Liputan6.com, Jakarta Albertina Ho menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi atau Dewas KPK. Dia diangkat menjadi Dewan Pengawas KPK bersama empat orang lainnya di Istana Negara, Jumat (20/12/2019).
Selain Albertina, empat anggota Dewan Pengawas KPK adalah Tumpak Hatorangan Panggabean, Artidjo Alkostar, Harjono, dan Syamsuddin Haris. Ketua Dewas Pengawas KPK adalah Tumpak.
Nama Albertina Ho sebelumnya disebut Jokowi masuk dalam bursa Dewan Pengawas KPK. Lantas, siapa sebenarnya sosok Albertina Ho?
Advertisement
Namanya mulai dikenal publik ketika menjadi ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan.
Albertina juga dikenal sebaga sosok gigih, tegas, cermat, dan kukuh di saat tengah berhadapan dengan kasus di balik meja hijau pengadilan. Maka tak heran banyak kalangan yang menyebutnya sebagai "Srikandi Hukum".
Saat masih belia, wanita kelahiran Maluku Tenggara ini harus meninggalkan orangtua serta kampung halamannya. Tak seperti layaknya gadis kecil yang biasa bermanja, perjuangan Albertina sudah dimulai sejak dirinya berumur 5 tahun.
Kampung halamannnya dianggap tak bisa lagi memenuhi pendidikan yang dibutuhkannya sehingga sang nenek mengirimnya ke Ambon, Maluku.
Selama menempuh pendidikan, Albertina harus pula membagi waktunya dengan menjaga warung kelontong di Pasar Ambon milik kerabatnya. Dia pun harus bekerja paruh waktu sebagai pelayan warung kopi demi membiayai pendidikannya.
Berikut mengenal lebih dekat dengan Sang Srikandi Hukum, Albertina Ho yang dipercaya Jokowi sebagai anggota Dewan Pengawas KPK:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pendidikan
Albertina harus hidup di Ambon meninggalkan Dobo, kampung halamannya untuk menempuh pendidikan lebih baik lagi. Wanita kelahiran 1 Januari 1960 ini menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1973.
Usai menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Katolik Bersubsidi Ambon.
Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat mengengah atas, dia harus berpindah dari satu saudara ke saudara satunya lagi. Pada tahun 1979, Albertina menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 2 Ambon.
Setelah beberapa tahun mengenyam pendidikan di Ambon, dia gigih melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi. Tanpa ragu, wanita ini meninggalkan kampung halamannya menuju Pulau Jawa, tepatnya Yogyakarta untuk meneruskan kuliah.
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada menjadi almamaternya pada tahun 1979 hingga lulus pada tahun 1985.
Gelar Magister Hukum pun berhasil raih setelah menjadi hakim pada tahun 2004 dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Advertisement
Karier Hakim
Setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, awalnya Albertina tidak tertarik menjadi seorang hakim. Dia lebih memilih menjadi seorang dosen dengan melamar di Universitas Brawijiaya, Malang.
Nasib kemudian membawanya ke arah yang berbeda. Kesulitan finansial yang merubah pikirannya untuk melamar sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Dia memulai karier baru sebagai calon hakim di tahun 1986. Albertina menunggu dengan sabar selama 4 tahun, hingga akhirnya gelar hakim pun disandangya. Setelah lulus dia bertugas di Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah.
Kesempatan semakin terbuka lebar untuk wanita berambut ikal ini dengan menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Temanggung dan Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah.
Tahun 2005 menjadi masa istimewa bagi Albertina, karena kiprahnya kini mulai menaungi dunia hukum nasional. Prestasinya membawanya ke kursi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (Marianna Sutadi) yang dijabatnya sampai 2008.
Pengadilan rupanya tak bisa lama berpisah dari wanita ini. Tak lama, Albertina ditarik menjadi Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang membawanya pada berbagai kasus yang disorot secara nasional. Salah satu yang paling mencolok adalah kasus Gayus Tambunan.
Pembawaan dan ketegasan sang hakim menjadi bahan pembicaraan berbagai pihak. Tanpa ragu, Albertina mengarahkan sidang langsung ke pokok masalah dengan wibawa, ketegasan dan kharismanya.
Meski ada banyak pihak yang terkait dalam kasus ini, nasional maupun internasional, yang tentunya akan selalu mengancam, wanita asal Maluku ini tak gentar. Dia mengakhiri masalah pelik tersebut dengan menjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Pendirian kuat Albertina juga terlihat ketika menangani kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa Sigid Haryo Wibisono. Kasus ini dinilai cukup sensitif karena melibatkan Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Namun, siapapun oknumnya, siapapun hakim yang berseberangan dengannya, Albertina dengan tegas menyatakan bahwa terdakwa harus dihukum berat karena secara tidak langsung turut merencanakan pembunuhan.
Berbagai kasus semakin mengangkat namanya, termasuk kasus pelecehan Anand Khrisna, dan kasus mafia hukum Cirus Sinaga.
(Rizki Putra Aslendra)