Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menekankan bahwa kebebasan beragama di Indonesia seharusnya bukan hanya ditunjukkan dengan kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP). Jauh lebih penting, kata dia, kebebasan beragama diterjemahkan dalam kebebasan melakukan praktik keagamaan.
"Jadi kalau seseorang menganut agama itu cukup, tapi kebebasan lainnya seperti kebebasan berekspresi, kebebasan menjalankan keyakinannya, termasuk membangun rumah ibadah menjadi persoalan," kata pria yang akrab disapa Ciko ini dalam sebuah diskusi di Kantor Setara Institute, Jakarta, Sabtu (21/12/2019).
Baca Juga
Ciko melihat, pemerintah cenderung abai terhadap kebebasan lainnya, termasuk kebebasan dalam menjalankan ibadah umat minoritas.
Advertisement
"(Pemerintah) Cenderung mengakomodir tuntutan dari kelompok yang besar. Padahal negara seharusnya berdiri di atas semua golongan, bersikap adil pada semua," tuturnya.
Masalah lainnya juga adalah kemalasan negara untuk menggali solusi yang mengakomodir semua golongan. "Negara gagal menjalankan fungsinya sebagai mediator dan fasilitator," ungkap Ciko.
Â
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Kasus di Dharmasraya
Komentar Ciko ditunjukkan atas tindakan intoleransi yang terjadi di Kabupaten Dharmasraya. Di mana Pemerintahan Kabupaten Dharmasraya dituding bertindak intoleran kerena melarang umat Nasrani melakukan perayaan Natal di wilayah administratifnya.
Menurut Manajer Program Pusaka Foundation Padang, Sudarto, pelarangan tersebut terjadi di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya. Sudarto menyesalkan pembangunan opini yang dilakukan oleh Pemda setempat yang merasa tidak melakukan pelarangan ibadah.
"Utamanya melalui pernyataan-pernyataan Kabag Humas Kabupaten Dharmasraya. Sementara substansi pemenuhan atas hak melaksanakan ibadah dan perayaan Natal bersama-sama bagi umat Katolik di sana tetap tidak terpenuhi," kata Sudarto dalam diskusi yang sama.
Sudarto menerangkan bahwa pelarangan tersebut telah terjadi sejak 22 Desember 2017 yang merupakan imbas dari dikeluarkan Surat Wali Nagari Sikabau bernomor 145/1553/Pem-2017. Surat tersebut ditunjukkan kepada Ketua Stasi Santa Anastasia, Maradu Lubis yang isinya tidak mengizinkan kegiatan perayaan Natal 2017 dan perayaan Tahun Baru 2018 di sana.
Saat itu, kata Sudarto, pihak Maradu mengajukan surat izin ibadah kepada Pemda setempat. Namun surat langsung dijawab oleh Wali Nagari Sikabau.
"Yang isinya menyatakan berdasarkan rapat pemerintahan Nagari Sikabau, Ninik Mamak, Tokoh Masyarakat, BAMUS, dan pemuda Sikabau tidak mengizinkan kegiatan dimaksud dilaksanakan," jelas dia.
Akhirnya, kata Sudiarto, pihak Maradu mengadu kepada Komnas HAM. Komnas HAM sempat mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Dharmasraya untuk mengizinkan perayaan ibadah tersebut. Namun sampai saat ini tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat.
Pihak Pemda hanya memberikan solusi yang bersifat parsial. Yakni dengan meminta mereka beribadah di Sawahlunto yang jaraknya puluhan kilometer.
"Pemerintah Kabupaten Dharmasraya akan menyediakan kendaraan bagi mereka. Tapi masalahnya dalam pelaksanaannya kendaraan tersebut kerap kali tidak ada. Waktu awal-awal saja," katanya.
Pihak Maradu tidak patah arang, dia kembali mengirimkan surat kepada Pemerintah Kabupaten Dharmasraya pada Desember 2019 ini. Namun dibalas dengan pernyataan keberatan oleh Pemda Dharmasraya.
Sudarto menuding Pemerintah Kabupaten Dharmasraya menggunakan politik ala Orde Baru. Di mana tindakan maupun pembiaran intoleransi dilakukan dengan dalih menjaga ketertiban masyarakat. Istilah ini dikenal dengan politik Kerukunan atau Harmonizing Politics.
Politik kerukunan ini, kata dia, direkayasa untuk menyenangkan kubu mayoritas. Dan membuat kelompok kecil mengalah agar kubu mayoritas tidak ribut.
Pusaka Foundation Padang, kata Sudarto, dalam hal ini meminta pemerintah memberikan solusi dengan tidak bertindak intoleran. Terlebih lagi perayaan Natal 2019 tinggal menghitung hari.
Advertisement