Liputan6.com, Jakarta - Guyuran hujan turun di Ibu Kota saat malam pergantian tahun baru 2020. Situasi ini tak menyurutkan warga berpesta, merayakan dan menyambut tahun baru.
Namun, suka cita dan pesta malam pergantian tahun berubah petaka pada 1 Januari 2020 pagi. Sebagian wilayah Jakarta terendam banjir. Sejumlah sungai yang melintas di permukiman penduduk meluap.
Beberapa ruas jalan Jakarta tergenang. Sebagian jalan lumpuh, tak bisa dilalui. Banjir tak hanya menerjang Ibu Kota, sejumlah daerah penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang juga terdampak.
Advertisement
Di Tangerang dan Bekasi misalnya, mobil hanyut terbawa derasnya arus banjir. Ratusan ribu warga terpaksa mengungsi, rumah mereka terendam banjir.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyebut bahwa banjir pada 1 Januari 2020 disebabkan curah hujan yang tinggi. Selain itu, air kiriman dari Bogor juga memperparah banjir di Jakarta.
Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Nirwono. Ia menyebut, seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa meminimalisir dampak dari hujan lebat dan air kiriman sehingga banjir tidak meluas.
"Banjir kemarin membuktikan Pemda DKI tidak banyak melakukan antisipasi banjir," kata Nirwono Joga kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (3/1/2020).
Baca Juga
Menurut Nirwono, Pemprov DKI Jakarta belum maksimal dalam menjalankan program pencegahan banjir. Ia melihat, revitalisasi danau, waduk, situ, dan embung berjalan lambat. Hasilnya, sistem drainase di Ibu Kota dan sekitarnya tidak berfungsi maksimal.
"Penambahan RTH baru pun tidak signifikan yang membuat daerah resapan air tidak bertambah banyak pula. Banjir terbukti melanda Jakarta di awal tahun baru ini," ucap Nirwono.
Nirwono berpendapat, pembenahan program pencegahan banjir perlu dilakukan. Pekerjaan ini bukan hanya dibebankan ke Pemprov DKI Jakarta saja, melainkan juga pemerintah pusat serta kementerian terkait.
Ia pun menyesalkan ada ketidaksepahaman antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat tentang program pencegahan banjir.
"Program penataan bantaran kali masih terhenti akibat ketidaksepakatan atau perbedaan konsep penanganan normalisasi atau naturalisasi, serta pembebasan lahan di bantaran kali yang tidak berlanjut," tutur Nirwono.
Ia pun meminta, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat untuk segera malakukan langkah-langkah strategis untuk bisa mengatasi masalah banjir ini.
Untuk jangka pendeknya, Pemprov DKI Jakarta diharapkan, mampu menyiapkan sarana dan prasarana bagi warga yang terdampak banjir.
"Pastikan tempat-tempat evakuasi di sekolah, kantor pemerintah, rumah ibadah dapat dioptimalkan untuk beberapa hari ke depan," ucap Nirwono.
Kedua, menurut Nirwono, Pemprov DKI sebaiknya langsung memetakan permukiman yang terdampak banjir, khususnya yang berada di bantaran kali. Sehingga bisa menyusun rencana relokasi warga.
Nirwon menuturkan, untuk jangka menengahnya Pemprov DKI Jakarta harus menata 13 bantara sungai atau kali, revitalisasi 109 situ, danau, embung, waduk yang ada di Jakarta.
"Baik dengan normalisasi atau naturalisasi atau perpaduan keduanya," kata Nirwono.
Selanjutnya, merehabilitasi saluran air secara bertahap bersamaan dengan revitalisasi trotoar yang sedang dilakukan Dinas Bina Marga. Tak hanya itu, Nirwono juga mengingatkan agar Pemprov DKI Jakarta tidak lupa menambah ruang terbuka hijau (RTH).
Sebab, menurut dia, RTH di Jakarta masih sekira 9,98 persen. Jauh dari target daerah resapan air, sebesar 30 persen.
"Sehingga curah hujan tinggi dapat tertampung dengan baik dan mengantisipasi banjir kalau drainase DKI tidak berfungsi," terang dia.
Sementara, pengamat tata kota lainnya, Yayat Supriatna berpendapat, banjir di Jakarta kali ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah sistem drainase yang sudah ketinggalan dan tidak bisa mengantisipasi pola hujan yang saat ini terjadi.
"Drainase kita sebagian besar dibuat saat masa kolonial, kondisinya tidak sesuai dengan kebutuhan. Karena pola hujan saat ini berubah, karena dipengaruhi faktor global," ucap Yayat kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2020).
Kedua, menurut Yayat, adalah faktor lingkungan yang setiap tahunnya berubah. Apalagi, RTH di Jakarta yang kian menipis. "Perlu dicermati mengapa ruang terbuka makin hilang, serapan makin berkurang. Itu juga menjadi PR besar kita," tambah Yayat.
Faktor yang ketiga adalah kebiasaan buruk warga Jakarta, yakni membuang sampah sembarangan. "Keempat, faktor membangun rumah tanpa didukung kelengkapan infrastruktur drainase yang bagus. Kemudian membangun rumah di bantaran sungai yang berbahaya. Jadi banyak tindakan tindakan kita yang justru mengundang bencana makin lama makin besar. Jadi bencana itu faktor manusia sangat besar pengaruhnya," terang Yayat.
Yayat juga menyebut, Jakarta terlambat dalam memperbaiki dan meningkatkan sistem penanganan banjir. Pembenahan sistem drainase, baru sibuk dibahas ketika banjir mengepung Ibu Kota.
Apalagi, kata Yayat, terjadi silang pendapat antara Pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. Hal ini justru semakin menghambat pembenahan sistem penanggulangan banjir.
Ia pun menyoroti konsep naturalisasi yang diusung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menangani banjir. Yayat sanksi dengan konsep ini, sebab belum pernah diuji coba.
"Bagaimana efektifnya?" tanya Yayat.
Sedangkan konsep normalisasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menormalisasi sungai, bisa mengurangi dampak banjir. Contohnya, kata Yayat, bisa dilihat di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur.Â
"Tapi ujung dari dua proyek ini, khususnya naturalisasi, itu sama. Yaitu pembebasan lahan," ucap Yayat.
Yayat tak sepakat dengan anggapan bahwa pembenahan di sektor hulu lebih efektif mengatasi banjir di Jakarta. Ia berpendapat bahwa penyelesaian masalah banjir harus paralel, baik di hulu maupun di hilir. Karena itu, Yayat berharap, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat bisa saling bersinergi menuntaskan masalah banjir.
"Harus dilakukan bersama-sama. Sekarang yang di hulu sedang dikerjakan, diperkirakan 2020 akan selesai. Jadi kalau misalnya mana yang dahulu mana yang belakangan, dua-duanya harus bersinergi. Di hulu dijalankan, di hilir dijalankan. Jadi tidak saling menunggu," tegas Yayat.
Menurutnya, konsep normalisasi sudah cukup baik, namun perlu disempurnakan. Salah satu caranya dengan memberdayakan warga yang sudah direlokasi dari bantaran sungai dan daerah resapan air.
"Salah satunya upaya relokasi penduduk ini harus diiringi upaya pemberdayaan ekonomi. Mereka yang pindah dari bantaran sungai, pindah dari daerah resapan air mampu mandiri untuk membayar rumah susun," tutur Yayat.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Silang Pendapat
Presiden Jokowi turut merespons banjir yang menerjang Ibu Kota pada Rabu 1 Januari 2020. Ia bahkan sempat turun ke lapangan, mengecek sarana dan pra saranan pengendalian banjir.
Pada Jumat (3/1/2020) pagi, Jokowi meninjau Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Ia ingin memastikan semua alat penanganan banjir yang ada di waduk tersebut berfungsi secara optimal.
"Presiden tentunya ingin memastikan Waduk Pluit yang berfungsi sebagai tampungan sementara (polder) yang masuk dari Kali Cideng (termasuk Kali Pakin dan Kali Jelangkeng), anak Kali Ciliwung (Kali Besar) dan saluran drainase sekitarnya dapat beroperasi dengan normal," kata Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Jumat (3/1/2020).
Dia menjelaskan, Waduk Pluit memiliki pompa yang berfungsi mengalirkan langsung air dari waduk ke laut. Pompa ini bisa digunakan saat terjadi banjir dan pasang air laut (rob).
Dia melanjutkan, Waduk Pluit sudah dilengkapi dengan 3 rumah pompa berkapasitas total 49 m3/detik.
"Daerah yang dilayani Waduk Pluit seluas 2.080 hektare, termasuk di dalamnya pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Monas, Pasar Baru, Mangga Dua, Duri, Kota, dll). Waduk Pluit menjadi bagian sistem tata air pada kawasan sekitar Istana," ucap Basuki.
Jokowi juga turut memberikan tanggapan soal banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Ia mengatakan bahwa banjir pada awal tahun ini paling parah terjadi di empat Daerah Aliran Sungai (DAS) di DKI Jakarta. Adapun empat DAS itu yakni, Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai Cakung, dan Sungai Sunter.
"Pembangunan prasarana pengendalian banjir pada keempat sungai terkendala sejak tahun 2017 karena masalah pembebasan lahan," kata Jokowi dikutip di akun instagram pribadinya @jokowi, Kamis 2Â Januari 2020.
Jokowi menjelaskan program pengendalian Banjir Sungai Ciliwung sudah berjalan sepanjang 16 kilometer dari rencana keseluruhan 33 kilometer.
Sementara itu, kata dia, pada wilayah hulu kini tengah dilaksanakan pembangunan Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Pembebasan tanah di dua bendungan itu sudah lebih dari 90 persen dan perkembangan pembangunan fisik mendekati 45 persen.
"Kedua bendungan tersebut direncanakan selesai pada akhir 2020," ucap Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menuturkan bahwa percepatan pelaksanaan Sudetan Sungai Ciliwung dari Sungai Ciliwung ke Sungai Cipinang, sedang berlanjut.
Warga setempat telah menyetujui pemanfaatan lahan untuk kelanjutan pembangunan sudetan sepanjang 600 meter dari keseluruhan 1200 meter.
Banjir yang menerkang Jakarta dan sekitarnya ini dikarenakan intensitas hujan yang tinggi sejak Rabu 1 Januari 2020. Jokowi telah menginstruksikan agar pemerintah pusat dan provinsi terus bekerja sama dalam menanggulangi banjir tersebut.
"Untuk penanganan darurat bersama pihak terkait, telah difungsikan pompa, karung pasir, bronjong dan tanki air agar kawasan dan prasarana publik terdampak dapat segera berfungsi kembali," jelas Jokowi.
Namun, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, faktor penyebab banjir bukan sekadar soal normalisasi sungai. Menurut dia, faktanya seperti terjadi di wilayah Kampung Pulo yang masih terdampak banjir hebat kemarin.
"Di sini (wilayah Kampung Pulo) memang sudah dilakukan normalisasi dan faktanya masih tetap terjadi banjir, karena itu memang dalam jangka panjang kita harus melihat penyelesaiannya secara lebih komprehensif," kata Anies usai meninjau Kampung Pulo Jakarta, Kamis 2 Januari 2020.
Anies berpandangan, demi mengantisipasi banjir wajib memiliki pengendalian air di kawasan hulu dengan membangun dam, waduk, dan embung. Sehingga ada kolam retensi untuk mengontrol dan mengendalikan volume air yang bergerak ke arah hilir.
"Jadi dengan cara seperti itu Insya Allah (banjir teratasi), tapi itu semua kan kewenangannya di pusat ya, jadi kita lihat nanti pemerintah pusat," jawab Anies.
Kendati untuk saat ini, Anies menegaskan fokus di pihak Pemerintah Provinsi Jakarta adalah untuk memastikan keselamat warga ibu kota yang terdampak banjir lebih dulu.
"Fokus kami memastikan keselamatan warga, bahwa pelayanan terjamin dan bagi semua warga yang terdampak kita akan bantu sebisa mungkin," Anies menandasi.Â
Advertisement
Curah Hujan Ekstrem
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut, hujan yang telah memicu banjir besar pada awal 2020 seperti terjadi pada tahun sebelumnya. Banjir besar juga pernah terjadi pada 2015 dan 2007. Namun curah hujan kali ini, disebutnya sebagai kondisi yang paling ekstrem.
"Curah hujan ekstrem awal 2020 ini merupakan salah satu kejadian hujan paling ekstrim selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya (berdasarkan batasan persentil 99% dan 99.9%). Curah Hujan ekstrem tertinggi selama ada pencatatan hujan sejak 1866," ujar Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal kepada wartawan, Jumat (3/1/2020).
Curah hujan ekstrem tertinggi juga terkonsentrasi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma: 377 mm/hari, di TMII: 335 mm/hari.
"Selain itu Kembangan: 265 mm/hari; Pulo Gadung: 260 mm/hari, Jatiasih: 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang: 226 mm/hari," ujar dia.
Sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas daripada kejadian banjir–banjir sebelumnya, termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015. Curah hujan 377 mm/hari di Halim PK merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 pada zaman kolonial Belanda.
Kejadian banjir dan curah hujan ekstrem tidak hanya terjadi di DKI Jakarta. Beberapa wilayah di Bekasi, Kota/Kab. Bogor serta Kabupaten Lebak (Jawa Barat) juga terdampak banjir bandang.
"Pantauan radar cuaca menunjukkan awan potensi hujan cukup tebal terjadi di sebagian wilayah Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta," ujar dia.
Dia menjelaskan, analisis meteorologis pada 1 Januari 2020 pagi hari menunjukkan curah hujan tinggi tidak biasanya tersebut dipengaruhi oleh penguatan aliran monsun Asia dan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara/pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ), tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara.
ITCZ memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.
Herizal juga menyebutkan, penyebab banjir di Jakarta sejatinya bukan hanya masalah curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis.
Terdapat faktor lain yang menyebabkan banjir. Seperti, lanjut dia, besarnya limpahan air dari daerah hulu, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir, permasalahan menyempit dan mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan penuhnya sampah.
"(Dan) rendaman rob akibat permukaan laut pasang serta faktor penurunan tanah (ground subsidence) yg meningkatkan risiko genangan air, akan tetapi curah hujan ekstrem paling dominan sebagai penyebab banjir di Jakarta," dia melanjutkan.
43 Korban Jiwa
Memasuki hari ketiga bencana banjir karena hujan yang mengguyur DKI Jakarta dan sekitarnya dalam durasi panjang sejak malam pergantian tahun 2020 sudah mulai surut pada Jumat sore (3/1/2020). Akibat banjir ini, 43 orang dilaporkan meninggal dunia dan 187.248 orang mengungsi.
3 orang meninggal dunia karena hipotermia. Dua orang berasal dari Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur dan satu korban lainnya berasal dari Kemayoran, Jakarta Pusat.
Dari data tersebut juga diketahui 5 korban banjir meninggal karena tersengat listrik di Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan.
Sedangkan, sebanyak 12 orang meninggal karena tertimbun tanah longsor di Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Lebak, dan Kota Depok.
Terseret arus banjir menjadi penyebab utama yang menyebabkan banyaknya korban meninggal. Sebanyak 17 orang meninggal karena terseret arus banjir di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kabupaten Lebak. Terakhir, 5 orang korban jiwa masih dalam pendataan. Kelima korban berasal dari Kabupaten Bogor.
Selain itu, terdapat sejumlah titik pengungsian di DKI Jakarta seperti dipublikasikan oleh Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) pada akun twitter @BNPB_Indonesia hingga pukul 14.30 WIB, Jumat (3/1/2020).
Berdasarkan data BNPB tersebut di wilayah Jakarta Pusat terdapat 2 titik banjir dan terdapat sebanyak 2.703 orang warga yang mengungsi.
Sama halnya dengan Jakarta Pusat, di wilayah Jakarta Utara juga terdapat 2 titik banjir dengan jumlah pengungsi sebanyak 908 orang.
Sementara itu, di wilayah Jakarta Barat terdapat 7 titik banjir dengan jumlah pengungsi mencapai 1.103 orang.
Untuk Jakarta Timur, titik banjir mencapai angka 13 titik banjir dengan terdapat sebanyak 9.122 orang yang mengungsi.
Terakhir, di wilayah Jakarta Selatan terdapat sebanyak 39 titik banjir dengan jumlah pengungsi terbanyak yaitu 8.104 orang.
Selain itu, korban banjir yang mengungsi memerlukan sejumlah kebutuhan mendesak seperti terpal, selimut, pakaian dewasa dan anak-anak, obat-obatan, makanan, minuman, kebutuhan akan air bersih dan juga MCK.
Advertisement