Sukses

HEADLINE: Eks Koruptor Harus Tunggu 5 Tahun Sebelum Ikut Pilkada, Jalan Tengah MK?

Menurut ICW, jika berpikir secara rasional, masa tunggu eks koruptor selama lima tahun itu sudah moderat dan ideal.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi akhirnya mengetok palu atas permohonan uji materi yang diajukan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Keduanya mengajukan judicial review atas Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke MK. Mereka menuntut agar eks koruptor bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah dua siklus pilkada atau 10 tahun.

Namun, MK dalam putusan yang dibacakan pada persidangan Rabu pagi, 11 Desember 2019, menyatakan hanya menerima sebagian uji materi yang diajukan ICW dan Perludem. Bukan 10 tahun, MK membolehkan mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara untuk mengikuti kontestasi pilkada.

Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, putusan bahwa ada jeda bagi seorang eks koruptor untuk menanti selama 5 tahun usai menjalani masa tahanan sebelum ikut pilkada sudah cukup ideal.

"Memang sulit membatalkan mantan koruptor untuk terus menerus tak bisa mencalonkan diri, agak susah secara hukum mencari celah untuk selama-lamanya melarang mereka. Pilihan yang diambil MK itu mengembalikan putusan sebelumnya yang membatasi selama lima tahun bagi mereka untuk diberikan masa tunggu," ujar Donal kepada Liputan6.com, Rabu (11/12/2019).

Dia juga tak mempermasalahkan permohonan awal bersama Perludem yang ingin jeda pencalonan eks koruptor ikut pilkada selama 10 tahun. Alasannya, jika berpikir secara rasional, masa tunggu selama lima tahun itu sudah moderat.

"Cuma nanti pada praktiknya bisa jadi dua siklus, misal ada mantan terpidana kasus korupsi yang baru selesai menjalani pidananya 2020, kan tak bisa langsung nyalon di Pilkada 2020, di 2024 juga belum bisa. Artinya periode selanjutnya lagi baru bisa. Jadi tergantung siklus pemilu," papar Donal.

Demikian pula terhadap partai politik yang akan mengusung calonnya di pilkada, dia menyarankan untuk melihat sisi positifnya bahwa ini akan berdampak pada kualitas calon pemimpin dan demokrasi di Indonesia.

"Jangan parpol melihat sebaliknya dan berdampak negatif. ICW sendiri melihat ini sangat positif dalam konteks demokrasi elektoral dan bukan pukulan bagi kader parpol," ungkap Donal.

Kendati demikian, dia juga bisa memahami kalau parpol tak akan mudah menerima putusan ini, lantaran selama ini ICW melihat parpol belum punya komitmen yang kuat untuk menghadirkan pilkada yang bersih dari hadirnya calon-calon yang tercela.

"Buktinya, mereka tak mau merevisi Undang-Undang Partai Politik dan UU Pilkada soal syarat calon anggota legislatif dan kepala daerah. Justru persoalan partai harus diintervensi lewat pengadilan, putusan MK ini kan intervensi. Kalau diharapkan by nature atau alamiah dari mereka itu sulit," tegas Donal.

Karena itu, ke depan ICW juga bertekad untuk menggugat pasal-pasal yang membolehkan eks koruptor untuk menjadi calon anggota legislatif atau caleg. Karena, berharap pada parpol agaknya sulit. 

"Ke depan kami berpikir akan menggugat, caleg yang mantan terpidana kasus korupsi dibatasi dengan satu siklus pemilu. Itu akan kami lakukan upayanya," Donal menandasi.

Infografis Eks Napi Koruptor Puasa Pilkada 5 Tahun (Liputan6.com/Abdillah)

 

Sikap menerima putusan MK terkait posisi eks koruptor di pilkada juga diperlihatkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Bahkan, dia menyatakan putusan itu sebagai kado istimewa.

"Meski tidak mengakomodir semua permohonan kami, putusan itu menjadi kado istimewa dalam suasana peringatan Hari Antikorupsi Internasional (9 Desember 2019) dan Hari Hak Asasi Manusia Internasional (10 Desember 2019)," ujar Titi kepada Liputan6.com, Rabu siang.

Dia pun berharap, Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi, sehingga kepala daerah bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.

"Kami juga meminta KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggantian atas calon yang terkena OTT KPK, dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap. Sebab, dengan ditangkap oleh KPK maka si calon tidak bisa melakukan kewajibannya dalam berkampanye sebagai bagian dari kerja pendidikan politik yang harus dilakukan calon," papar Titi.

Dia juga mengingatkan KPU untuk segera menetapkan regulasi pascaputusan MK, yaitu membuat pengaturan teknis pelaksanaan pilkada sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon.

"Termasuk pula pengaturan teknis yang konkret untuk menghindarkan pemilih dari memilih figur-figur yang bermasalah secara hukum," ujar Titi memungkasi.

Lantas, bagaimana tanggapan parpol yang dinilai paling merasakan dampak putusan MK itu?

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Parpol yang Satu Suara

Tidak seperti dugaan awal, sejumlah tokoh partai politik yang dimintai Liputan6.com pendapatnya menyambut baik putusan MK yang melarang eks koruptor mencalonkan diri dalam pilkada sebelum jeda lima tahun setelah menjalani masa hukuman.

Bahkan, politikus Partai Gerindra Sodiq Mudjahid memuji putusan yang dibacakan majelis hakim MK pada Rabu pagi kemarin.

"Saya pikir ini adalah jalan tengah yang baik dan bijak, namun tetap konstitusional," ujar Sodiq kepada Liputan6.com, Rabu (11/12/2019).

Dia mengakui, di kalangan parpol ada dua pendapat berbeda yang mengemuka soal pelarangan dan pembatasan eks koruptor maju di pilkada. Kelompok pertama berpemdapat mantan napi korupsi tidak boleh maju pilkada sebagai sanksi sosial. Sedangkan kelompok kedua berpendapat boleh maju karena mantan napi tetap mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.

"Gerindra sendiri patuh kepada konstitusi dan hukum, termasuk putusan MK terbaru. Tapi kami tetap aspiratif, seperti sudah dinyatakan oleh Sekjen Gerindra yang meminta kepada DPC dan DPD se-Indonesia untuk tidak mencalonkan mantan napi dalam pilkada," jelas Sodiq.

Menurut anggota Komisi II DPR itu, yang tidak kalah pentingnya adalah KPU dan masyarakat, terutama media harus memberikan pencerahan kepada masyarakat calon pemilih tentang latar belakang dan rekam jejak setiap kandidat yang maju di pilkada.

"Walau belum maksimal, tapi pasti ada tambahan efek jera. Namun, soal efek jera harus dilakukan secara simultan dalam berbagai bidang, tidak hanya dalam pilkada saja," ujar Sodiq memungkasi.

Sikap setuju juga diperlihatkan Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi. Dia mengatakan, putusan MK itu tak lain dari pengulangan aturan sebelumnya, di mana MK dulu juga membatasi jeda lima tahun bagi eks narapidana yang kemudian frasa itu dihilangkan oleh MK.

"Sekarang aturan itu diberlakukan lagi, ya kita hormati saja. Memang begitu proses politik hukum di Indonesia. Karena kalau kita menganut sistem yang disebut dengan living law, bahwa sistem hukum itu selalu hidup sesuai dengan perkembangan zaman, inilah putusan MK itu," ujar pria yang karib disapa Awik itu kepada Liputan6.com, Rabu siang.

Karena itu, lanjut dia, parpol tak akan kesulitan mengadopsi putusan terbaru MK, lantaran pernah diberlakukan sebelumnya. Saat ini pihak parpol dalam posisi menunggu regulasi turunan dari putusan MK tersebut agar bisa dilaksanakan.

"Awalnya membatalkan batasan lima tahun, sekarang menghidupkan lagi. Ya kita terima saja. Karena perintah konstitusi jelas, putusan MK setara dengan konstitusi. Nanti kita aturlah dalam regulasi pilkada, baik itu UU Pilkada maupun PKPU-nya," tegas Awik.

Ketika ditanyakan apakah pada Pilkada 2020 partainya akan mencalonkan figur yang merupakan eks napi korupsi, dia menjawab tegas. 

"Tidak hanya 2020, sejak kemarin yang namanya eks napi sama sekali tidak ada yang kita usung sebagai calon kepala daerah. Jadi kita coret. 2020 clear, PPP tidak akan mengusung mantan napi korupsi," ujar Awik menandasi.

Pendapat senada juga disampaikan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Dia mengatakan, hukum yang berlaku selalu menjadi rujukan bagi PDIP dalam mengambil kebijakan, tanpa mengurangi atau melebihkan.

"Ketika hak politik seseorang tidak dicabut pengadilan, maka sebagai warga negara dia bisa dicalonkan. Demikian pula kalau putusan MK melarang, harus dipatuhi," ujar Hasto kepada Liputan6.com, Rabu petang.

PDIP, ujar dia, memahami bahwa menjadi kepala daerah itu punya tanggung jawab bagi masa depan bangsa dan negara. Itulah yang menjadi alasan PDIP untuk selalu melihat latar belakang seorang calon kepala daerah yang akan diusung di pilkada.

"Karena itu, setiap calon kepala daerah harus memiliki rekam jejak dan kredibilitas yang baik. Bahkan, meskipun hukum memperbolehkan (eks napi korupsi) itu, PDIP tidak akan mencalonkan yang bersangkutan," tegas Hasto memungkasi.

3 dari 3 halaman

Jalan Tengah dari MK

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat dibolehkannya eks napi korupsi atau eks koruptor ikut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) berawal pada Selasa 8 Agustus 2019.

Hari itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan judicial review Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke MK. Mereka menuntut agar eks koruptor bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah dua siklus pilkada.

Kuasa hukum pemohon Donal Fariz mengatakan, aturan terkait tenggat waktu eks narapidana korupsi untuk mencalonkan diri itu sudah pernah ada sebelumnya. ICW dan Perludem ingin mengembalikan aturan tersebut.

"Putusan MK sebelumnya putusan No 4 Tahun 2009, memberikan jeda waktu selama 5 tahun, setelah itu lahir putusan MK No 42 Tahun 2015, yang intinya lebih kurang menghilangkan waktu lima tahun tersebut menjadi syarat kepala daerah," ujar Donal di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019).

Sementara, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, pihaknya mengajukan argumen yang sangat kuat berkaitan dengan permohonan itu. Yakni dengan melihat fakta politik terkini, di mana eks napi korupsi yang dicalonkan lagi di pilkada ternyata mengulangi perbuatannya.

Misalnya, Muhammad Tamzil, Bupati Kudus yang menjadi residivis korupsi. Pada tahun 2014, Tamzil pernah terjerat korupsi dana bantuan saran dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004. Saat itu Tamzil masih menjadi Bupati Kudus. Kemudian bebas pada 2015. Lalu terpilih di Pilkada 2018 dan terkena OTT KPK pada 2019.

"Selain itu ternyata, ketiadaan masa tunggu (jeda) dari bebasnya mantan napi dengan pencalonan yang bersangkutan di pilkada, membuat parpol dengan mudah mencalonkan mantan napi dan diikuti keterpilihan si mantan napi di pilkada. Misal di Minahasa Utara dan Solok," ungkap Titi.

Karena itu, ICW dan Perludem kemudian mengajukan uji materi terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.

Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g yang diubah itu berbunyi: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Terkait dengan permohonan tersebut, MK kemudian menyatakan menerima sebagian uji materi yang diajukan ICW dan Perludem.

"Mengadili, dalam provisi mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman di ruang persidangan MK, Jakarta, Rabu (11/12/2019) pagi.

Dia juga menyebut dalam putusannya, Pasal 7 ayat (2) huruf g, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

"Dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap," ucap Anwar.

Dengan putusan itu, lanjut dia, Pasal 7 ayat (2) huruf g berubah bunyinya menjadi:

1. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa.

2. Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.

3. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Kemudian, dia kembali menegaskan bahwa MK menolak permintaan ICW dan Perludem yang meminta masa jeda waktu sebanyak 10 tahun. MK hanya memberikan waktu 5 tahun bagi mantan napi usai menjalankan pidana penjara, untuk bisa mencalonkan diri dalam pilkada.

"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," Anwar menandaskan.