Sukses

HEADLINE: Rekonstruksi Kasus Penyerangan Novel Baswedan, Seberapa Penting Ungkap Dalang Penyerangan?

Dua tersangka penyerang Novel Baswedan yaitu RM dan RB dihadirkan, sedangkan Novel digantikan peran pengganti.

Liputan6.com, Jakarta - Polisi menggelar rekonstruksi kasus penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Pegangsaan Dua, Jakarta Utara, Jumat 7 Februari 2020. Rekonstruksi digelar pukul 03.15 WIB.

Rombongan penyidik dari Polda Metro Jaya yang tiba sekitar pukul 03.00 WIB langsung mensterilisasi lokasi rekonstruksi. Dimulai dari kediaman Novel Baswedan, seluruh pihak yang tidak berkepentingan diminta untuk meninggalkan area. Rekonstruksi digelar tertutup.

Dua tersangka penyerang Novel yaitu RM dan RB dihadirkan, sedangkan Novel digantikan peran pengganti. Rekonstruksi selesai pukul 06.15 WIB.

"Ada 10 adegan dan ada beberapa adegan tambahan sesuai dengan pembahasan tadi di lapangan dengan rekan-rekan JPU. Ini dalam rangka penuhi petunjuk dari JPU dalam P19 nya ini kami lakukan sesuai dengan apa yang sudah kami bahas sebelumnya," kata Wadir Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya AKBP Dedi Murti di lokasi, Jumat 7 Februari 2020.

Menurut Dedi, rekonstruksi penyerangan terhadap Novel Baswedan yang terjadi pada 11 April 2017 ini untuk memenuhi syarat administrasi baik formil maupun materil dalam berkas perkara yang sudah dikirimkan sebelumnya kepada tim jaksa penuntut umum.

"Intinya adalah supaya alat bukti dan keterangan para saksi dan tersangka dapat kami uji di lapangan. Selanjutnya berkas perkara yang sudah kami lengkapi akan kami kirim kembali ke rekan-rekan di kejaksaan tinggi DKI," ujarnya.

Lalu adakah petunjuk penting dengan adanya rekonstruksi yang digelar setelah lebih dari dua tahun kejadian penyiraman air keras?

Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, ada sejumlah pertimbangan mengapa rekonstruksi Novel Baswedan digelar pada Jumat dini hari.

"Pertama sesuai dengan jam kejadian. Yang kedua juga mengingat kan di sana jalan. Misalnya dilakukan siang hari banyak orang nanti terganggu ya," kata dia di Mabes Polri, Jumat 7 Februari.

Dia menyatakan, rekonstruksi nanti digunakan untuk melengkapi berkas perkara penyerangan Novel Baswedan. "Untuk mencocokkan BAP," kata Argo.

Mengenai apakah ada petunjuk penting dari rekonstruksi itu, Argo tak mau menjawab. "Ada yang lain," kata dia ke arah awak media lain.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, rekonstruksi kasus Novel Baswedan justru mengecilkan kasus ini, hanya pada saat penyiraman cairan kimia atau terhenti pada aktor di lapangan.

"Dalam kasus seperti ini, yang didekati bukan rekonstruksi, harusnya melihat jalur komunikasi. Dan itu tidak dibatasi dengan dekat dekat peristiwa, tapi sebelumnya. Untuk melihat para pelaku ini berkoordinasi dengan siapa," kata dia kepada Liputan6.com.

Menurut Asfinawati, ada petunjuk dari pelaku dengan menyebut Novel Baswedan seorang pengkhianat. Dengan tudingan pengkhianat itu, maka dia menduga kasus ini ada kaitannya dengan pekerjaan Novel dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, pelakunya, diduga bagian dari skema pelaku korupsi.

"Nah, siapa dan bagaimana jalurnya itu yang harus ditemukan dan pasti tidak cukup dengan rekonstruksi," kata Asfinawati.

Dia menilai, rekonstruksi ini memang menunjukkan penyidikan polisi pada kasus Novel berjalan. Namun, justru mengecilkan peristiwa hukumnya hanya pada saat kejadian. Karena perencanaan dan sesudahnya tidak dilihat.

"Padahal, perkara seperti ini, tindak pidana tidak berhenti pada saat sudah selesai menjalankan, tetapi sesudahnya, misalnya untuk menghilangkan barang bukti," kata dia.

Asfinawati menyarankan, polisi melakukan pemeriksaan digital forensik seperti komunikasi pelaku, dan melihat keterkaitan antara pelaku dengan aktor korupsi, supaya bisa membongkar penyerangan terhadap Novel dan tidak hanya kepada dua pelaku penyiraman air keras.

Dia pun menilai, rekonstruksi tersebut tidak akan efektif untuk mengungkap kasus penyerangan Novel Baswedan. Karena yang terungkap hanya pelaku lapangan, bukan aktor intelektual.

Dia menegaskan, rekonstruksi bukan untuk menemukan bukti penting tapi mengecek keterangan saksi apakah sesuai dengan kejadian di lapangan.

"Kalau untuk menemukan bukti, kenapa baru sekarang hampir dua tahun lebih, TKP sudah rusak. Rekonstruki bukan untuk mengambil bukti. Ada alat bukti yang lain yang harusnya dipercaya, CCTV. Orang kan bisa berbohong," kata dia.

Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, rekonstruksi merupakan alat bantu bukti saja untuk memperkuat keterangan saksi dan alat-alat bukti yang ada.

"Jadi dalam kerangka penuntutan tindak pidana ya boleh saja dilakukan. Hanya saja jika tersangka tidak mau karena merasa tidak melakukanya ya boleh menolak," kata dia kepada Liputan6.com.

Dia ragu kasus Novel Baswedan ini bisa terungkap sepenuhnya dengan adanya rekonstruksi ini. Alasannya, tersangka kasus penyerangan Novel Baswedan tidak disangka-sangka, yaitu dua polisi aktif berinisial RM dan RB. Salah satu tersangka mengatakan menyerang Novel dengan air keras karena penyidik KPK itu pengkhianat.

"Belum tentu terbukti," ucap Abdul Fickar.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengapresiasi langkah-langkah untuk mengungkap fakta kasus penyerangan Novel Baswedan dengan melakukan rekonstruksi. Namun, yang menjadi persoalan adalah, pertama bagaimana originalitas atau akurasi rekonstruksi itu mengingat jangka waktu yang lama, yaitu 11 April 2017.

"Kedua, juga apa benar bahwa kedua orang itu pelakunya. Artinya harus ada sebuah bukti nyata yang mendukung bahwa dua orang ini pelakunya. Kan sejauh ini dianggap sebagai pelaku setelah yang bersangkutan mengaku," kata Suparji dihubungi Liputan6.com.

Dia mengatakan, alat bukti dalam konteks KUHP 184 yaitu jelas adanya saksi, ahli, adanya surat adanya bukti petunjuk dan keterangan dari terdakwa.

"Artinya pengakuan, tidak termasuk dari kategori alat bukti bahwa seseorang melakukan sebuah kejahatan. Jadi poin saya adalah, perlu didukung dengan alat bukti yang lain tentang kebenaran dari pelaku itu sebagai pelaku utama dan kalau itu belum clear ya itu maka masih menyimpan keraguan tentang fakta sebenarnya," kata Suparji.

Ketiga, kata Suparji, keraguan-keraguan perlu didalami, mengingat tim pencari fakta sempat mengatakan, salah satu alasan penyerangan terhadap Novel itu karena penanganan kasus high profile yang berpotensi menimbulkan serangan balik.

"Maksud saya bahwa waktu itu ditemukan bahwa ini erat kaitannya dengan Novel Baswedan sering menangani kasus-kasus high profile. Pertanyaan adalah kedua pelaku itu apa urusannya dengan korupsi high profile gitu loh?" kata dia.

"Apakah orang-orang itu keluarga yang pernah ditangani kasusnya oleh Novel Baswedan atau kemudian ada pihak lain yang menggerakkan atas kasus-kasus high profil yang terjadi itu," ucap Suparji.

Dia mengatakan, kalau itu yang terjadi, maka kasus penyerangan ini tidak berdiri sendiri. Pelaku penyiram cairan kimia ada yang menyuruh melakukannya.

"Jadi ini menurut saya masih belum menggambarkan ya tentang kebenaran dari pengakuan tersebut, tetap sekali lagi poin saya rekonstruksi kan bagian dari upaya untuk mengungkap sebuah adanya kejahatan. Adanya reka ulang itu menjadi sesuatu yang sangat penting tetapi bukan satu satunya untuk mengatakan bahwa dia pelakunya tetapi harus didukung dengan alat bukti lain," kata Suparji.

Dia pun mengatakan, pesimitistis kasus Novel Baswedan bisa jelas terungkap dengan adanya rekonstruksi. "Dengan rasionalisasi itu. Saya tidak optimis," kata Suparji.

Sementara itu, polisi pernah menyampaikan, tidak akan berhenti di dua pelaku penyiram cairan kimia terhadap Novel Baswedan. Hal ini diungkapkan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Dia mengaku pihaknya masih mendalami dugaan ada atau tidaknya pihak lain dalam penyerangan tersebut.

Termasuk soal kemungkinan adanya otak penyerangan Novel Baswedan pada 11 April 2017.

"Kami pahami opini publik apakah dilakukan sendiri atau ada yang menyuruh. Makanya kami harus dalami," kata Listyo di Gedung PTIK, Jakarta Selatan, Sabtu 28 Desember 2019.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Rekonstruksi Tak Bisa Ditunda

Wadir Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya AKBP Dedi Murti menegaskan, dia bertemu dengan Novel Baswedan saat melakukan rekonstruksi. Kendati demikian, Novel enggan ikut terlibat dalam rekonstruksi tersebut yang berjalan selama 3 setengah jam lamanya.

"Kami mendapatkan informasi dari dalah satu kuasa hukumnya yang menyatakan bahwa yang bersangkutan (Novel) sedang berada di Singapura. Maka dari itu kami putuskan karena emang kegiatan ini nggak bisa kami tunda dan harus kami laksanakan karena terikat waktu masa pemberkasan dan penahanan kami laksanakan dan memang sudah kami siapkan pemeran pengganti," ujar Dedi usai rekonstruksi di Jalan Depoaito T8, RT 03 RW 10, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat 7 Februari 2020.

"Namum ternyata pada saat pelaksanaan di lokasi tadi di TKP kebetulan kami juga melibat ada Pak Novel, dalam hal ini korban melintas dan sempat rekan-rekan penyidik dan JPU mempertanyakan dan menyampaikan kegiatan ini tetap kami laksanakan dengan pemeran pengganti," sambungnya.

Menurutnya, meskipun Novel tidak ikut dalam rekonstruksi ini, prosesnya berjalan sah dan memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti. Menurut Dedi, rekonstruksi ini dapat dipertanggungjawabkan apabila Novel tak menerimanya.

"Hak yang bersangkutan. Kami akan pertanggungjawabkan proses persidangan nanti," tegasnya.

Sementara itu, hasil pemeriksaan terakhir, tim dokter menyatakan, mata kiri Novel Baswedan tak dapat diperbaiki lagi.

"Hasil pemeriksaan terakhir pada 5 Februari 2020 di Singapura tim dokter yang selama ini menangani mata Novel menyatakan kondisi mata kiri tidak dapat diperbaiki lagi," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Jakarta, Jumat 7 Februari 2020.

Menurut dia, sebagian besar kerusakan ada di retina. Oleh karena itu, mata kiri Novel Baswedan hanya mampu melihat cahaya.

"Kerusakan sebagian besar retina. Sehingga, kondisi terakhir mata kiri hanya dapat melihat cahaya. Kondisi ini tetap membutuhkan perawatan dan kontrol dokter yang berkelanjutan untuk mencegah infeksi yang mungkin akan timbul kembali yang dapat menyebabkan diangkatnya bola mata kiri secara keseluruhan," tutur Ali.

Menurut dia, Novel sudah lama mengeluh sakit di mata kirinya tersebut. Jika dirunut, sudah 6 bulan Novel merasa kondisi matanya memburuk. Namun, Novel tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai penyidik KPK.

Dia menuturkan, kondisi mata Novel Baswedan semakin parah sebulan terakhir ini. Pada 8 Januari 2020, Novel sempat ditangani dokter RS JEC dan diberikan obat. Namun, kondisinya tidak membaik sehingga harus dirujuk kembali menemui dokter di Singapura.

"Dari beberapa kali konsultasi dan pemeriksaan, Novel kembali menjalani operasi pada 20 Januari 2020 dan dilakukan pemberian injeksi antibiotik serta pengangkatan cairan mata dalam operasi tersebut. Pada rentang waktu tersebut, Novel dalam pantauan tim dokter. Dan, tim dokter telah menyimpulkan pada pemeriksaan 5 Februari 2020, mata kiri Novel hanya dapat melihat cahaya," kata Ali.

Sementara, kondisi mata kanan Novel masih sama seperti sebelumnya. Kemampuan melihat sekitar 60 persen dengan menggunakan lensa khusus.

Mata kanan Novel Baswedan juga masih membutuhkan perawatan berkelanjutan untuk mencegah terjadinya penurunan kemampuan melihat.

 

3 dari 3 halaman

Novel Baswedan dan Masalah Matanya

Novel Baswedan berada di rumah selama reka adegan berlangsung. Dia menyampaikan, memang digantikan peran pengganti dalam rekonstruksi tersebut.

"Saya nggak mengikuti. Saya di rumah," tutur Novel di depan kediamannya, Jalan Deposito, Kelapa Gading, Pegangsaan Dua, Jakarta Utara, Jumat pagi 7 Februari 2020.

Dia menyebut, masalah kebutaan mata kirinya merupakan hal yang serius. Semenjak divonis tidak dapat melihat, sebelah matanya jadi sangat sensitif terhadap cahaya.

Terlebih, rekonstruksi dilakukan saat malam hari dengan penerangan yang terbatas. Sementara cahaya yang berlebihan akan terasa sangat mengganggu.

"Dalam kondisi lampu jalan dimatikan, saya merasa (rekonstruksi) akan menggunakan cahaya portable," jelas dia.

Sebab itu, lanjutnya, selama berada di bawah sinar matahari dia selalu menggunakan topi. Dalam rekonstruksi pun Novel melalui pengacaranya sudah menyampaikan perihal tersebut dan meminta penyidik dapat memahami kondisinya.

Novel pun mengaku tidak bertemu dengan tersangka penyerangnya saat rekonstruksi berlangsung di dekat kediamannya. Apalagi, berlangsung saat masih gelap.

"Tadi kan saya sempat keluar ke masjid gelap, saya nggak terlalu jelas lihat dan kondisi mata saya memang sedang ada masalah," kata dia.

Novel menjelaskan, tidak mengikuti jalannya gelar rekonstruksi penyerangannya berkaca dengan pengalaman sebelumnya saat menjalani pemeriksaan.

"Jadi ketika saya tidak mengikuti ketentuan bahwa saya tidak boleh banyak aktivitas di mata kiri, dan akhirnya di proses-proses pemeriksaan sebelumnya oleh penyidik yang sampai malam waktu itu, akibatnya mata kiri saya sekarang permanen tidak bisa lihat lagi," tutur Novel di kediamannya

Oleh sebab itu, kini dia akan mengikuti penuh perawatan untuk mata kanannya yang turut terpengaruh saat mata kirinya mengalami kebutaan.

"Tentunya itu ketika rekonstruksi mau dilakukan, saya melihat tadi malam lokasi jalan dimatikan lampu jalan, sehingga saya meyakini bahwa akan menggunakan lampu penerangan portable, padahal mata kanan saya sensitif sekali dengan cahaya," jelas dia.

Novel tidak mau mengambil risiko kehilangan penglihatan sepenuhnya. Oleh sebab itu, dia meminta agar tidak diikutsertakan dalam reka adegan yang berlangsung sejak pukul 03.00 WIB dini hari tadi.

"Anda tahu sekarang saya ini pakai topi ini karena menjaga daripada iritasi dari cahaya. Ketika mata kiri saya sudah permanen tidak bisa lihat lagi, tentu saya harus hati-hati sekali dengan mata kanan saya. Pilihannya itu, maka dilakukan dengan kegiatan rekonstruksi tadi saya sampaikan ke penyidik bahwa saya tidak bisa mengikuti. Saya pikir hanya alasan kesehatan saja," kata Novel.

Novel sempat mempertanyakan kenapa pelaksanaan rekonstruksi penyerangannya digelar dini hari. Menurutnya, tempat rekonstruksi tidak harus di sekitar rumahnya begitu juga dengan waktunya.

Meski begitu, dia menghormati keputusan penyidik. Dia hanya berharap petugas dapat objektif dalam menangani perkara tersebut. "Tentunya penyidik punya pertimbangan sendiri dan saya tidak ingin mencampuri," Novel menandaskan.