Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, masih enggan membeberkan data para ASN yang terpapar radikalisme. Menurut dia, semuanya harus ditelaah terlebih dahulu, sebelum dibuka ke publik.
"Tidak bisa kami ekspose. Harus ditelaah terlebih dahulu," kata Tjahjo di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (28/1/2020).
Dia juga mengatakan, belum bisa membeberkan berapa jumlah ASN yang terpapar radikalisme. "Saya belum bisa mengatakan. Karena awalnya kami belum tahu berapa jumlahnya," pungkas dia.
Advertisement
Sebelumnya, 11 kementerian dan badan menandatangani SKB penanganan ASN di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa 12 November 2019.
Menteri yang terlibat dalam SKB ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
Selain itu ada pula Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, dan Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.
Pemerintah menyediakan portal aduan ASN bagi melanggar beberapa hal. Mulai dari larangan ujaran kebencian terhadap pemerintah, Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, larangan menyebarkan ujian kebencian dan SARA, menyebarkan berita menyesatkan dan sebagainya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Respons Komisioner ASN
Sebelumnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara (ASN) menuai pro dan kontra. Baik demi terkait menjaga ASN dari ideologi berseberangan dengan Pancasila, hingga kekhawatiran penyalahgunaan wewenang.
Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Arie Budhiman menyampaikan, pihaknya menjadi bagian dari SKB 11 Menteri yang merupakan hasil pemikiran bersama.
"KASN menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aduan yang masuk. Lagi-lagi kenapa kita masuk SKB, bukan mencederai independensi, tapi sebagai buah pemikiran bersama. Percayalah, kita harus memberikan kesempatan. Kita lihat bagaimana tokoh-tokoh memberikan saran-saran yang konstruktif," tutur Arie di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 November 2019.
Menurut dia, ada empat perspektif dari lahirnya SKB 11 Menteri ini. Pertama adalah tentang platform ASN, yakni prinsip dasar ASN. Hal itu diatur sesuai undang-undang terkait nilai dasar, kode etik, dan perilaku.
"Yang teratas itu memegang teguh ideologi Pancasila. Jadi ini final. Sehingga ASN harus loyal, punya komitmen tinggi memegang kode etik ini," jelas dia.
Yang kedua adalah perspektif cara pandang preventif atau pencegahan. Latar belakang pencegahan itu haruslah bukan hal yang menjadikan reaksi berlebihan, melainkan sebagai bentuk kepedulian.
"Mari kita lihat eskalasi pertumbuhan radikalisme. Setara Institute sudah melakukan riset, ada hasilnya, meski kadarnya tadi dibilang debatable. Kalau kita lihat, setiap hari kita diserbu tsunami informasi radikalisme, di genggaman setiap ASN itu selalu ada. Mungkin bahkan ratusan ribu pesan-pesan. Kita menghadapi multiadsense, secara preventif memang harus dicegah," kata Arie.
Ketiga, lanjutnya, KASN sesuai fungsinya berusaha melindungi 4,2 juta ASN di seluruh Indonesia. Dengan rentang skala yang luas itu, maka diperlukan instrumen pembantu perlindungan ASN dari paham radikalisme.
Dan yang keempat, KASN sebagai penjaga netralitas pemerintah dalam menghadapi problem yang berkaitan dengan ASN.
"Jadi SMB ini cara pandang rumah tangga kami itu menjadi instrumen preventif mitigasi ideologi radikal dan juga merupakan respon pemerintah yang ingin menjaga ASN ini. Maka kita sampaikan tadi, ASN harus profesional. Lakukan pelayanan publik yang tidak hanya baik, tapi harus berintegritas," ujar Arie.
Â
Advertisement