Sukses

HEADLINE: Pemerintah Tak Pulangkan 689 WNI Anggota ISIS, Bagaimana Menangkal Penyusupan?

Pemerintah memutuskan tak akan memulangkan 689 WNI mantan anggota ISIS.

Liputan6.com, Jakarta - Aiptu Ahmad Nurhadi masih teringat peristiwa teror bom yang meledakkan Gereja Katolik Santa Maria di Jalan Ngagel, Madya Utara, Surabaya pada 13 Mei 2018. Ahmad yang saat itu tengah bertugas mengamankan jalannya misa, tak menduga akan kehilangan dua mata dan kakinya yang hancur lantaran bom bunuh diri teroris.

"Sampai saat ini masih terapi kaki, waktu itu serpihan bom menghancurkan kaki saya, tulang dan kulit hilang," kata Ahmad kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Selain kakinya yang hancur, kedua matanya sudah tak bisa melihat. Ahmad mengaku sudah tak trauma dengan peristiwa tersebut, namun masih sulit melupakan.

"Kalau trauma sudah tidak, tapi belum bisa hilang sepenuhnya, saya sebagai anggota Polri risiko saya, harus siap," ujar dia.

Untuk itu, Ahmad mendukung keputusan pemerintah yang tak akan mengembalikan WNI gabung ISIS yang saat ini tengah berada di Suriah.

"Saya mendukung, karena kalau mereka pulang bikin was-was, tindakannya benar-benar mengerikan," kata Ahmad.

Sementara, pemerintah masih mempertimbangkan memulangkan anak-anak WNI gabung ISIS yang usianya di bawah 10 tahun.

Meski begitu, Ahmad meminta agar pemerintah mengawasi anak-anak WNI tersebut. Sebab, kata dia, doktrin dari keluarga teroris sangat kuat.

"Doktrin pada anak kuat. Waktu itu pelakunya satu keluarga, itu anak kecil juga ikut. Maka kalau dipulangkan harus diantisipasi," Ahmad menandaskan.

Pada Selasa, 11 Februari 2020 kemarin, pemerintah memutuskan tak akan memulangkan 689 WNI mantan anggota ISIS. Keputusan itu diambil usai Presiden Joko Widodo atau Jokowi menggelar rapat terbatas bersama para menteri terkait.

"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris. Bahkan tidak akan memulangkan FTF (Foreign Terrorist Fighters) ke Indonesia," kata Menko Polhukam Mahfud Md usai rapat di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).

Menurut dia, 689 WNI tersebut kini berada di Suriah, Turki, dan beberapa negara lainnya yang terlibat FTF. Keputusan itu diambil dengan sejumlah pertimbangan, salah satunya yakni demi menjaga 267 juta rakyat Indonesia.

"Karena kalau FTF ini pulang itu bisa jadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta tidak aman," ucapnya.

Kendati begitu, pemerintah masih akan mendata jumlah dan identitas WNI . Sementara untuk anak-anak di bawah umur 10 tahun, pemerintah akan mempertimbangkan untuk memulangkan mereka.

"Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan tapi case by case," tutur Mahfud.

Mahfud Md mengatakan, mereka yang ada di sana selalu menghindar dan tak mengaku lagi sebagai WNI.

"Mereka kan enggak mengakui sebagai WNI," kata Mahfud.

Dia menuturkan, sebenarnya pihak pemerintah sudah pernah mencoba melakukan pendataan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun juga sudah dikirim ke negara-negara yang ditempati ISIS.

"Hanya ketemu sumber-sumber otoritas resmi saja. Di situ ada ini katanya, tapi orangnya enggak pernah menampakkan juga," jelas Mahfud.

Dia menuturkan, data mengenai WNI eks ISIS hanya diperoleh dari CIA dan ICRC atau Komite Palang Merah Internasional.

"Kita ke sana cuma dapat nama-nama juga tidak langsung dengan mereka. Itu dapat dari Palang merah Internasional, CIA, cuma gitu-gitu. Mereka kan menghindar dari kita," ungkap Mahfud.

Menurut dia, selama ini tak ada pernyataan langsung bahwa WNI eks ISIS minta dipulangkan. Semuanya hanya berdasarkan laporan semata.

"Iya (mereka menghindar). Mereka kan enggak pernah menampakkan diri. Paspornya dibakar. Itu kan hanya laporan, bahwa ada itu, lalu ada isu-isu mereka ingin pulang. Siapa (yang menyampaikannya) enggak ada. Minta pulang ke siapa? Itu laporan kok. Laporan," pungkas Mahfud.

BNPT sendiri mengaku kesulitan untuk memverifikasi keberadaan WNI eks ISIS di Suriah karena ada banyak penguasa di sana. Wilayah Suriah dikuasi beberapa kelompok, seperti Otoritas Suriah, Pasukan Demokratis Suriah atau SDF dan pasukan Kurdistan.

"Mereka (kombatan eks ISIS) tersebar di tiga kemp, yaitu Al Roj, Al Hol, dan Ainnisa," kata Kepala BNPT Suhardi Alius.

Menurut dia, selama ini informasi yang BNPT dapat hanya dari komunitas intelijen internasional maupun organisasi nonpemerintah.

"Jadi dengan segitu banyak otoritasnya kita gak bisa masuk. Kami minta bantuan teman-teman. Kemarin juga kami minta bantuan juga dari intelijen Abu Dhabi," jelas dia.

Dari data intelijen tersebut, Suhardi juga menerangkan bahwa ia mendapatkan informasi bahwa sebanyak 11 WNI telah bergeser dari wilayah Suriah ke Afghanistan.

"Itu kita dapatkan dari mencari informasi," beber dia. 

Siapkan Langkah Cegah Penyusup

Menko Polhukam Mahfud Md memastikan telah menyiapkan langkah antisipasi apabila 689 WNI anggota ISIS pulang sendiri ke tanah air dengan cara menyusup. Pemerintah akan memastikan bahwa mereka tak bisa masuk ke Indonesia dengan cara apapun.

"Kalau lewat jalur tikus ya ditangkap dong," ucap Mahfud Md.

Meski begitu, dia enggan menjelaskan apa langkah pemerintah mencegah eks anggota ISIS masuk ke Indonesia. Mahfud menduga ada dua cara yang dilakukan FTF untuk pulang ke tanah air.

Pertama, dengan cara ilegal dimana mereka pulang lewat jalur tikus dengan cara menyusup. Kemudian, cara legal yakni lewat negara yang bebas visa dengan menyembunyikan paspor mereka.

"Yang problem itu kalau mereka ada yang menyembunyikan paspor, bilang paspornya cuma pura-pura dibakar, lalu lewat jalur-jalur gelap itu melalui negara yang bebas visa untuk masuk ke Indonesia. Kan bisa terjadi," jelasnya.

"Itu kita sudah antisipasi, tapi kan enggak harus dibilang ke Anda semua," sambung Mahfud.

Mahfud meminta agar masyarakat tidak khawatir. Sebab pemerintah sudah menangkal jalur tikus, dan mencegah FTF pulang lewat negara bebas visa.

"Karena ada juga ketika masuk Afrika minta dipulangkan ke Indonesia. Misalnya 1 negara tertentu di Afrika bebas visa, itu kan bahaya. Tapi sudah ditangkal semua," tutur Mahfud.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Waspadai Balas Dendam di Dalam Negeri

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridwan Habib menilai keputusan pemerintah Indonesia yang tolak memulangkan WNI eks ISIS merupakan langkah yang tepat. Sebab menurutnya, Indonesia belum siap memulangkan eks ISIS karena sangat berbahaya. 

Namun demikian, kata Ridwan, pemerintah harus waspada terhadap kemungkinan balas dendam oleh simpatisan ISIS di dalam negeri.

"Polri dan komunitas intelijen harus waspada jika keputusan itu menimbulkan keinginan balas dendam. Misalnya dengan melakukan penyerangan pada kantor pemerintah karena jengkel teman mereka tidak dipulangkan," kata Ridwan kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Ridwan mengingatkan bahwa ISIS masih ada di Indonesia. "Sel sel tidurnya masih banyak," tambahnya.

Resiko berikutnya, kata Ridwan adalah kemungkinan gugatan hukum yang muncul dari keluarga eks ISIS di Indonesia.

"Bisa saja akan memicu class action terhadap pemerintah dengan alasan negara mengabaikan hak asasi warganya di luar negeri. Gugatan itu bisa saja muncul dari pihak keluarganya di Indonesia," ujar alumni S2 Kajian Intelijen UI tersebut.

Ridwan juga mengingatkan, resiko jika kamp pengungsian di Suriah dibubarkan oleh pihak otoritas Kurdi. Maka banyak WNI eks ISIS yang akan kembali ke Indonesia sebagai penyusup.

"Waspadai pintu-pintu masuk imigrasi kita. Terutama jalan jalan tikus, karena kalau bisa merembes masuk tanpa diketahui, akan sangat berbahaya," tandas Ridwan. 

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj juga mendukung langkah pemerintah untuk tak memulangkan WNI eks ISIS. Said mengutip Alquran Surat al-Ahzab ayat 60, bahwa Nabi diperintah oleh Allah swt untuk mengusir orang yang membuat kegaduhan di Kota Madinah.

"Orang bikin gaduh usir dari Madinah. Jangan sampai mengganggu ketenangan," ujar Said Aqil seperti dikutip dari NU Online.

Oleh karena itu, Said dengan tegas menolak kedatangan kombatan ISIS. Pasalnya, mereka datang ke sana dengan kemauan sendiri. Bahkan, mereka menganggap Indonesia sebagai negara thaghut.

"Saya kira tidak ada salahnya pemerintah menolak kepulangan mereka," tandas Said Aqil.

Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fahmi Salim justru berpandangan lain. Dia berharap pemerintah bisa menerima WNI eks ISIS yang bertobat, atas dasar kemanusiaan.

"Karena alasan kemanusiaan, banyak anak-anak terlantar yang tidak tahu. Alangkah bijak pemerintah dapat bersedia menerima mereka," kata Fahmi kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Namun, kata dia, mereka harus bersedia dibina dan menyatakan kesetiaan pada NKRI. "Kalau mereka menyatakan tidak mau kembali ya terserah kepada pemerintah RI," ujar dia.

Hal ini dikatakan Fahmi dengan berkaca pada kaum sparatis seperti Papua Merdeka dan GAM yang diterima kembali ke pangkuan NKRI setelah bertobat.

Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwajhu mengatakan, pemerintah harus mengkaji, mengklasifikasi, menelusuri rekam jejak masing-masing WNI eks ISIS. Sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang komprehensif dan tidak digeneralisir. Sebab, kata dia, dalam simpatisan tersebut terdapat perempuan dan anak-anak yang umumnya hanya korban, baik korban propaganda ISIS maupun relasi kuasa yang timpang di keluarga.

Setidaknya, kata dia, ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, yaitu pencabutan warga negara, pencekalan, dan opsi untuk diadili di Indonesia. Dengan merobek paspor, kata Anggara, pemerintah tidak bisa serta merta mencabut kewarganegaraan WNI eks ISIS. 

Dalam Undang-Undang 12 tahun 2006 dan Perpres Nomor 2 tahun 2007 disebutkan kondisi dimana seorang WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya, yaitu masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden dan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing tersebut.

"Permasalahan yang harus diperhatikan adalah terkait status dari ISIS sebagai “tentara asing” atau “negara asing"," kata Anggara di Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Anggara mengatakan, hingga saat ini tidak ada satu negara pun di dunia yang bersedia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan ISIS. Sehingga, pilihan untuk mencabut kewarganegaraan sebagai hukuman terhadap WNI eks ISIS dikhawatirkan justru memberikan legitimasi bagi keberadaan ISIS itu sendiri sebagai sebuah entitas politik.

Kedua, terkait dengan pencekalan. Pemerintah tidak dapat melakukan pencekalan atau pelarangan terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, karena dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa setiap WNI tidak dapat ditolak masuk wilayah Indonesia. 

Ketiga, kata Anggara, pemerintah sebenarnya memiliki opsi terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, yaitu diadili secara hukum. Tindakan yang dilakukan oleh ISIS telah ditetapkan sebagai tindakan terorisme oleh Dewan Keamanan PBB. Presiden Dewan Keamanan PBB telah menyatakan bahwa Dewan Keamanan sangat mengutuk tindakan terorisme, termasuk oleh organisasi teroris yang beroperasi dengan nama ISIS di Irak, Suriah, dan Lebanon.

"Para WNI eks ISIS tersebut dapat dijerat dengan hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Terorisme dan Pasal 3 UU Terorisme menyebutkan bahwa peraturan ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain," kata dia.

Sementara opsi lainnya, kata Anggara, WNI eks ISIS dapat dikenakan pasal perbuatan makar terhadap negara sahabat, dalam hal ini di negara Suriah. Hal ini perujuk padaPasal 139b KUHP. Berdasarkan asas nasional aktif pada Pasal 5 ayat (2) KUHP, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.

Selain itu, beberapa WNI eks ISIS tersebut juga dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam hal terdapat dugaan serius melakukan pelanggaran, baik pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional maupun pelanggaran terhadap hukum pidana internasional, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan.

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai, WNI yang telah bergabung dengan ISIS otomatis kehilangan kewarganegaraannya. Hal ini merujuk pada Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan dan Pembatalan Kewarganegaraan. 

"Kata 'dengan sendirinya' berarti tidak perlu lagi ada proses lanjutan bila terpenuhi salah satu dari berbagai alasan yang ada. Kalaulah ada proses lanjutan hal tersebut untuk tujuan administrasi belaka. Hal ini diatur dalam Pasal 32 hingga 34 PP 2 Tahun 2007," ujar Hikmahanto di Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Sebab, kata Hikmahanto, salah satu tujuan ISIS adalah menggulingkan pemerintahan yang sah di Suriah dan Irak. Bila demikian, WNI yang tergabung dalam ISIS sebenarnya masuk dalam pemberontak di suatu negara.

3 dari 3 halaman

Kontroversi Pemulangan Eks ISIS di 5 Negara

Pemerintah Indonesia sudah memutuskan tidak akan memulangkan seluruh warga asal Indonesia yang terlibat dengan ISIS. Totalnya ada 689 eks-ISIS yang ditolak.

Keputusan Indonesia sejatinya sudah dilakukan sejumlah negara-negara maju. Ada pula negara yang mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak petarung ISIS.

Berikut respons 5 negara terhadap pemulangan eks ISIS, yang dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (12/2/2020):

1. Australia

Pemerintah Australia menolak pemulangan eks-ISIS ke negara mereka. Ada setidaknya tiga petarung ISIS asal Australia yang kini ditahan di Turki.

Turki meminta Australia untuk segera mengambil kembali warganya. PM Australia Scott Morrison menegaskan tak tertarik membawa pulang warganya yang menjadi anggota ISIS karena menimbang faktor risiko pada masyarakat.

Namun, PM Morrison masih mempertimbangkan agar anak-anak pasukan ISIS bisa pulang.

"Fakta bahwa ada orangtua yang membawa anak mereka ke mara bahaya dengan membawa mereka ke zona perang adalah tindakan keji," ujar Morrison kepada CNN. "Namun, anak-anak seharusnya tidak dihukum akibat kejahatan orangtua mereka," imbuhnya.

2. Rusia

Rusia ternyata banyak memiliki pasukan ISIS. Melansir Foreign Policy Research Institute, pasukan ISIS dari Rusia diperkirakan mencapai 5.000 orang.

Reuters melaporkan pemerintah Rusia memberikan lampu hijau bagi para penganut Muslim radikal untuk bergabung ISIS pada 2014 lalu.

Pemerintah Rusia telah mengekspresikan simpati bagi anak-anak ISIS, meski belum ada kebijakan yang jelas. Ada 1.000 perempuan dan anak-anak Rusia yang berada di daerah ISIS.

Rusia sudah membawa pulang 73 anak di bawah umur dan 24 perempuan.

3. Prancis

Presiden Emmanuel Macron ogah memulangkan kembali prajurinya yang menjadi anggota ISIS. Ia bahkan sempat silat lidah ketika Presiden Donald Trump "mengancam" mau memulangkan pasukan ISIS dari Prancis.

"Apa kamu mau beberapa pasukan ISIS yang menyenangkan? Saya bisa memberikan mereka padamu. Kamu bisa mengambil semua yang kamu inginkan," kata Trump.

Tahun lalu, Prancis memulangkan 12 anak yatim piatu eks-ISIS. Namun, Foreign Policy menyebut 89 persen orang Prancis menolak pemulangan petarung ISIS dewasa, dan 67 persen menolak pemulangan yang masih anak-anak.

4. Inggris

Inggris menolak kepulangan petarung ISIS, meski demikian The Guardian mencatat 45 persen atau sekitar 400 orang petarung ISIS asal Inggris sudah pulang ke Inggris. Intel Inggris kesulitan mengawasi mereka semua.

Meski demikian, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab masih mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak yang dibawa bergabung ke ISIS agar bisa pulang dengan selamat ke Inggris.

"Amat tidak adil ketika orang-orang yang tidak bersalah harus terlibat dalam pertempuran," ujarnya seperti dikutip Evening Standard.

5. Uni Eropa

Uni Eropa juga tegas menolak pemulangan eks-petarung ISIS. Koordinator anti-terorisme Uni Eropa Gilles de Kerchove bahkan tak mau lengah terhadap anak-anak eks-ISIS.

Menurut NPR, Gilles de Kerchove menyebut anak-anak itu bisa menjadi generasi bom bunuh diri selanjutnya, serta merupakan bom waktu.