Sukses

Istana Sarankan Penggugat UU KPK Tempuh Langkah Hukum Lanjutan

Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman menyarankan agar pemohon mengambil langkah hukum lanjutan.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman menyarankan agar pemohon mengambil langkah hukum lanjutan.

"Jadi kalau Istana, mengimbau, kalaupun masih ada upaya untuk mengajukan, uji yudisial terhadap UU KPK, lakukan dengan sebaik-baiknya," kata Fadjroel di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (29/11/2019).

Dengan adanya penolakan uji materi UU KPK, Fadjroel memastikan Presiden Jokowi tak akan menerbitkan Perppu.

"Tidak ada dong, kan Perppu tidak diperlukan lagi. Sudah ada Undang-undang, yaitu Nomor 19 tahun 2019. Tidak diperlukan lagi Perppu," ucapnya.

Fadjroel kemudian mengapresiasi 13 tokoh antikorupsi yang mengajukan uji formil UU KPK ke MK pada beberapa waktu lalu. Dia mempersilakan para tokoh tersebut menyampaikan argumentasi pada sidang uji materi.

"Bagus, tidak ada masalah, kan setiap orang boleh, pribadi sendiri boleh. Di MK itu menarik, bisa maju sendiri, jadi pembela sendiri, its okay, tidak ada larangan. Di sana cuma nanti diujinya legal standing," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Penggugat Dirugikan

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU KPK hasil revisi. Uji materi dengan nomor perkara 57/PUU-XVII-2019, diajukan oleh 18 mahasiswa dari berbagai universitas.

Pemohon lewat kuasa hukumnya, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mengatakan proses persidangan yang berjalan hingga diputus hakim telah merugikan mereka.

Kerugian yang dimaksud bermula dari kesalahan nomor UU KPK yang akan didaftarkan untuk diuji materi. Dalam gugatannya, pemohon menuliskan UU Nomor 16 Tahun 2019. Padahal saat itu, UU belum dilakukan penomoran dan belum juga diregistrasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun belakangan, terbitlah UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK. Penomoran itu setelah dilakukan revisi.

Sebenarnya, pemohon sudah berniat melakukan perbaikan. Apalagi jika mengacu pada jadwal sidang perbaikan digelar 23 Oktober.

Namun tiba-tiba, pihaknya mendapat kabar bahwa sidang dimajukan menjadi 14 Oktober. Padahal saat itu, penomoran resmi belum keluar dan baru terbit tiga hari setelah sidang yakni 17 Oktober 2019.

"Jadi di tanggal 14 itu kami membuka website, JDIH, dokumen hukum punya pemerintah. UU terakhir di nomor itu nomor 15, kami memprediksi semoga (nomor) 16," kata Zico di Gedung MK, Kamis (28/11).

Mereka juga sempat berkonsultasi dengan panitera MK. Saran yang didapat, berkas tetap dimasukkan dan perbaikan bisa dilakukan pada 21 Oktober. Namun jadwal sidang bergeser jauh.

"Panitera MK sudah bilang, enggak apa-apa, masukan berkas tanggal 14, nanti di tanggal 21 benarkan saja. Tapi hakim menolak seperti sekarang putusan itu. Itu jadi pertanyaan besar kami, kami punya bukti nanti ada chatnya. Nanti kami serahkan juga. Itu yang kami sampaikan di konpers kami kemarin," katanya.

Melihat sejumlah kondisi tersebut, pemohon merasa telah dirugikan atas sidang yang berjalan. Mereka berencana membawa masalah ini ke dewan etik MK.

"Kami mempertanyakan siapa yang memerintahkan pemajuan jadwal itu. Kedua kenapa MK masih tetap memutus sekalipun sudah dilakukan pencabutan permohonan. Kami akan laporkan ke dewan etik, besok pasti akan buat laporannya," tegas dia.

Sebelumnya, dalam materi gugatannya, pemohon menyoalkan syarat pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK.

Sejumlah syarat itu mengatur pimpinan KPK tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki reputasi yang baik, dan melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain selama menjadi pimpinan KPK.

Zico menilai, pasal tersebut tidak mengatur mekanisme sanksi atau upaya hukum apabila pasal 29 itu dilanggar. Sehingga ada kekosongan norma. Hal itu menyoroti Komjen Firly Bahuri yang menjadi Ketua KPK periode 2019-2023 yang disebut-sebut bermasalah.

Kemudian dari uji formil, para penggugat mempermasalahkan rapat pengesahan UU KPK pada 17 September 2019. Di paripurna DPR yang hanya dihadiri 80 anggota DPR. "Berdasarkan hitung manual, rapat paripurna hanya dihadiri 80 anggota DPR saat dibuka," kata Zico.