Liputan6.com, Jakarta Pengamat Politik CSIS Arya Fernandes menyatakan, pilkada langsung yang sudah berjalan sejak 2015 membawa kemajuan.
Ada pun kritik pilkada langsung yang disebabkan oleh biaya politik tinggi, mahar politik, dan kandidat yang terkooptasi partai, dapat diurai asalkan semua berjalan transparan.
Baca Juga
"Kalau proses ini semakin transparan kandidat dan partai kan bisa save dana, dana saksi karena sudah ada data situng KPU," kata Arya, Jakarta Pusat, Minggu (8/12/2019).
Advertisement
Arya melanjutkan, sistem Pilkada langsung yang telah berjalan patutnya dievaluasi dan bukan dikembalikan ke model sebelumnya. Sebab, bila argumen penolakan Pilkada langsung rentan terjadi konflik, maka seharusnya proses penyelesaiannya yang harus dibenahi.
"Dalam peraturan perundang-undangan mengatakan kalau anda tak puas bisa lapor Bawaslu, soal netralitas bisa ke DKPP, atau MK. Jd alasan konflik untuk menolak Pilkada lngsung itu menurut saya lemah," Arya menandasi.
Wacana Pilkada Tak Langsung
Wacana Pilkada tidak langsung diembuskan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Menurutnya, ada sejumlah mudarat bila proses demokrasi terus dijalankan menggunakan sistem Pilkada langsung.
Dua masalah disoroti Tito adalah tingginya biaya politik dan potensi konflik. Menurut Tito, kepala daerah akan sulit mencari cara untuk mengembalikan modal kampanye dengan gaji yang terbatas. Tito pun juga mengumpamakan timbulnya konflik horizontal, seperti di Provinsi Papua karena beda pilihan politik.
Tito mengungkap temuan hal bukan berdasarkan pemikiran pribadinya, namun bersumber dari hasil kajian kementeriannya.
"Apapun hasil temuan kajian akademik itu, bukan Kemendagri yang temukan. Kewajiban moral Kemendagri melihat ada ekses negatif, hasilnya terserah kajian akademik," kata Tito saat pidato Penganugerahan Penghargaan Ormas Indonesia Maju di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Senin 25 November 2019.
Advertisement