Sukses

Merdeka Dari Sampah, Ratusan Pelajar Cilik Banyuwangi Belajar Kelola Sampah

Melalui program Merdeka Dari Sampah, Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi mengundang para pelajar datang ke Kantor Bank Sampah guna belajar bagaimana memilah sampah, mengenal jenis sampah non organik, hingga mendaur ulang sampah.

 

Liputan6.com, Banyuwangi Sejak tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Dinas Lingkungan Hidup rutin menggelar pelatihan mengelola dan memanfaatkan sampah baik yang organik maupun non organik. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan generasi muda, bahwa sampah memiliki nilai jual, sehingga bisa bijak terhadap sampah.

"Sampahmu investasimu. Sampahku tanggung jawabku. Jadi belajar pengelolaan sampah, pengenalan pemilahan sampah organik, serta tahapan 3R, reuse, reduce dan recycle," kata Ketua Bank Sampah Banyuwangi, Dinas Lingkungan Hidup, Agus Supriyadi, Senin (10/2).

Melalui program Merdeka Dari Sampah, Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi juga mengundang pelajar sekolah datang ke Kantor Bank Sampah guna belajar bagaimana memilah sampah, mengenal jenis sampah non organik, pupuk kompos hingga membuat kerajinan dari daur ulang sampah.

Edukasi ini tidak hanya diberikan kepada pelajar SD, SMP maupun SMA, namun juga perwakilan kelompok perajin daur ulang, bank sampah dan PKK se-Banyuwangi. Seperti yang berlangsung pada pekan kedua bulan Februari ini.

Sebanyak 200 pelajar dari perwakilan Sekolah Dasar se-Kabupaten Banyuwangi belajar cara mengelola dan memanfaatkan sampah baik yang organik maupun non organik di Kantor Bank Sampah.

 

2 dari 3 halaman

Bank Sampah Banyuwangi

 

Saat ini, Bank Sampah Banyuwangi (BSB) telah mengelola sampah di kawasan kota dari 1200 mitra perorangan maupun instansi swasta. Harapannya, sampah sampah sudah bisa dipilah dari rumah tangga maupun unit unit, sehingga bisa mengurangi volume sampah di TPA.

"Ya harapannya volume sampah di TPA bisa ditekan," katanya.

Setiap harinya terdapat 8 ton sampah organik maupun non organik kawasan kota yang masuk ke BSB. Dari jumlah tersebut, rata rata terdapat 50-60 persen yang dipilah, sisanya masuk ke Tempat Pembuangan Akhir TPA.

Sampah organik sendiri mencapai 50 persen. Bila tidak dipilah, maka banyak sampah non organik yang rusak atau terlalu kotor, sehingga bisa mengurangi nilai jual hingga harus berakhir di TPA.

"Kalau gak dipilah dari rumah tangga, yang rusak bisa sampai 20 persen," katanya.

3 dari 3 halaman

Antusiasme pelajar SD kelola sampah

 

Sementara itu, pegiat lingkungan Merdeka Dari Sampah, Widie Nurmahmudy mengatakan, para siswa sangat tertarik dengan praktik pembuatan pupuk kompos dan daur ulang sampah menjadi kerajinan.

"Tadi dibikin kelompok, dan mereka paling tertarik di daur ulang bikin bunga dari sedotan sama bikin kompos. Jadi lebih memperkenalkan proses pengolahan pemilahan dan pemanfaatan sampah. Menurutku masih minim pemahaman tentang sampah," kata Widie.

Widie juga mengenalkan jenis sampah non organik maupun organik yang memiliki nilai jual tinggi.

"Paling mahal jenis plastik seperti limbah kemasan mineral itu per kilogram Rp 5000 lebih. Kalau kertas jenis HVS," katanya.