Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan, isu mengenai muslim Uighur, China yang tengah mencuat ditangani oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
"Itu Bu Menlu sudah melakukan langkah-langkah. Kita punya jalan diplomasi lunak sejak dulu. Kita menjadi penengah dan mencari jalan yang baik. Bukan konfrontatif," kata Mahfud di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Baca Juga
Dia menegaskan, muslim di China bukan hanya Uighur. Penganut Islam ada di kota lainnya seperti di Beijing dan sejauh ini aman.
Advertisement
"Kita harus mencoba lebih objektif melihat seluruh persoalan itu," pungkas Mahfud Md.
Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian, mempersilakan masyarakat Indonesia untuk melihat langsung kondisi muslim di Uighur, China. Dia menampik adanya pemberitaan adanya tindakan intimidasi dan aksi kekerasan oleh pemerintahnya.
Duta Besar memastikan wilayah Xinjiang, kawasan yang banyak ditempati muslim Uighur, kondisinya aman.
"Silakan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat muslim Uighur. Persoalan di Xinjiang sama dengan kondisi dunia lain. Ini upaya kami memerangi radikalisme dan terorisme,” ucap Xiao Qian saat bertemu Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, di Kompleks Istana Kepresiden Jakarta, Rabu 18 Desember 2019.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
PKB Kecam Tudingan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengecam tudingan media Barat yang menyebut China telah merayu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), media massa, hingga akademisi Indonesia untuk diam terkait dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) komunitas muslim Uighur. PKB menilai tudingan tersebut tidak berdasar dan menyesatkan.
"Kami menilai pernyataan media barat terkait tudingan jika ormas, akademisi, hingga media massa bisa “dibeli” oleh China agar diam terkait masalah muslim Uighur tendensius dan tidak berdasar,” ujar Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, Cucun Ahmad Sjamsurijal, Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Cucun menuturkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah membantah dengan tegas atas tudingan tersebut. Dalam pernyataannya, PBNU menyatakan tidak bisa didikte siapapun terkait kasus dugaan pelanggaran HAM di Uighur. PBNU juga telah membantah jika ada aliran uang dari China terkait dengan persoalan tersebut.
“Sikap tegas PBNU tersebut menunjukkan jika apa yang dinarasikan oleh media barat tidak benar dan penuh tendensi,” ujarnya.
Menurut Cucun, narasi media barat tersebut tidak terlepas dari kepentingan Amerika Serikat yang saat ini terlibat perang dagang dengan China. Bahkan saat ini House of Representatif United States atau DPR Amerika Serikat telah meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Uighur.
Salah satu poin RUU tersebut adalah pemberlakuan sanksi kepada pejabat senior China terkait dugaan pelanggaran HAM kaum muslim Uighur.
“Kita tidak bisa melihat kasus ini secara parsial. Bahwa ada kepentingan barat terkait isu Uighur itu jelas. Maka kita harus mengkaji secara komprehensif kasus Uighur sehingga bisa mengambil posisi yang tepat,” katanya.
Advertisement
Muhammadiyah Akan Tuntut
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah resmi menuntut media dan reporter Wall Street Journal (WSJ) atas tulisannya terkait Uighur. Apabila tak ada iktikad baik untuk klarifikasi, maka media bisnis asal Amerika Serikat itu berpotensi dibawa ke meja hijau.
Dalam artikel berjudul How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps, ormas Islam seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah dianggap berhasil dibungkam oleh pemerintah China usai diajak berkunjung ke Xinjiang.
"Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak agar Wall Street Journal meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya," jelas Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti pada konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Artikel di WSJ menyebut pejabat senior Muhammadiyah telah berubah sikap setelah ikut tur ke Xinjiang pada Februari lalu. WSJ mengutip pernyataan pejabat Muhammadiyah yang berkata kamp Xinjiang memiliki kondisi "excellent" dan bukan penjara. WSJ tak menyebut siapa pejabat itu.
Salah satu tokoh yang ikut ke Xinjiang adalah Muhyiddin Junaidi, Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah. Ia berkata melihat banyak hal mencurigakan saat ia ikut mengecek kondisi Uighur seperti tulisan penunjuk kiblat di hotel yang tampaknya baru saja dipasang dan delegasi yang datang juga diawasi ketat.
"Di jalanan (Xinjiang) tidak ada orang menggunakan jilbab. Tidak ada, karena itu namanya radikal tidak boleh," ujar Muhyiddin Junaidi.
"Kami jarang menemukan ada restoran itu halal. Tidak ada. Karena Halal itu bahasa agama. Agama tak boleh berada di ruang umum," lanjutnya.
Muhyiddin menyebut konstitusi China memang dasarnya anti setiap agama. Kamp Xinjiang pun dianggap bukan deradikalisasi, melainkan de-agamisasi.
Muhammadiyah pun membantah sikapnya berubah terkait Uighur. Selama ini mereka mengaku tak ingin membuat pro dan kontra terkait kasus ini sehingga memilih menyampaikan dahulu ke pemerintah lewat Kementerian Luar Negeri.
Sementara, Bendahara Umum PP Muhammadiyah Suyatno berkata akan menunggu iktikad baik dari Wall Street Journal. Bila tidak, pihaknya siap mengambil langkah hukum ke Wall Street Journal dan Amerika Serikat.
"Nanti setelah dia enggak ada respons, kita akan tunggu dulu, kita minta tuntut salah satunya kepada Journal dan pemerintah Amerika," ujarnya.
Meski siap melaporkan Wall Street Journal, Muhammadiyah menegaskan tak akan langsung membawa kasus ini ke meja hukum. Muhyiddin masih berprasangka baik bahwa niat reporter WSJ itu positif, yakni mengekspos HAM Uighur.
"Kami minta klarifikasi dari wartawan tersebut dari mana sumbernya agar beliau menjelaskan, karena tanpa memberikan sumbernya itu namanya provokasi dan tuduhan. Jangan-jangan dengan adanya berita itu maka kita mengadakan preskon, masalah Uighur terangkat kembali," jelasnya.