Liputan6.com, Jakarta - Wacana hukuman mati bagi koruptor yang diucapkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menuai beragam tanggapan pro dan kontra.
Jokowi menyebut, aturan tentang hukuman mati bagi koruptor bisa masuk dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor.
Baca Juga
"Itu yang pertama kehendak masyarakat. Itu (hukuman mati bagi koruptor) dimasukkan (ke RUU Tipikor), tapi sekali lagi juga tergantung yang ada di legislatif," kata Jokowi di SMK Negeri 57, Jakarta, Senin, 9 Desember 2019.
Advertisement
Para tokoh pun angkat bicara terkait adanya wacana hukuman mati ini. Termasuk Wakil Presiden atau Wapres Ma'ruf Amin.
Ma'ruf Amin tidak mempermasalahkan terkait rencana penerapan hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, hal tersebut sangat mungkin diterapkan sebab sudah diatur di dalam UU Tipikor.
"Jadi sangat dimungkinkan sesuai UU. Jadi karena undang-undangnya ada mengatur, maka ketika persayaratan itu dipenuhi sangat mungkin dikenakan hukuman mati," ungkap Ma'ruf Amin di Kantornya, Jalan Merdeka Utara, Rabu, 11 Desember 2019.
Berikut ini tanggapan para tokoh seputar wacana hukuman mati bagi koruptor yang disampaikan Presiden Jokowi dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mahfud Md
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)Â Mahfud Md menyatakan setuju atas wacana hukuman mati bagi koruptor. Bagi Mahfud koruptor adalah perusak bangsa.
"Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor. Karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa," kata Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 10 Desember 2019.
Mahfud menegaskan, dalam undang-undang yang sekarang berlaku sudah termuat hukuman mati bagi koruptor. Seperti koruptor yang mengulang perbuatannya atau korupsi dalam jumlah besar, hingga korupsi dana bencana.
"Cuma kriteria bencana itu yang belum dirumuskan. Sebenarnya kalau mau itu diterapkan tidak perlu Undang-Undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," ujar Mahfud Md.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menyebutkan, pemerintah sudah serius dalam upaya pemberantasa korupsi. Hal ini ditandai dengan adanya hukuman mati bagi koruptor yang termuat dalam undang-undang.
Kendati demikian, segala keputusan ada di tangan hakim yang menjalani persidangan tersebut.
"Iya itu tergantung hakim dan jaksa. Kadang kala hakimnya malah mutus bebas, kadangkala hukumannya ringan sekali, kadang kala sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," pungkas Mahfud.
Advertisement
Fahri Hamzah
Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah angkat bicara mengenai rencana Presiden Jokowi membuka peluang menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
Ia menilai, keberadaan Dewan Pengawas KPK lebih diperlukan untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi dibandingkan hukuman mati koruptor.
"Maka cara presiden untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk dan menunjuk Dewan Pengawas KPK dan memastikan bahwa para pengawas itu bekerja untuk meletakkan KPK dalam fungsi yang benar," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.
"Jadi sebaiknya jangan membisikkan sesuatu yang baru pada presiden, sebab yang ada di depan mata saja belum dicoba padahal ini (Dewas) harus dipercepat," tambahnya.
Menurut mantan Wakil Ketua DPR itu, adanya Dewas akan mengoptimalkan fungsi KPK. "Sebab dengan meletakkan KPK di posisi yang benar, kita sudah yakin pemberantasan korupsi yang ada diundang-undang itu cukup untuk mengakselerasi," ujarnya.
Ia meminta para 'pembisik' atau orang kepercayaan Jokowi untuk mengubah rencana pemberantasan korupsi.
"Para pembisik jokowi, harus mulai memberitahukan beliau strategi pemberantasan korupsi ada dalam UU baru. Antara UU Nomor 30 Taun 2002 dengan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK adalah keterlibatan presiden," kata Fahri.
Saut Situmorang
Saut Situmorang mengatakan bahwa hukuman mati dalam tindak pidana korupsi bukanlah barang baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengaku bahkan tak tertarik untuk membahas wacana Presiden Jokowi tersebut.
"Sebenarnya saya enggak terlalu tertarik bahas itu," ujar Saut di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa 10 Desember 2019.
Menurut Saut, hukuman mati dalam tindak pidana korupsi bukanlah barang baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Ya sebenarnya itu kan, apa namanya ya cerita lama ya yang selalu ada di pasal 2. Tapi di pasal 2 itu kan dengan keadaan tertentu, yaitu kerugian negara, perekonomian negara yang sedang chaos," kata Saut.
Saut lebih menginginkan UU Tipikor yang diubah, dibanding mengubah UU KPK. Saut menjelaskan, dalam UU Tipikor korupsi sekecil apapun harus dijerat oleh penegak hukum termasuk KPK.
"Saya malah lebih tertarik bagaimana caranya kalau ada sopir truk menyogok sopir forklift di pelabuhan juga diambil (ditangkap), gitu loh. Loh itu kan bukan kewenangan KPK? ya, iya makanya UU KPK-nya diganti dengan yang lebih baik, terus kemudian UU Tipikor-nya diganti," kata Saut.
Selama ini KPK ditugaskan untuk mengungkap kasus korupsi skala besar dengan kerugian negara yang besar. Padahal, menurut Saut korupsi dimulai dari sesuatu yang kecil.
"Sebenarnya yang mana yang benar, itu korupsi tidak besar kecil, tidak soal bunuh membunuh atau hukuman mati, enggak. Tetapi bagaimana kita bisa membawa setiap orang yang bertanggung jawab besar atau kecil ke depan pengadilan," ujar Saut.
Saut pun meminta publik tak terlalu fokus pada isu hukuman mati untuk koruptor.
‎"Jadi Anda jangan terlalu masuk di retorika itu. Betul yang besar kita kerjakan, ya, kan yang kecil juga kita kerjakan," Saut menandaskan.
Â
Â
Advertisement
Ma’ruf Amin
Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga menyambut baik pernyataan Presiden Jokowi soal hukuman mati bagi para koruptor. Ma’ruf tidak mempermasalahkan rencana penerapan hukuman mati bagi koruptor tersebut.
Senada dengan Jokowi, Ma’ruf menyebut bahwa hal itu sangat mungkin diterapkan sebab telah diatur di dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Jadi sangat dimungkinkan sesuai UU. Jadi karena undang-undangnya ada mengatur, maka ketika persayaratan itu dipenuhi sangat mungkin dikenakan hukuman mati," ungkap Ma'ruf Amin di Kantornya, Jalan Merdeka Utara, Rabu 11 Desember 2019.
Ma’ruf mengatakan hukuman mati diperbolehkan di seluruh negara. Menurut Ma’ruf agama pun juga memperbolehkan hukuman mati.
"Agama juga membolehkan dalam kasus pidana tertentu yang memang sulit untuk diatasi dengan cara-cara lain," ujar Ma'ruf Amin.
Terlepas dari berbagai pro dan kontra penerapan hukuman mati, Ma’ruf menjelaskan jika hukuman mati diperbolehkan bila tak ada lagi hukuman lain yang dapat membuat jera para koruptor. Namun, menurutnya ada syarat-syarat tertentu sebelum hukuman mati diterapkan.
"Syarat yang ketat sebetulnya itu dan memang negara kita juga menganut itu tapi ya memang untuk penjeraan," kata Ma'ruf.
Dia juga berharap wacana itu diterapkan akan membuat jera para koruptor. Sebab kata dia tidak ada hukuman lebih berat dibanding hal itu.
"Asal andaikata dihukum mati saja tidak jera apalagi tidak dihukum mati tambah tidak jera. Logika berpikirnya kan begitu. Jadi hukuman mati itu hukuman yang paling tingi saya kira membuat orang tidak berani," ungkap Ma'ruf Amin.
Puan Maharani
Pendapat berbeda datang dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani. Ia menilai, wacana akan diterapkannya hukuman mati bagi narapidana kasus korupsi melanggar hak asasi manusia.
“Itu kan pertama melanggar HAM," ujar Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 12 Desember 2019.
Puan menyatakan, ada baiknya wacana penerapan hukuman mati bagi koruptor dikaji terlebih dahulu. Menurut Puan, hukuman mati bagi koruptor sudah sudah diatur dalam undang-undang.
Kedua kita juga harus telaah apakah itu perlu dilakukan atau tidak, itu kan sudah ada undang-undangnya," kata dia.
Kepada pemerintah, Puan menyarankan agar mengikuti undang-undang yang sudah ada daripada menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
"Ya kita ikuti sajalah undang-undang tersebut, jangan sampai kita kemudian bergerak terlalu cepat, tapi kemudian melanggar undang-undang," kata politikus PDIP itu.
Â
(Winda Nelfira)
Advertisement