Liputan6.com, Jakarta Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS. Menjadi kata yang tak akan terlupakan bagi seorang Febri Ramdani. Siapa Febri? Dia adalah seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah merasakan hidup bersama kelompok militan ISIS selama 300 hari.Â
Febri mengabadikan semua kisahnya itu dalam kenangan yang ia rangkai menjadi buku berjudul 300 Hari di Bumi Syam: Catatan Perjalanan Mantan Pengikut ISIS.
Baca Juga
Selasa, 11 Februari 2020, bertempat di Gedung Aula AISTH, Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, dia membagi kisahnya.
Advertisement
Aksi nekatnya dimulai pada September 2016. Febri memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke negeri Suriah. Kenapa Suriah? Keluarga menjadi alasan terbesarnya.Â
"Jadi sekitar 80 sampai 90% itu kenapa saya sampai mau nekat pergi ke sana sendirian. Itu adalah karena keluarga," ucap Febri.
Ya, itu karena 26 orang keluarganya telah lebih dulu bergabung dengan ISIS pada tahun 2015. Tepatnya saat bulan Agustus, keluarga besar Febri bertolak dari Indonesia ke Suriah.Â
"Jadi kalau untuk saya itu bisa dibilang faktor ideologi. Faktor pikiran itu tidak terlalu berpengaruh ke saya dan bukan menjadi faktor terbesar yang membuat saya ingin pergi ke sana," tambah Febri.Â
Febri yang Depresi dan Rindu Keluarga
Ketika saat ini banyak orang tertarik bergabung dengan ISIS karena sebuah pemikiran atau ideologi dan ingin mempunyai kehidupan yang lebih baik, hasrat terbesar Febri adalah hanya ingin menyusul keluarganya.
Febri menceritakan, bagaimana saat itu dirinya syok lantaran ditinggal pergi seluruh keluarganya pada tahun 2015. Keputusan tersebut diambil lantaran mereka menganggap Febri saat itu memang tidak percaya akan ISIS.Â
Febri tidak setuju atas pemberitaan mengenai ISIS. Apakah benar memang menjalankan syariat Islam dengan janji-janjinya?
Febri melihat keluarganya ingin mempunyai kehidupan yang lebih baik. Terlebih, faktor ekonomi yang sedang dalam keadaan krisis. Menurut Febri, ISIS memfasilitasi apa yang keluarganya cari.
Namun, dampak dari kepergian keluarganya berujung pada sebuah kedepresian.Â
"Saya syok, saya depresi, saya akhirnya tinggal sendiri. Pada masa-masa itu, saya mulai mikir apa benar keluarga saya begini sesuai syariat Islam, sesuai apa yang dijanjikan dengan fasilitas?" tanya Febri. Â
Sampai akhirnya Febri pun memilih untuk tinggal di kos dan hidup dengan kesendirian serta mencari biaya hidup sendiri.
Advertisement
Sebuah Keyakinan yang Meningkat
Hidup dalam kesendirian, Febri mencoba mencari tahu segalanya tentang ISIS. Berselancar lewat dunia maya, dia membuka informasi dari situs-situs yang pro dan mendukung ISIS. Hingga pada suatu titik, dirinya mulai tergiur akan rangkaian kata yang menyebut ISIS dengan berbagai kebermanfaatannya.
Dalam pandangan Febri, kota-kota mereka sudah tertata rapi. Sistem pemerintahan, fasilitas kesehatan, pendidikan, serta pekerjaan yang terjamin. Saat itu pikiran Febri mulai berubah.
"Saya coba akhirnya mulai buka-buka situs situs pro ke media ISIS. Mereka memang propagandanya waktu itu saya lihat bagus. Kota-kotanya, tata kotanya sudah rapi, sistem pemerintahannya sudah jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan, pekerjaan. Pokoknya semua sudah disiapkan oleh mereka," ungkap Febri.
Keyakinan Febri untuk mengikuti jejak keluarganya ke Suriah mulai meningkat ketika mengetahui pemimpin ISIS bernama Abu Bakr Al Baqhdadi mengatakan, ketika seseorang pergi ke sana, maka orang tersebut bisa melakukan apa saja.Â
Selain itu, tidak ada sama sekali kewajiban untuk berperang. Terlebih, penggunaan syariat Islam dengan sempurna seperti zaman Nabi Muhammad.
Ujung dari keyakinannya, dia pun dipertemukan dengan salah satu kerabatnya. Febri mulai mengurus segala persiapan dan bersama kerabatnya, dia pun menuju Suriah melalui jalur Turki pada September 2016. Bandara Soekarno Hatta menjadi saksi perjalanannya dimulai menuju Istanbul.
Perjalanan Menuju ISIS
Sampai di Kota Istanbul, Turki, kerabatnya menjadi perantara bagi Febri berkomunikasi dengan ISIS.
Setelah lima hari menikmati kota Istanbul, dia pun dipertemukan dengan ISIS yang menjemputnya dengan sebuah bus besar yang mempunyai kapasitas sekitar 50 orang.
Bus tersebut melaju ke Kota Atay, sebuah kota perbatasan Turki dan Suriah. Alhasil, semua data yang menunjukkan identitasnya sebagai warga Indonesia diberikan ke pihak ISIS, seperti paspor dan KTP.
Perjalanannya pun sempat dipindahkan ke dalam sebuah mobil dengan jalur naik ke atas bukit. Dia pun harus bersembunyi dari kejaran banyak polisi yang menjaga di perbatasan Suriah. Sampai akhirnya bisa masuk ke wilayah Suriah.Â
Tantangan lain kembali menghampiri, ketika Febri dan kelompoknya sempat salah masuk ke sebuah desa. Dia bertemu dengan fraksi Jabhah Nusro. Dia dan rombongannya ditahan selama satu bulan. Mereka bahka dibujuk untuk masuk ke dalam kelompok tersebut.
Dengan segala negoisiasi, Febri bisa keluar dari tawanan tersebut. Dengan perkataannya yang menyebut tujuan mereka datang bukan karena ISIS, tetapi untuk menjadi relawan kemanusiaan.
"Saya dan rombongan ditangkap sama mereka. Ditahan selama satu bulan, dibujuk buat masuk ke kelompok mereka. Walaupun tidak sampai fisik, hanya sebatas verbal aja. Setelah negoisasi selama sebulan di sana, disitu kami bilang, kalau tujuan kami di sini bukan untuk bergabung dengan ISIS, tapi untuk menjadi relawan kemanusiaan," ungkap Febri.
Advertisement
Pertemuan dengan Keluarga
Febri pun berpindah ke Idlib. Kurang lebih selama empat bulan, tercatat pada Februari 2017, Febri pun mendapatkan instruksi kembali untuk berpindah ke Kota Hamat. Di kota ini, dia dipaksa untuk memasuki pendidikan militer. Namun, dia menolak.
Saat itu, Febri mengatakan dirinya ingin bertemu keluarganya yang sudah berada di Kota Raqqa. Keajaiban pun datang, dia diperbolehkan untuk menemui keluarganya.
Ketika tiba di Kota Raqqa, Febri melihat dengan nyata bahwa kenyataan yang dipercayainya hanyalah bualan. Kota itu hancur semua, tidak ada pemandangan indah seperti fasilitas yang dijanjikan.Â
"Pas detik saya masuk ke Kota Raqqa itu saya melihat, kok udah mulai beda. Kan udah mulai keliatan bendera-benderanya dari kota-kotanya walaupun tengah malam. Tapi kayaknya beda dari propagandanya, kok hancur semua. Karena saya pikir tadinya kota-kota ini bagus," kata Febri.
Febri yang mengira bahwa wilayah perang berbeda dengan wilayah penduduk sipil, menyadari realitanya. Meski begitu, dia tetap bahagia, karena bisa diberi kesempatan untuk bertemu keluarganya walaupun hanya dua hari melalui bantuan orang ISIS yang juga orang Indonesia dan mengenal keluarga Febri
Kenyataan pedih pun harus dia hadapi, begitu tahu ada anggota keluarganya yang sudah meninggal. Walaupun bukan keluarga inti.Â
"Akhirnya saya ketemu keluarga saya. Alhamdulilah ibu saya kakak saya semua masih pada hidup semua. Walaupun ada beberapa anggota keluarga yang meninggal. Tapi keluarga inti saya masih hidup," ungkap Febri.
Namun, kedatangan dan kebahagiaanya luruh. Keluarganya marah dengan kedatangan Febri, karena mereka pun akan kembali ke Indonesia. Lewat pertemuan tersebut keluarga Febri menceritakan semua kebohongan ISIS dengan segala macam intimidasi dan ancaman.
"Yang tadinya udah senang gitu, mereka malah langsung marah ke saya. Mereka bilang, kamu ngapain lagi kesini, kita tuh udah mau pulang semuanya. Kita tuh udah mau balik ke indonesia. Jadi selama satu tahun di sini itu kita tidak mendapatkan apa yang dijanjikan oleh ISIS," lanjut Febri.
Jalan Keluar Melepas ISIS
Untuk keluar dari wilayah ISIS, Febri dan keluarganya dibantu oleh penduduk lokal. Febri menceritakan bagaimana susahnya untuk keluar dari wilayah ISIS.Â
Singkat cerita, mereka akhirnya menempuh jalan dengan menyerahkan diri ke pasukan Demokratik Suriah. Dan dipenjara selama dua bulan. Dengan ketentuan, kelurganya yang perempuan dan anak dipisah ke wilayah kamp pengungsian di Kota Etisa.
Lalu dari Kota Kobane, bulan Juni mereka dipertemukan dengan pemerintah Republik Indonesia di perbatasan Irak dan Suriah, namanya Kota Duhok. Di kota ini mereka bertemu dengan seorang duta besar, lalu dibawa ke Kota Erbiol. Akhirnya, cerita selanjutnya mereka pun dipulangkan ke Indonesia.
Advertisement
Mulai Dari Nol
2018, Febri dan keluarganya akhirnya bisa menghirup udara bebas. Mereka akhirnya dipulangkan ke Indonesia.Â
Mereka juga sempat dikarantina selama satu bulan di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan pelatihan wirausaha dan mencoba bisnis kecil-kecillan. Mereka pun aktif dengan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengampanyekan isu perdamaian.
Pada 2019, Febri bergabung di ruangobrol.id, sebuah media yang kontra dengan narasi isu kekerasan. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikan di salah satu kampus di Jakarta.
Febri menutup kisahnya dengan menyadari bahwa kesalahan yang dia dan keluarganya buat adalah mengabaikan sifat tabayyun yang berati mencari kejelasan tentang suatu hal dengan jelas dan benar keadaannya.
Saat itu dia hanya sesaat melihat bagaimana ISISÂ berkembang dengan segala iming-iming fasilitasnya. Dan mengabaikan bagaimana informasi lain yang berkontra dengan ISIS.
"“Jadi kesalahan saya dan keluarga, sebelumnya saya hanya melihat dari satu ISIS saja, tidak peduli dengan media lain. Karena sudah terbutakan dengan propaganda. Jadi ke depan kita harus bertabayyun oleh berita-berita yang belum jelas," pungkas Febri.
Febri pun menujukkan bagaimana sebuah ayat dari Al Quran tentang tabayyun tersebut, pada Al Quran Surat Al Hujurat Ayat 6,
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
Â
(Okti Nur Alifia)