Sukses

MRT Jakarta Andalkan Pendapatan Non Tiket, Apa Saja?

Pendapatan ketiga MRT berasal dari nonfarebox atau pendapatan di luar tarif.

Liputan6.com, Jakarta - Moda Raya Terpadu atau MRT Jakarta sudah resmi beroperasi sejak 24 Maret 2019. Selama delapan bulan beroperasi, MRT Jakarta masih terus berupaya memperbaiki pelayanannya terhadap para penggunanya.

Demi kenyamanan para penggunanya juga, PT MRT Jakarta rupanya sudah memiliki konsep Transit Oriented Development (TOD) atau Kawasan Berorientasi Transit (KBT).

TOD atau KBT merupakan perancangan suatu kawasan untuk menyatukan masyarakat kota, kegiatan perkotaan, gedung dan bangunan, serta ruang publik secara bersamaan.

Kemudian, dalam kawasan itu juga dilengkapi fasilitas pejalan kaki dan pesepeda yang memadai serta dekat dengan lokasi transit untuk menjangkau bagian kota lainnya.

Agar pembangunan TOD bisa terwujud, MRT Jakarta bersama dengan Pemprov DKI Jakarta turut menggandeng berbagai pihak, termasuk perusahaan swasta.

Selain itu, PT MRT Jakarta juga berupaya agar bisa mencapai hasil pendapatan sesuai dengan harapan. Karena, pembangunan TOD sendiri membutuhkan biaya tak sedikit.

"Pendapatan TOD dan MRT bisa mencapai hampir Rp 242 triliun jika semuanya sudah berhasil berjalan. Untuk modal TOD, paling setengah dari jumlah tersebut," ujar Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi Tuhiyat.

Untuk itu, PT MRT Jakarta berusaha memperoleh pendapatan lebih. Pertama, pendapatan dari subsidi. Yang dimaksud dari sini yaitu subsidi dari pemerintah untuk para pengguna MRT Jakarta.

"Karena seharusnya yang anda bayar (sekali naik MRT) Rp 30 ribu, tapi anda cukup bayar Rp 8.000. Nah itu selisihnya ditanggung pemprov. Yang disubsidi bukan MRT, tapi anda, penumpangnya," kata Tuhiyat.

Oleh karenanya, besaran pendapatan yang didapat dari subsidi ini mencapai 58 persen. Selama delapan bulan MRT beroperasi, jumlah subsidinya mencapai Rp 560 miliar.

Kemudian, pendapatan yang diterima MRT Jakarta berasal dari tiket. Tiket ini adalah pendapatan sehari-hari dari para penggunanya atau disebut juga dengan farebox. Dari sini, pendapatan diperoleh sebesar 18 persen.

Pendapatan ketiga MRT berasal dari nonfarebox atau pendapatan di luar tarif. Hingga saat ini, pendapatan yang diperoleh dari nonfarebox mencapai Rp 225 miliar.

Lantas, dari mana sajakah pendapatan nonfarebox ini diperoleh?

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pendapatan Nonfarebox

Pendapatan nonfarebox yang pertama berasal dari iklan atau advertising. Totalnya untuk 2019 ini mencapai Rp 124 miliar.

Kedua berasal dari telekomunikasi. Yang dimaksud dari telekomunikasi adalah provider-provider telepon seluler. Jadi, semua provider saat ini para pengguna sudah bisa akses dari bawah tanah.

"Sekarang all provider bisa beroperasi dari bawah tanah ketika penumpang naik MRT. Ini walaupun cukup kecil (pendapatannya), kita akan fasilitasi. Kontribusinya sekitar Rp 3 miliar. Telekomunikasinya ini untuk wifi, kemudian bisnis untuk mesin EDC," ucap Tuhiyat.

Kemudian yang ketiga adalah berasal dari retail. Retail ini terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan barang-barang atau perusahan minuman dan makanan branded (bermerek).

Kelompok kedua adalah UMKM. Akurasi UMKM dilakukan oleh BeKraf, sehingga PT MRT Jakarta hanya menerima saja.

"Jadi UMKM nya di 13 stasiun, UMKM-nya 4 sampai 5 stasiun. UMKM kita fasilitasi dan itu melalui akurasi oleh BeKraf Jadi kita tau bersih. Berapa porsinya? Hanya 1 persen dari revenue kita. Yang menarik bukan dari dari pendapatannya, efek orang naik MRT jauh lebih banyak karena ada ini, ketertarikan," kata Tuhiyat.

Pendapatan keempat dari nonfarebox ini berasal dari naming write atau penambahan nama di belakang nama tiap stasiun.

"Ini juga terbesar porsinya (dalam pendapatan nonfarebox). Sekarang ada 5 yaitu Blok M, Dukuh Atas, Istora, Setia Budi, dan Lebak Bulus. Terbesar dan termahal ada di ujung," kata Tuhiyat.

Kontrak naming write ini adalah dua sampai lima tahun. Semunya bervariasi.

"Naming write itu dari semua nonfarebox saat ini adalah yang terbesar, kemudian setelah itu baru advertising atau iklan. Nominalnya saya tidak terlalu hafal tapi kalau Grab di Lebak Bulus itu sekitar Rp 33 miliar per tahun," papar Tuhiyat.

Untuk proses naming write stasiun lain hingga saat ini masih dalam proses. Namun yang jelas, untuk Bundaran HI akan jadi terakhir.

"Yang kita hold HI dulu, HI nanti terakhir. Pokoknya kita jual paling mahal karena sudah pusat kota, yang kedua di ujung sehingga disebut terus ditiap stasiun," pungkas Tuhiyat.