hal ini akan membuat generasi muda menjadi tertarik dan benar-benar merasa dekat dengan budaya Betawi. 

Dari LKB sendiri, telah diluncurkan aplikasi mobile “Betawi Akses”. Aplikasi ini dapat menjadi jendela informasi dan referensi budaya Betawi dalam bentuk digital. Ke depannya, LKB akan terus mengembangkan budaya Betawi dengan mengikuti aliran trend masyarakat.

“Sebagai organisasi masyarakat sebenarnya terus mengikuti tren. Trennya ke mana, kita ikuti arah tren itu,” ujar Yahya Andi Saputra, moderator acara sekaligus Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan LKB.

Walau begitu, Yahya mengingatkan, perkembangan yang mengikuti aliran gaya masyarakat tersebut harus tetap dipagari. Hal ini dimaksudkan agar unsur keaslian budaya tidak menjadi hilang walau telah berkembang. 

“Tetapi tren itu pun harus dipagari dengan pakem-pakem yang ada, sehingga penyesuaian tren itu tidak lari dari pakem,” ucap Yahya. 

Yahya mencontohkannya dengan salah satu kesenian dari Budaya Betawi, musik gambang kromong. Kini, kesenian tersebut sudah dipadukan dengan musik modern seperti dari suara keyboard atau drum. Namun, alat musik tradisional yang merupakan inti, seperti gambang, gendang, dan gong harus tetap ada.

“Kita boleh lari ke mana saja, mengikuti perkembangan zaman, tapi tetap harus dalam pakem itu,” tuturnya.

(Kezia Priscilla - Mahasiswa UMN)