Liputan6.com, Jakarta - Draf Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga yang diinisiasi DPR menuai polemik pro dan kontra di masyarakat.
Alasannya lantaran RUU Ketahanan Keluarga tersebut dinilai terlalu mencampuri ruang privasi kehidupan pribadi masing-masing keluarga.
Baca Juga
Anggota DPR Fraksi Gerindra Sodik Mujahid pengusul UU menjelaskan, semangat RUU Ketahanan Keluarga adalah untuk perlindungan keluarga dan ketahanan keluarga yang berkualitas.
Advertisement
Isi RUU tersebut memang mengatur banyak hal, mulai dari pernikahan, kehidupan berkeluarga, hak asuh, dan sebagainya. Bahkan soal tempat tinggal.
"Sedang dibahas di Baleg. Pendekatannya yaitu perlindungan keluarga, ketahanan keluarga, keluarga yang berkualitas," ujar Sodik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2020.
Salah satu yang menuai polemik adalah pasal 85 mengatur soal aktivitas seksual. Dalam pasal itu, ada pelarangan aktivitas seks sadisme dan masokhisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM).
Berikut ini poin-poin penting dalam RUU Ketahanan Keluarga yang menuai polemik pro dan kontra di masyarakat:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cuti Melahirkan 6 Bulan
Salah satu yang diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga terkait cuti melahirkan. Dalam RUU ini, cuti bagi perempuan melahirkan diperpanjang tiga bulan. Total cuti melahirkan jadi enam bulan.
Pemerintah pusat dan daerah juga wajib memfasilitasi pekerja yang tengah dalam masa menyusui bayinya. Lokasi kerja wajib menyediakan tempat untuk menyusui serta menyimpan susu.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib memfasilitasi istri yang bekerja di instansi masing-masing untuk mendapatkan:
a. hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 (enam) bulan, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya;
b. kesempatan untuk menyusui, menyiapkan, dan menyimpan air susu ibu perah (ASIP) selama waktu kerja;
c. fasilitas khusus untuk menyusui di tempat kerja dan di sarana umum; dan
d. fasilitas rumah Pengasuhan Anak yang aman dan nyaman di gedung tempat bekerja.
Â
Advertisement
Larangan Donor dan Jual Beli Sperma atau Ovum
Salah satu pasal yang menjadi sorotan dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah larangan donor sperma untuk memperoleh keturunan.
Larangan untuk mendonorkan dan memperjualbelikan sperma tersebut tercantum dalam pasal 31 ayat 1 dan 2. Dan diatur juga ancaman pidananya dalam pasal 139 dan 140.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
Setiap orang yang nekat mendonorkan sperma maka akan mendapatkan sanksi pidana sebagaimana diatur pada pasal 139. Mereka yang sengaja dan sukarela mendonorkan sperma terancam pidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Pasal 139
Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 140
Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Â
Dilarang Melakukan Surogasi
Dalam RUU Ketahanan Keluarga ini juga mengatur tentang surogasi atau dikenal dengan ibu pengganti. Surogasi sebenarnya hal lumrah di Amerika Serikat.
Dalam surogasi itu di mana terdapat perjanjian yang mencakup persetujuan seorang wanita untuk menjalani kehamilan bagi orang lain. Diatur dalam pasal 32 dan pasal 142 serta pasal 143.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
Pasal 141
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan surogasi untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 142
Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) untuk memperoleh keturunan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tahun) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 143
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:a. pencabutan izin usaha; dan/ataub. pencabutan status badan hukum.
Â
Advertisement
Larangan Aktivitas Seks BDSM, Homoseksual, dan Lesbian
RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur larangan aktivitas penyimpangan seksual. Bentuk penyimpangan seksual yang dimaksud adalah Bondage, Dominance, Sadism, dan Masochism (BDSM).
BDSM adalah aktivitas seksual mengarah ke fantasi untuk memperbudak, mendominasi hingga penyiksaan fisik agar mendapat kepuasan.
Dalam penjelasan pasal 85 ayat 1 disebutkan perilaku seks sadisme dan masochisme sebagai penyimpangan seksual karena tidak lazim dilakukan. Bentuk penyimpangan seksual lain yang diatur pada pasal ini adalah homoseksual dan incest.
Pasal 85 ayat 1:
Yang dimaksud dengan 'penyimpangan seksual' adalah dorongan dan kepuasan seksual yang ditunjukan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:
a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.
Selanjutnya, di pasal 86 mengamanatkan pihak keluarga wajib melaporkan anggota keluarganya yang menyimpang secara seksual kepada pemerintah terkait agar segera mendapatkan rehabilitasi dan pengobatan.
Pasal 86:
Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Â
Keluarga Wajib Penuhi Kebutuhan Sandang, Pangan, Rumah Layak Huni
Dari draf RUU Ketahanan Keluarga, setidaknya ada dua pasal mengatur soal tempat tinggal layak huni pasangan, yakni Pasal 33 dan 36.
Pasal 33:
(1) Setiap keluarga bertanggungjawab untuk memenuhi aspek ketahanan fisik bagi seluruh anggota keluarga, berupa antara lain:
a. memenuhi kebutuhan pangan, gizi dan kesehatan, sandang, dan tempat tinggal yang layak huni;
b. mengikutsertakan anggota keluarga dalam jaminan kesehatan; dan
c. menjaga kesehatan tempat tinggal dan lingkungan.
(2) Tempat tinggal yang layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki karakteristik antara lain:
a. memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik;
b. memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara orangtua dan anak serta terpisah antara anak laki-lakidan perempuan;
c. ketersediaan kamar mandi dan jamban yang sehat, tertutup, dapat dikunci, serta aman dari kejahatan seksual.
Pasal 36:
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi tempat tinggal layak huni untuk Keluarga.
(2) Fasilitasi tempat tinggal layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain melalui:
a. bantuan dana renovasi rumah tidak layak huni;
b. subsidi rumah layak huni bagi Keluarga yang tidak memiliki rumah;
c. keringanan pinjaman kredit kepemilikan, pembangunan dan/atau renovasi rumah tidak layak huni; serta
d. penyediaan rumah susun umum dan rumah bersubsidi yang layak huni.
(3) Bantuan dana renovasi rumah tidak layak huni sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan penyediaan rumahsusun umum dan rumah bersubsidi yang layak huni sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diprioritaskan untuk:
a. keluarga rentan yang memiliki anak;
b. keluarga yang merawat orangtua lanjut usia; dan
c. keluarga penyandang disabilitas.
(4) Rumah susun umum dan rumah bersubsidi yang layak huni sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memiliki karakteristik, antara lain:
a. memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik;
b. memiliki ruang keluarga dan ruang tidur yang tetap dan terpisah antara orangtua dan anak serta terpisahantara anak laki-laki dan anak perempuan;
c. ketersediaan kamar mandi dan jamban keluarga yang sehat, tertutup, dapat dikunci, serta aman dari kejahatanseksual.
Â
Advertisement
Pemerintah Wajib Bantu Permasalahan Keluarga
Beleid dalam RUU Ketahanan Keluarga ini mengatur tentang kewajiban pemerintah menghadapi persoalan keluarga. Hal tersebut dibagi karena enam faktor.
Enam faktor itu misalnya ekonomi, tuntutan pekerjaan orangtua, termasuk perceraian. Jika kerentanan keluarga terjadi karena faktor ekonomi, pemerintah harus memfasilitasi keluarga ini dengan pelatihan kerja sampai memberikan modal usaha.
Berikut pasal-pasal yang mengatur soal kerentanan keluarga dalam draf RUU Ketahanan Keluarga:
Pasal 74
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan penanganan Kerentanan Keluarga.
(2) Penanganan Kerentanan Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membantu dan mendukung Keluarga agar memiliki Kelentingan Keluarga dalam menghadapi Krisis Keluarga.
(3) Krisis Keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disebabkan antara lain:
a. masalah ekonomi;
b. tuntutan pekerjaan;
c. perceraian;
d. penyakit kronis;
e. kematian anggota Keluarga; dan
f. penyimpangan seksual.
Pasal 75
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena masalah ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf a dengan memberikan stimulan pemberdayaan ekonomi Keluarga.
(2) Stimulan pemberdayaan ekonomi keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pelatihan kerja atau wirausaha, modal usaha, dan fasilitas-fasilitas lain yang sesuai dengan potensi keluarga rentan sehingga dapat menopang keberlangsungan keluarganya untuk mengembangkan kemandirian ekonomi.
Pasal 76
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi terselenggaranya program-program bagi Keluarga Pra Sejahtera yang mendukung tercapainya Ketahanan Keluarga, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena tuntunan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf b dengan memberikan antara lain:
a. edukasi bagi Orangtua tentang Pengasuhan Anak;
b. edukasi bagi Orangtua tentang Pelindungan Anak;
c. penyediaan konsultan Ketahanan Keluarga;
d. penyediaan rumah Pengasuhan Anak yang aman dan nyaman di sekitar lingkungan kerja dan tempat tinggal;
(2) Tuntutan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Orangtua yang bekerja di luar negeri;
b. kedua Orangtua atau salah satu Orangtua yang bekerja di luar kota;
c. salah satu atau kedua Orangtua bekerja dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah; dan
d. kedua Orangtua yang bekerja
Pasal 78
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf c berupa:
a. bimbingan rohani, konseling, dan rehabilitasi sosial;
b. penyelesaian hak asuh; dan
c. penyelesaian hak nafkah Anak.
Pasal 79
Setiap Anak yang Orangtuanya mengalami perceraian mendapatkan fasilitasi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berupa:
a. pemeliharaan dan pelindungan dari penelantaran dan lingkungan yang membahayakan dan/atau menghambat tumbuh kembang Anak.
b. hak pengasuhan, bimbingan rohani, dan konseling; serta
c. jaminan hak nafkah Anak dari ayahnya.
Pasal 83
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan fasilitasi kepada Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyakit kronis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf d berupa antara lain:
a. layanan kesehatan melalui Sistem Jaminan Kesehatan Nasional; dan
b. bimbingan rohani.
Pasal 84
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf e dengan memberikan fasilitasi kepada Anak yatim, Anak piatu, dan Anak yatim piatu.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. bantuan dan perlindungan dari keadaan yang membahayakan;
b. kesejahteraan berupa bantuan keuangan, pelayanan pendidikan, dan jaminan kesehatan;
c. hak pengasuhan, bimbingan rohani, dan konseling; serta
d. pemeliharaan dan pelindungan dari penelantaran dan lingkungan yang membahayakan dan/atau menghambat tumbuh kembang Anak.
Pasal 85
Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa:
a. rehabilitasi sosial;
b. rehabilitasi psikologis;
c. bimbingan rohani; dan/atau
d. rehabilitasi medis.
Pasal 86
Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 90
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan penanganan Kerentanan Keluarga secara khusus kepada:
a. Keluarga dalam situasi darurat;
b. Keluarga yang berhadapan dengan hukum;
c. Keluarga penyandang disabilitas;
d. Keluarga dari kelompok minoritas dan terisolasi;
e. Keluarga yang anggota keluarganya dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; dan
f. Keluarga yang anggota keluarganya merupakan korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
(2) Penanganan Kerentanan Keluarga secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa antara lain:
a. mengevakuasi Keluarga dari potensi terkena dampak dari situasi darurat;
b. pendampingan dan bantuan hukum;
c. rumah aman sementara yang layak huni;
d. bimbingan rohani;e. layanan kesehatan;
f. rehabilitasi medis;
g. rehabilitasi sosial;
h. rehabilitasi psikologis;
i. reintegrasi sosial; dan
j. stimulan pemberdayaan ekonomi.
Â
Reporter : Syifa Hanifah
Sumber : Merdeka