Liputan6.com, Jakarta Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Purnawirawan Anang Iskandar menyoroti fenomena hukuman penjara terhadap penyalahguna narkoba. Menurut dia, hukuman penjara terhadap penyalahguna narkoba menyalahi aturan.
"Perkara penyalahguna disidik, dituntut, dan didakwa seakan akan sebagai pengedar menjadi alasan hakim memutuskan penyalahguna dihukum penjara. Alasan tersebut menyimpang, bahkan bertentangan dengan tujuan UU narkotika (pasal 4d) dan kewajiban hakim (pasal 127/2) untuk menggunakan kewenangan dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi (pasal 103/1)," kata Anang dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Menurutnya, UU Narkotika yang bersifat khusus tersebut telah menghapus atau tidak menggunakan sanksi penjara bagi penyalahguna narkoba. Sebagai gantinya, penyalahguna narkoba wajib menjalani rehabilitasi.
Advertisement
"Penghapusan sanksi atau hukuman penjara bagi perkara penyalahguna narkotika diganti dengan sanksi menjalani rehabilitasi karena tujuan UU Narkotika berlaku saat ini adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu," ujarnya.
Mantan Kabareskrim Polri itu menyatakan, bahwa kewajiban rehabilitasi terhadap penyalahguna narkoba dijamin negara. Negara memiliki tanggung jawab untuk merehabilitasi penyalahguna narkotika agar sembuh dan tidak relap atau menjadi residivis.
"Kalau penyalahguna relap atau menjadi residivis karena dihukum penjara, maka negara berisiko menderita kerugian yang lebih besar," ucap Anang.
Itu sebabnya, kata dia menambahkan, rehabilitasi diwajibkan bagi penyalahguna atau pecandu narkoba untuk lapor ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) agar mendapatkan perawatan yang biayanya ditanggung negara melalui BNN, Kemenkes, dan Kemensos.
"Dan rehabilitasi sebagai bentuk hukuman menjadi kewajiban hakim memutuskan dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 103/1)," katanya menjelaskan.
Rehabilitasi Termasuk Pidana Pokok
Menurut Anang, rehabilitasi termasuk sanksi pidana pokok, sama seperti hukuman penjara, di mana pasal 103/2 menyatakan; masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman.
Lantas dia menyebut, indikasi penyalahguna narkoba yang berhak direhabilitasi yakni, kepemilikan narkoba untuk konsumsi sendiri. Kemudian barang bukti narkoba yang dimiliki pelaku jumlahnya terbatas untuk sehari pakai.
"Kalau kepemilikan narkotikanya untuk dijual dan jumlah barang buktinya banyak melebihi pemakaian sehari, secara yuridis tergolong pengedar," katanya.
Menurutnya, tujuan kepemilikan ini yang tidak pernah ditanyakan oleh penyidik narkotika dalam berita acara pemeriksaannya dan tidak tergambar dalam tuntutan atau dakwaan jaksa penuntut umum. Sehingga seakan-akan unsur penyalahguna seperti pengedar.
Lebih lanjut, dia mengatakan, ancaman pidana bagi pengedar dan penyalahguna berbeda. Bagi pengedar atau kejahatan yang berhubungan dengan peredaran, bertanda khas yaitu mencantumkan ancaman pidana minimum dan pidana maksimum.
"Sedangkan ancaman bagi penyalah guna hanya mencantumkan ancaman pidana maksimum," ucap Anang.
Jika penyalahguna didakwa seperti pengedar dengan ancama pidana minimum, tentu saja merugikan sejumlah pihak. Selain terdakwa kehilangan hak untuk sembuh, keluarga juga rugi secara moril dan materiil yang tidak sedikit. Begitu juga negara.
"Negara juga dirugikan karena menjadi kebebanan masalah seperti over kapasitas, tumbuhnya residivisme seperti Ibra sampai 4 kali keluar masuk penjara, Jenniver Dunn juga 3 kali keluar masuk penjara dan ribuan lainnya yang bisa menyebabkan lost generation," tuturnya.
Advertisement
Hakim Harus Mengacu UU Narkotika
Lalu bagaimana kalau perkara penyalahguna tetapi didakwa sebagai pengedar tanpa mencantumkan dakwaan sebagai penyalahguna?
"Itu terjadi karena kekurangcermatan penerapan pasal dalam dakwaan, hal tersebut bisa karena kelalaian penyidik atau penuntut umum bisa juga karena rekayasa agar terdakwa memenuhi sarat ditahan dan dihukum penjara."
Apakah putusan hakim tetap memenuhi dakwaan jaksa dengan sesuai KUHAP ?
"Tidak, karena UU Narkotika mengatur ketentuan 'khusus' yang bersifat mengesampingkan dakwaan jaksa berdasarkan ketentuan yang bersifat 'umum'."
Ketentuan khusus tersebut adalah:
Bahwa hakim harus mengacu pada tujuan UU Narkotika yaitu menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu (pasal 4d).
Bahwa tujuan kepemilikan narkotika bagi penyalah guna adalah untuk dikonsunsi atau digunakan sendiri bukan untuk dijual (pasal 127/1).
Bahwa perkara penyalahguna narkotika adalah perkara yang jumlah kepemilikan narkotikanya terbatas untuk sehari pakai (ada batasan gramasinya berdasarkan SE MA no 4/2010).
Bahwa dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika (pasal 127/2) yang anatomi perkaranya seperti tersebut di atas, hakim wajib memperhatikan pasal 54, 55 dan pasal 103.
Bahwa hakim diberi kewenangan (pasal 103/1) dapat menjatuhkan dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi baik terbukti maupun tidak terbukti bersalah (kewenangan bersifat wajib).
Bahwa hakim wajib memperhatikan kondisi penyalahguna, apakah tergolong korban penyalahguna atau pecandu (pasal 54).
"Oleh karena itu hakim harus dengan sungguh sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli melalui proses assesmen untuk menentukan lamanya menjalani rehabilitasi dan sebagai standar proses terapi dan rehabilitasi (SE MA no 4 tahun 2010)," kata Anang Iskandar.