Sukses

Meninjau Wacana Ekspor Ganja dari Sudut Medis

Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum teredukasi secara komprehensif tentang tanaman ganja.

Liputan6.com, Jakarta Wacana menjadikan ganja sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi kembali mencuat. Usulan itu sempat disampaikan anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Rafli dalam rapat dengar pendapat di DPR, kendati akhirnya dicabut setelah menimbulkan pro kontra di masyarakat.

Dalam usulannya, Ia meminta ganja dijadikan sebagai komoditas ekspor karena menurutnya terdapat nilai medis yang tinggi di dalam tanaman bernama ilmiah Cannabis sativa itu.

Guru Besar di bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati mengkritisi wacana tersebut. Menurut dia, ganja memang merupakan tanaman yang mengandung komponen yang itu mempunyai sifat analgesik yang menghilangkan rasa sakit.

"Tapi di sisi lain dia (ganja) juga sering mengakibatkan euforia. Menyebabkan rasa senang dan efek lain yang itu sering disalahgunakan," kata Zullies kepada Liputan6.com, Senin (5/2/2020).

Ia tidak menampik bahwa terdapat potensi medis dalam tanaman khas tanah rencong itu. Seperti halnya Morphin yang disintesis dari tanaman candu, ganja juga bisa disintesiskan menajdi obat.

"Ganja itu hampir sama history-nya kaya Morphin itu. Di luar negeri di negara-negara maju sebagai sudah dijadikan obat. Tapi tadi diisolasi ataupun disintesis (dulu)," ungkap Zullies.

Dalam ganja, lanjut Zullies terdapat zat aktif yang dikenal sebagai Tetrahydrocannabinol (THC). Senyawa itu kemudian disintesis untuk dijadikan obat.

"Dan itu sudah ada kalau di luar," paparnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Tolok Jika Dijadikan Komoditas

Kendati begitu, Zullies tegas menolak bila tanaman ini dijadikan sebagai komoditas yang bisa ditanam bebas. Selain karena tanaman ini masih digolongkan sebagai narkotika golongan I, dia juga melihat kecenderungan untuk disalahgunakannya besar bila ditanam bebas.

"Dan potensi disalahgunakannya besar. Dan ini yang menjadi pembatas atau keterbatasan untuk menjadi komoditi," terang dia.

Ia juga beralasan bahwa menyitensiskan obat dari tanaman ganja langsung begitu rumit dan memakan biaya yang besar. Tapi sintesis yang dihasilkan tidak banyak.

Ia menerangkan, status quo dalam dunia farmasi lebih memilih menyitensiskan dalam bentuk kimiawi.

"Morphin pun sekarang tidak lagi diisolasi dari candu, tapi dibuatnya sudah secara sintetis gitu. (Kalau dijadikan komoditas) potensi penyalahgunaannya lebih besar," ungkap Zullies.

"Mereka setahu saya bikinnya (obat) bukan dari ganja, tapi sudah secara sintetis bikinnya," lanjut dia.

Ia menjelaskan, jika diambil dari tanaman ganja, maka membutuhkan sekian banyak tanaman ganja. Namun hasil sintesis tidak seberapa.

"Jadi itu tidak ekonomis sebetulnya. Sehingga sekarang arahnya sintetis secara kimiawi," ujar dia.

Ia menilai masyarakat Indonesia masih banyak yang belum teredukasi secara komprehensif tentang tanaman ganja. Terlebih lagi, banyak yang menyalahgunakan tanaman ini di luar kepentingan medis jika tanaman ganja dijadikan sebagai komoditas yang bisa ditanam bebas.

"Jadi (jika dijadikan komoditas) sangat mungkin itu disalahgunakan. Potensinya sangat besar," papar dia mengakhiri.