Sukses

Mengapa Pengusul RUU Ketahanan Keluarga Tidak Atur KDRT tapi BDSM?

Ali mengatakan, yang menjadi fokus para pengusul, draf RUU Ketahanan Keluarga yang ada saat ini sudah memberi warna perlindungan warga dari kekerasan dalam rumah tangga.

Liputan6.com, Jakarta - RUU Ketahanan Keluarga yang tengah disorot tidak membahas detail atau hukuman bagi warga yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Dari 146 pasal, RUU itu membahas larangan dan urusan privat warga lain seperti kewajiban mengurus rumah tangga hingga larangan donor sperma dan aktivitas seks sadisme dan masokisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM).

Anggota Fraksi PAN DPR RI Ali Taher sebagai pengusul RUU Ketahanan Keluarga menjelaskan alasan tidak ada aturan mengenai KDRT, tapi ada BDSM dalam RUU tersebut.

"Substansi kan kita bahas terus-menerus. Masukan, rekomendasi, saran dari masyarakat tetap terbuka untuk kita diskusikan. Kita selalu terbuka," kata Ali di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu malam, 19 Februari 2020.

Ali menyatakan, RUU itu masih terbuka dari usulan dan kritik masyarakat. Okeh karena itu, siap menerima diskusi dan masukan termasuk soal KDRT. "Masih dalam proses, kita terbuka," ucap dia.

Dia mengatakan, yang menjadi fokus para pengusul, draf RUU Ketahanan Keluarga yang ada saat ini sudah memberi warna perlindungan warga dari kekerasan dalam rumah tangga.

"Bagaimana warna dari UU itu memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Bagaiamana (perlindungan) terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau pengabaian-pengabaian hak antara kedua belah pihak," ucap Ali.

Sebelumnya, Ali Taher angkat bicara mengenai alasan larangan sadisme dan masokisme dalam pasal 85 di dalam draf RUU Ketahanan Keluarga. Menurut Ali, larangan itu untuk mencegah terjadinya kekejaman dalam rumah tangga. Oleh karena itu, negara harus mengatur meski urusan privat warga.

"Ya diatur, kalau enggak diatur jangan sampai ada kekejaman dalam rumah tangga. Itu yang paling penting. Seks itu kan persoalan cinta, persoalan kasih sayang di antara itu digunakan konteks reproduksi bagi keluarga muda atau digunakan kebahagiaan bersama antara kedua belah pihak, itulah tujuan esensi utama dari perkawinan," kata Ali.

Negara, menurut Ali, tidak akan mengatur hubungan privat keluarga, kecuali ada kekerasan. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Draf RUU

Draf RUU Ketahanan Keluarga yang diinisiasi DPR memicu polemik di masyarakat. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah larangan donor sperma untuk memperoleh keturunan.

Dikutip merdeka.com, larangan untuk mendonorkan dan memperjualbelikan sperma tersebut tercantum dalam pasal 31 ayat 1 dan 2. Dan diatur juga ancaman pidananya dalam Pasal 139 dan 140.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.

Setiap orang yang nekat mendonorkan sperma maka akan mendapatkan sanksi pidana sebagaimana diatur pada pasal 139. Mereka yang sengaja dan sukarela mendonorkan sperma terancam pidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Pasal 139

Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 140

Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Selain itu, Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur soal aktivitas seksual. Di pasal itu disebutkan pelarangan aktivitas seks sadisme dan masokhisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM).

Pada Pasal 85 ayat 1 disebutkan, aktivitas seks sadisme dan masokis merupakan penyimpangan seksual.

a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.

b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.

Selanjutnya pada pasal 86, keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.