Sukses

Memburu Harun Masiku, Penyuap Komisioner KPU

KPK pun mengultimatum calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP Harun Masiku untuk menyerahkan diri ke lembaga antirasuah.

Liputan6.com, Jakarta - Politisi PDIP Harun Masiku kini menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Harun ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

KPK pun mengultimatum calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP Harun Masiku untuk menyerahkan diri ke lembaga antirasuah.

"KPK meminta tersangka HAR segera menyerahkan diri," ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020) malam.

Tak hanya kepada Harun, Lili juga berharap kepada pihak lainnya untuk tak mencoba menghalangi proses penegakan hukum yang dilakukan tim lembaga antirasuah.

"Dan kepada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap koperatif," kata Lili.

Tak hanya Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, KPK juga menetapkan 2 tersangka lainnya dalam kasus tersebut.

Mereka adalah Agustiani Tio Fridelina mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu, Saeful sebagai swasta.

Agar tak kabur jauh, KPK juga berencana mencekal Harun Masiku pelesiran ke luar negeri.

"Sejauh ini belum. Namun, sesuai kewenangan KPK di Undang-Undang akan segera dilakukan (pencekalan)," tutur Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Sabtu (11/1/2020).

Ali mengimbau Harun Masiku untuk menyerahkan diri ke KPK. Termasuk kooperatif dalam pemeriksaan penyidik.

"Sampai hari ini KPK masih terus mencari tersangka HAR," jelas dia.

Awal Mula Kasus

Perkara ini berawal dari proses Pileg 2019. Sebelum pileg digelar, caleg PDIP Dapil Sumsel 1 bernama Nazaruddin Kiemas meninggal dunia sebelum pencoblosan. Adik ipar mantan presiden kelima Megawati Soekarnoputri itu meninggal dunia di Jakarta pada Selasa 26 Maret 2019.

Meski demikian, nama anggota DPR Komisi VII dari Fraksi PDI Perjuangan yang juga menjabat Ketua Umum Banteng Muda Indonesia itu tak bisa lagi diganti lantaran namanya sudah ada di daftar caleg tetap PDIP pada Pemilu 2019. Dan, dari hasil rekapitulasi KPU, nama Nazaruddin memperoleh suara terbanyak di dapilnya.

Konsekuensinya, dia tetap menjadi caleg terpilih namun harus dicarikan penggantinya untuk duduk di DPR. Istilahnya, harus ada pergantian antar-waktu (PAW). PAW anggota legislatif (DPR/DPRD/DPD) adalah hal yang lazim. Seorang anggota dewan bisa diganti dengan pelbagai alasan di awal atau tengah masa jabatannya.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2010 menyebutkan, PAW DPR adalah proses penggantian anggota DPR yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh calon pengganti Antarwaktu dari Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dari parpol dan daerah pemilihan yang sama.

Diatur pula PAW anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan mekanisme serupa. Seluruh pengganti diambil dari DCT pemilu terdahulu yang masih memenuhi persyaratan calon berdasarkan verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menindaklanjuti PAW untuk Nazaruddin Kiemas, DPP PDIP memerintahkan DON mengajukan permohonan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019. DON diduga merujuk pada sosok Doni, seorang pengacara yang juga caleg PDIP.

"Awal Juli 2019 salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan DON mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya Caleg Terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019," ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020) malam.

Permohonan tersebut kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. Pada putusannya, MA menetapkan partai adalah penentu suara dalam penggantian antar-waktu (PAW).

PDIP lalu mengirim surat ke KPU guna menetapkan Harun Masiku (HAR) sebagai pengganti Nazarudin Kiemas. Harun merupakan caleg PDIP Dapil I Sumatera Selatan dengan nomor urut 6 yang meliputi Kota Palembang, Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, dan Kota Lubuklinggau.

Tapi, dalam rapat pleno 31 Agustus 2019, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti mendiang Nazarudin Kiemas. Riezky Aprilia sendiri dalam Pemilu 2019 mendapat perolehan suara sebesar 44.420 atau kedua terbesar setelah Nazarudin.

Namun, putusan KPU tak mematahkan semangat Harun Masiku. Untuk mendorong yang bersangkutan menjadi PAW, Saeful Bahri (SAE) yang diduga staf khusus di DPP PDIP menghubungi orang kepercayaannya yang juga mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina (ATF) guna melakukan lobi.

Agustiani pun menjalin komunikasi dengan Wahyu Setiawan. Wahyu dinilai menyanggupi permintaan tersebut dengan memberi jawaban, "Siap, mainkan!" Konon, sang Komisioner KPU meminta dana operasional Rp 900 juta.

"Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian," ujar Lili.

Pemberian dana tersebut terjadi pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Pada pemberian pertama, salah satu sumber dana memberikan Rp 400 juta untuk Wahyu melalui Agustiani, Doni dan Saeful. Kemudian Wahyu disebutkan menerima uang lagi dari Agustiani sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Lalu, pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saeful sebesar Rp 850 juta lewat salah seorang staf di DPP PDIP. Saeful memberikan uang Rp 150 juta kepada Doni. Kemudian, sisanya Rp 700 juta yang masih di Saeful dibagi jadi Rp 450 juta pada Agustiani, di mana Rp 250 juta untuk operasional.

"Dari Rp 450 juta yang diteria ATF, sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk WSE, Komisioner KPU. Uang masih disimpan oleh ATF," kata Lili.

Tapi, pada 7 Januari 2020, Rapat Pleno KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.

"Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, WSE kemudian menghubungi DON menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar HAR menjadi PAW," ujar Lili.

Selanjutnya, pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya di ATF. Pada saat itulah, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan.

 

 

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Siapa Harun Masiku?

Awalnya, Harun Masiku merupakan anggota Partai Demokrat. Bahkan pada tahun 2009, ia menjadi Tim Sukses Pemenangan Pemilu dan Pilpres Partai Demokrat di Sulawesi Tengah untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono.

Harun pernah menjadi Tenaga Ahli Komisi III DPR pada 2011. Ia juga aktif sebagai Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia.

Lalu pada 2014, dia menjajal peruntungannya menjadi caleg dari Partai Demokrat daerah pemilihan Sulawesi Selatan III.

Namun, pada 2019, dia memilih berpindah ke PDIP untuk kembali mengikuti Pileg. Meski namanya tak lolos ke Senayan, tapi PDIP mengusulkan ke KPU agar Harun Masiku diloloskan ke parlemen untuk menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.

Padahal berdasarkan hasil pemilu, perolehan suara PDI Perjuangan untuk Dapil Sumatera Selatan I, peringkat kedua di bawah perolehan suara Nazarudin adalah Riezky Aprilia dengan perolehan 44.402 suara. Kemudian diiikuti dengan Darmadi Djufri yang memperoleh 26.103 suara.

Peringkat keempat ditempat Doddy Julianto Siahaan dengan 19.776 suara dan peringkat lima ditempati Diah Okta Sari yang meraih 13.310 suara. Harun Masiku sejatinya berada di peringkat enam dengan perolehan 5.878 suara.

Inilah yang membuat Harun Masiku harus berurusan dengan KPK.

Harun Masiku lahir di Jakarta pada 21 Maret 1971. Ia kemudian dibesarkan di Bone, Sulawesi Selatan.

Dia kemudian berkuliah di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar pada 1989 hingga 1994. Kemudian ia bekerja sebagai pengacara di Dimhart and Association Law Firm, Jakarta hingga 1995.

Kemudian dia juga menjadi pengacara korporat di PT Indosat, Tbk hingga 1998. Harun pernah mendapat British Chevening Award dan melanjutkan studi S2 mengenai Hukum Ekonomi Internasional di University of Warwick, Inggris.

Hingga saat ini, ia masih tercatat sebagai Senior Partner Johannes Masiku & Associates Law Offices sejak 2003. Ia juga tercatat di sejumlah organisasi, seperti GMKI Sumatera Selatan pada 1989 sampai 1994 dan anggota Perhimpunan Advokat Indonesia.

 

Â